Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus dugaan penistaan agama yang ditudingkan kepada Ahok sekarang jauh lebih banyak muatan politiknya daripada hukumnya, jadi wajar pula Presiden Jokowi menyikapinya secara politik pula.
Sikap Presiden Jokowi itu diambil dikarenakan dia tahu bahwa bahwa tuntutan untuk menonaktifkan Ahok oleh keempat fraksi itu, bukan demi penegakan hukum, tetapi adalah semata-mata demi untuk kepentingan keempat parpol itu sendiri. Mereka berkepentingan untuk menyingkirkan Ahok dari kursi Gubernur DKI Jakarta, karena dia dianggap sebagai penghalang utama bagi mereka yang sudah terbiasa merasa nyaman dalam menggarong APBD, sekaligus untuk memuluskan majunya pasangan cagub yang diusung oleh keempat parpol tersebut pula.
Keempat parpol itu sejak awal sudah memanfaatkan kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok itu demi kepentingan politik mereka di Pilgub DKI Jakarta itu. Bahkan ada isu yang cukup kuat indikasi kebenarannya yang menyatakan bahwa salah satu tokoh utama mereka yang selalu berada di belakang layar, yaitu Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan tokoh kunci dari berbagai aksi yang mengatasnamakan agama yang bertujuan untuk menyingkirkan Ahok dengan cara memenjarakannya.
Ada-tidak adanya kecerobohan Ahok yang menyinggung perasaan sebagian umat Islam itu, aksi-aksi unjuk rasa anti-pimpinan non-Muslim yang dikoordinir oleh ormas-ormas Islam radikal, terutama sekali FPI itu sudah dirancang jauh-jauh hari sebelum masa kampanye Pilgub DKI tiba.
Ahok adalah calon petahana yang terlalu kuat untuk dilawan secara sportif, maka satu-satunya cara untuk menumbangkannya adalah dengan memanfaatkan sentimen agama dan etnis (SARA), plus dengan menghalalkan penyebaran kebencian dan fitnah SARA terhadap Ahok di media sosial, khotbah-khotbah di masjid-masjid, dan sebagainya.
Kecerobohan Ahok yang mengutip Al-Maidah 51 di pidatonya di Kepulauan Seribu itu, merupakan suatu berkah bagi mereka, dengan tidak perlu menunggu waktu lama, langsung dimanfaatkan semaksmimal mungkin untuk menyerang Ahok secara berkesinambungan dan masif. Padahal, sebenarnya, kasus tersebut merupakan kasus sederhana, semacam salah paham, yang dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sebab memang seratus persen Ahok pasti tidak punya maksud untuk menistakan agama Islam, maupun Al-Quran.
Sejak awal kita juga paham bahwa pengadilan yang dilaksanakan sekarang untuk mengadili Ahok dengan tudingan telah melakukan penistaan terhadap agama Islam terkait pidatonya di Kepulauan Seribu yang menyinggung Al-Maidah 51 itu, sesungguhnya merupakan pengadilan yang “terpaksa” dilakukan dikarenakan keberhasilan ormas-ormas keagamaan radikal yang diprakarsai oleh FPI, yang berhasil menghimpun kekuatan massa dalam jumlah besar untuk memaksa kehendaknya terhadap Pemerintah dan Polri untuk menangkap dan memenjarakan Ahok.
Kehendak itu tidak dipenuhi Pemerintah dan Polri, karena memang sesungguhnya tidak ada alasan hukum yang kuat untuk langsung menangkap dan memenjarakan Ahok. Tetapi, untuk meredam susana sosial-politik yang saat itu sangat panas, “jalan tengah” pun ditempuh oleh Polri dengan memroses hukum terhadap Ahok, ia ditetapkan sebagai tersangka, dan proses hukum selanjutnya diserahkan kepada pengadilan.
Siapapun yang mau jujur dan obyektif bisa melihat bahwa sesungguhnya pemaksaaan kehendak agar Ahok dipenjara itu bukan semata-mata demi alasan hukum, tetapi merupakan alasan yang bersumber pada paham sektarianisme agama yang menolak secara ekstrem Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta lagi, karena dia Kristen dan Tionghoa.
Paham radikalisme, fundamentalisme, dan sektarianisme agama memang sangat anti terhadap semua orang/pihak yang berbeda dengan mereka, apalagi jika yang berbeda itu mau dijadikan pimpinannya.
Maka itu, mereka berupaya dengan segala cara untuk menyingkirkan Ahok yang ingin menjadi gubernur lagi. Kecerobohan Ahok menyinggung Al-Maidah 51 itu merupakan momentum yang paling pas bagi mereka untuk secara terus-menerus dan masif menyerang Ahok untuk menyingkirkannya selama-lamanya dari kemungkinan memimpin lagi DKI Jakarta. Mereka mengaku NKRI harga mati, tetapi menolak pluralisme, menolak kebhinekaan, menolak adanya pengakuan negara terhadap adanya persamaan hak dan kewajiban setiap WNI di dalam hukum dan pemerintahan.