Di bulan September 2016 ini salah satu peristiwa politik yang paling menarik perhatian adalah menyangkut upaya DPR untuk memasukkan pasal-pasal tertentu di revisi Undang-Undang Pilkada dengan mengakomodir kepentingan jangka pendek mereka, baik itu untuk menguntungkan calon pasangan kepala daerah yang akan diusungnya, maupun untuk menjegal kompetitornya.
Hal tersebut sebenarnya sudah merupakan kelaziman yang zalim khas DPR, setiap kali ada kepentingan jangka pendek parpol di pilkada, maka mereka pun berinisiatif bersama pemerintah untuk mengrevisi Undang-Undang Pilkada.
Contohnya adalah ketentuan-ketentuan baru di Undang-Undang Pilkada 2016 yang sangat kelihatan untuk mempersulit calon kepala daerah dari jalur perseorangan, yang diduga kuat itu sengaja diadakan untuk menjegal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang semula menyatakan ingin maju lewat jalur perseorangan, seperti menaikkan presentasi syarat minimal dukungan dari rakyat, dan waktu verifikasi KTP pendukung yang hanya tiga hari kerja.
Kepentingan pragmatis lain parpol-parpol yang diakomodir DPR adalah memperbolehkan terpidana hukuman percobaan untuk ikut menyalonkan diri di pilkada serentak 2017, dimaksud agar kader mereka yang akan diusung tetapi dalam status terpidana percobaan tetap bisa ikut di pilkada 2017 itu.
Salah satunya adalah calon kepala daerah Gorontalo dari Partai Golkar, Rusli Habibie, yang saat ini berstatus terpidana hukuman percobaan dalam kasus pencemaran nama baik, ia tetap bisa ikut pilkada Gorontalo 2017 berkat revisi Undang-Undang Pilkada (2016) tersebut.
Dari semua itu, yang paling keterlaluan adalah ketentuan yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah yang mewajibkan KPU untuk mentaati apa yang telah mereka putuskan di dalam suatu rapat antara KPU, Komisi II DPR, dan wakil dari pemerintah. Sebelumnya, rapat bersama itu hanya bersifat masukkan buat KPU dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara dan pengawas setiap pemilu di seluruh Indonesia.
Ketentuan yang mewajibkan KPU harus taat pada apapun yang diputuskan DPR itu termaktub di Pasal 9a Undang-Undang Pilkada 2016, yang berbunyi:
Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi:
a.menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
Dari ketentuan Pasal 9a inilah yang Komisi II DPR berhasil memaksa KPU membuat Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2016 yang memperbolehkan terpidana hukuman percobaan maju di pilkada 2017.
Ketentuan itu jelas-jelas telah membuat KPU menjadi tidak independen (tidak mandiri), tunduk pada kehendak DPR, lebih tepatnya lagi tunduk pada Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan, yang berarti pula sangat bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, yang dengan tegas menentukan:
pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, danmandiri.
Bayangkan saja: Hanya sebuah Komisi di DPR (Komisi II) bisa sedemikian berkuasanya terhadap KPU dengan melanggar UUD 1945, semata-mata hanya demi memenuhi kepentingan-kepentingan jangka pendek parpol-parpol di pilkada 2017 dan mungkin di pilkada-pilkada berikutnya lagi sesuai dengan perkembangaan keadaan!
Sungguh sangat tepat, KPU yang sudah tidak tahan lagi dengan tekanan-tekanan dari DPR itu akhirnya memutuskan akan mengajukan uji materi terhadap Pasal 9a Undang-Undang Pilkada 2016 itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Saya optimis, MK akan mengabulkan permohonan uji materi KPU tersebut.
Ulah menjijikan DPR seperti tersebut di atas bukan sesuatu yang baru terjadi sekarang ini (2016), sebelum-sebelumnya juga sudah seperti itu.
Salah satunya adalah momen di bulan September 2014, dua tahun yang lalu, ketika parpol-parpol yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR, yang baru saja kalah di Pilpres 2014, menyusun kekuatannya untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada guna melegalkan kepentingan politik mereka untuk menguasai parlemen, dan mengubah sistem pilkada langsung menjadi pilkada tidak langsung untuk menguasai kepala-kepala daerah melalui pemilihan di DPRD.
Ketika itu, sepanjang September 2014 itu juga, saya pun menulis 12 artikel perkembangan ulah parpol-parpol itu dalam merevisi Undang-Undang Pilkada yang disesuaikan dengan kepentingan politik sesaat mereka.
Dari sini kelihatan sekali kelakuan parpol-parpol itu belum pernah berubah menjadi baik, sebaliknya malah semakin menjadi-jadi, sebagaimana yang saya sebutkan tadi.
Di bawah ini adalah ringkasan 12 artikel saya tersebut:
1. Teori Konspirasi Koalisi Merah Putih di Parlemen (Kompasiana, 7 September 2014):
Di artikel ini saya membahas reaksi keras kubu pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusungoleh Koalisi Merah Putih (KMP) yang tidak terima dengan keputusan KPU yang menyatakan berdasarkan hasil Pilpres 2014 yang sah, pemenangnya adalah pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Kubu Prabowo menggugat KPU di Mahkamah Konstitusi (MK), meminta MK membatalkan kemenangan Jokowi-JK yang diputuskan KPU tersebut. Tetapi, MK menolak gugatan tersebut, memperkuatkan keputusan KPU tersebut.
Tidak terima dengan keputusan MK tersebut, kubu Prabowo masih menggugat lagi ke Mahkamah Agung, padahal berdasarkan UUD 1945 dan UU tentang MK, MK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang mengadili sengketa pemilu, termasuk pemilu presiden, serta sifat keputusan MK adalah mengikat, pertama dan terakhir. Artinya tidak ada upaya hukum, atau cara lain yang bisa membatalkan keputusan MK tersebut.
Pada kesempatan itu juga Ketua DPD Partai Gerindra Muhammad Taufik berorasi di depan gedung MK, meminta pendukung Prabowo-Hatta untuk menculik Ketua KPU Husni Kamil Manik karena berbuat curang untuk memenangkan Jokowi-JK.
Gagal total di jalur hukum, KMP melanjutkan aksinya di parlemen, mereka hendak menyusun kekuatan untuk membentuk Pansus Pilpres 2014 untuk mengusut dugaan kecurangan Pilpres yang dilakukan oleh pihak Jokowi-JK bersama KPU.
Rencana aksi yang jauh di luar batas kepatutan itu akhirnya tak jadi dilaksanakan, sebagai gantinya mereka berkonspirasi untuk menguasai parlemen dengan cara mengubah pasal-pasal tertentu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada.
Di artikel ini saya membahas aksi KMP yang secara total menguasai parlemen untuk mengubah ketentuan-ketentuan di pasal-pasal tertentu di UU MD3 2009 dan UU Pilkada 2008 dengan maksud untuk menguasai parlemen.
UU MD3 sebelum direvisi menentukan partai politik pemenang pemilu legislatif secara otomatis menjadi pimpinan DPR sesuai dengan perolehan kursi yang diperoleh, yakni dari yang terbanyak menjadi Ketua DPR, diikuti dengan terbanyak kedua sampai kelima masing-masing menjadi wakil ketua DPR.
Ketentuan tersebut sudah sejak lama berlaku; demokratis dan logis, bahkan di saat rezim diktator Soeharto berkuasa pun ketentuan ini tidak pernah diotak-atik.
Tapi, demi menguasai parlemen, sebagai kompensasi kekalahannya di Pilpres 2014, KMP mengubahnya menjadi: penentuan pimpinan DPR itu harus melalui mekanisme voting, dan dengan sistem pengajuan paket calon pimpinan DPR (yang terdiri dari 1 calon ketua DPR dan 4 calon ketua DPR).
Maka kubu KMP mengajukan paket calon pimpinan dari mereka, demikian juga dengan terpaksa karena kalah suara kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengajukan paket calon pimpinan DPR dari mereka.
Tentu saja, karena jumlah total kursi KMP di parlemen lebih banyak, kubu KIH pun kalah. DPR pun dipimpin justru oleh parpol-parpol yang perolehan kursinya jauh di bawah PDIP. PDIP sebagai pemenang Pemilu terpaksa hanay bisa gigit jari, tidak dapat apa-apa di parlemen.
Sukses dengan UU MD3, KMP terus bergerak, giliran UU Pilkada 2008 yang mereka garap, dengan berupaya mengubah ketentuan yang sesungguhnya merupakan hasil perjuangan reformasi yaitu sistem pilkada langsung (kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat) dikembalikan menjadi seperti zaman Orde Baru lagi, yaitu kepala daerah dipilih oleh parpol-parpol di DPRD.
3.Jika Pilkada oleh DPRD, Seperti Apa Karakter Gubernur DKI Jakarta(Kompasiana, 9 September 2014):
Di artikel ini saya memberi gambaran apa jadinya jika kepala daerah benar-benar kembali dipilih oleh parpol atau koalisi parpol. Saat artikel ini ditulis RUU Pilkada tersebut masih dibahas di DPR.
Seperti di DPR, parpol-parpol itu pasti lebih mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan rakyat banyak, maka kepala daerah yang dipilih hampir pasti hanya merupakan perpanjangan tangan dari parpol-parpol tersebut.
Di artikel ini, saya menulis: seandainya RUU Pilkada 2014 ini berhasil disahkan, maka, misalnya, di pilkada DKI 2017, jika yang bersaing adalah calon gubernur berkarakter seperti Jokowi atau Ahok melawan calon yang berkarakter seperti Haji Lulung atau M Taufik, DPRD DKI akan memilih calon gubernur DKI yang berkarakter seperti Haji Lulung atau M Taufik. Karena kedua orang ini pasti bisa diajak berkompromi, tau sama tau dalam mengurus keuangan DKI. Hal yang berbeda jika gubernurnya punya karakter seperti Jokowi atau Ahok.
4. Gerindra Memang Bukan Habitat Ahok (Kompasiana, 10 September 2014):
Di artikel ini membahas tentang konflik antara Ahok dengan partainya sendiri, Partai Gerindra. Gara-garanya: Ahok sangat tidak setuju dengan perjuangan Gerindra di DPR yang menjadi motor penggerak parpol-parpol lain di KMP untuk mengubah sistem pilkada langsung oleh rakyat, menjadi diplih oleh parpol-parpol di DPRD.
Ahok menentang tekad Gerindra tersebut, ia beranggapan pilkada oleh rakyat sudah benar, demokratis, dan melaksanakan kedaulatan rakyat, kalau kembali ke sistem perwakilan itu sama saja dengan mengkhianati perjuangan reformasi.
Karena kedua belah pihak tetap bersikukuh dengan prinsipnya masing-masing, pada 10 September 2014, Ahok mengirim surat pengunduran dirinya dari Partai Gerindra.
Sejak itulah Ahok lepas dari Gerindra, yang memunculkan timbulnya permusuhan antara Ahok dengan Gerindra, sampai dengan hari ini.
5. Sesat Berpikir M Taufik Menantang Ahok Melepaskan WNI-nya (Kompasiana, 11 September 2014):
Di artikel ini saya membahas tentang reaksi kemarahan Ketua DPD DKI Jakarta Gerindra M Taufik atas keluarnya Ahok dari Gerindra, dengan berdasarkan pemikiran atau logikanya yang sesat.
Menurut Taufik, karena alasan Ahok keluar dari Gerindra disebabkan pemikirannya tidak sejalan dengan Gerindra mengenai pilkada tidak langsung, maka jika ketentuan tersebut disahkan sebagai bagian dari UU Pilkada 2014, menjadi undang-undang yangberlaku di negara Indonesia, maka berarti Ahok harus juga keluar dari Indonesia, melepaskan kewarganegaraan Indonesia-nya.
Di artikel ini saya menguraikan sesat berpikir logika M Taufik tersebut.
6. Dendam Membara Gerindra kepada Ahok (Kompasiana, 19 September 2014):
Di artikel ini saya membahas tentang rencana aksi “balas dendam” Gerindra kepada Ahok, setelah dia keluar dari parpol tersebut.
Balas dendam itu direncanakan dilakukan dengan cara mengajukan uji materi ke MK tentang tafsir ketentuan syarat-syarat seorang kepala daerah dapat diberhentikan dari jabatannya itu, sebagaimana di atur di UU Pilkada 2014.
Gerindra akan meminta MK memenuhi permohonan mereka untuk menambah ketentuan bahwa seorang kepala daerah dan wakilnya bisa dilengserkan jika parpol utama pendukungnya menarik kembali dukungan mereka kepada kepala daerah yang bersangkutan.
Ketua Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra Habiburokhman ketika itu mengatakan, jika permohonan tersebut dikabulkan MK, maka Partai Gerindra segera menyatakan pencabutan dukungan mereka terhadap Ahok, sehingga dengan demikian Ahok bisa dilengserkan.
Jadi, hanya demi bisa melampiaskan dendam mereka kepada Ahok, mereka sampai berupaya untuk mengadakan suatu ketentuan yang sesuai dengan kehendak mereka itu. Hukum dibuat untuk memenuhi kehendak mereka.
7. MA Mencabut Hak Politik Penjahat Korupsi, KMP Hendak Mencabut Hak Politik Rakyat (Kompasiana, 21 September 2016):
Di artikel ini saya membahas tentang upaya yang semakin masif dari KMP untuk mengubah sistem pilkada langsung menjadi pilkada tidak langsung, yang saya secara sarkastis saya perbandingkan dengan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut hak politik koruptor.
Jika MA mencabut hak politik penjahat koruptor, -- tentu saja itu merupakan sesuatu yang sudah seharusnya demikian. Koruptor layak mendapat tambahan hukuman seperti itu, tidak demikian dengan KMP, mereka justru ingin mencabut hak politik rakyat di seluruh Indonesia untuk memilih sendiri kepala daerahnya masing-masing. Setelah merampas hak politik rakyat, KMP mau menyerahkannya kepada parpol-parpol di DPRD.
Tiga argumen diajukan untuk membenarkan kehendak mereka untuk mengubah sistem pilkada langsung oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD itu, yaitu karena pilkada langsung membutuhkan biaya besar, politik uang, dan konflik horizontal; semua argumen yang jelas hanya dibuat-buat itu saya patahkan di artikelini.
Demikian juga dengan argumen superkonyol Fadli Zon, yang mengatakan pilkada langsung bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila, saya patahkan juga di artikel ini.
Di artikel ini saya membahas tentang pernyataan seorang petinggi Gerindra mengenai buruknya efek pilkada langsung, yaitu maraknya politik uang. Kata dia, pilkada langsung membuat para calon kepala daerah suka membagi-bagi uang kepada masyarakat setempat agar memilih mereka. Hal tersebut tak baik bagi pendidikan politik rakyat, dan oleh karena itu pilkada langsung harus dihapus, diganti dengan pilkada tidak langsung.
Padahal jika mau tidak ada politik uang itu, bukankah seharusnya justru parpol-parpol yang bersangkutan yang bisa mencegahnya. Siapa pun yang menjadi calon kepala daerah yang mereka usung dilarang keras melakukan politik uang dengan sanksi yang tegas jika melanggar.
Maksud sebenarnya dari upaya mengubah sistem ke pilkada oleh DPRD tidak lain agar parpol bisa memilih sendiri calon yang diinginkan sesuai dengan kepentingannya sendiri.
Dengan dasar itu jika kepala daerah dipilih oleh parpol-parpol di DPRD justru jauh lebih rawan terjadinya praktek politik uang. Siapa kepala daerah yang paling banyak menyuap anggota DPR, dialah yang pasti terpilih.
9. SBY, Presiden “Terlicik” yang Pernah Dimiliki Indonesia (Kompasiana, 26 September 2016):
Di artikel ini saya membahas tentang strategi “licik” SBY dan Partai Demokrat, yang bermain sandiwara bersama KMP di rapat paripunra DPR, pada tanggal 25 dan 26 September 2016, yang berhasil meloloskan revisi Undang-Undang Pilkada 2014 menjadi Undang-Undang dengan sistem pilkada tidak langsung (di DPRD).
Karena semakin lama semakin kuatnya tekanan dari rakyat yang tidak rela hak kedaulatannya memilih sendiri kepala daerahnya dicabut begitu saja, mendesak Presiden mengembalikan hak mereka itu, maka Presiden SBY pun terpaksa menganulirkam ketentuan pilkada tidak langsung tersebut dengan Perppu, kembali ke pilkada langsung.
10. Diduga Inilah Akting SBY Selanjutnya, Jangan Tertipu Lagi (Kompasiana, 27 September 2016):
Di artikel ini saya membahas tentang kemungkinan strategi selanjutnya yang akan dilakukan oleh Presiden SBY setelah Demokrat bersama KMP dengan bermain sandiwara berhasil meloloskan ketentuan tentang pilkada oleh DPRD di UU Pilkada 2014.
Strategi selanjutnya dari SBY adalah berpura-pura sangat menyesali lolosnya ketentuan tersebut, lalu menolak mengesahkan Undang-Undang tersebut, bahkan konyolnya ada rencana dia menggugat Undang-Undang itu ke MK!, dengan aksinya itu SBY berharap rakyat percaya kepadanya bahwa ia benar-benar menyesal, dan sungguh-sungguh tidak ingin sistem pilkada tidak langsung itu yang berlaku, rakyat pun menaruh simpatik kepadanya.
Padahal ekspresi SBY itu cuma lanjutan dari strategi “licik”-nya. Ada Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang mengatur bahwa jika suatu Undang-Undang sudah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah, kemudian Presiden tidak mau mengesahkannya (tanda tangan), maka setelah lewat 30 hari, Undang-Undang itu secara otomatis berlaku.
Bunyi Pasal 20 ayat (5) UUD 1945: Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan
11. Rakyat Patah Arang dengan SBY, SBY Berhentilah Bersandiwara!(Kompasiana, 29 September 2016):
Di artikel ini saya membahas tentang upaya keras SBY untuk meredakan kemarahan rakyat dan berupaya mengembalikan kepercayaan rakyat kepadanya, setelah mereka marah besar kepadanya karena menggap dialah sesunggunhya sutradara di belakang layar lolosnya ketentuan tentang pilkada tidak langsung itu, tetapi di depan umum berakting seolah-olah menentang dan menolak sistem itu.
Upaya keras SBY itu sia-sia karena kepercayaan rakyat kepadanya sudah mengalami “patah arang”.
Kemarahan rakyat yang semakin masif, yang diekspresikan di dunia nyata, maupun di dunia maya, rupanya membuat SBY semakin/sangat khawatir. Ekspresi kemarahan rakyat di dunia maya yang paling menonjol adalah yang di Twitter.
Hastag (tagar) #ShameOnYouSBY, #ShamedByYou, dan #ShamedByYouAgainSBY, berturut-turut, sambung menyambung terus bertahan sebagai trending topic dunia sejak 26 September 2014 sampai dengan ketika tulisan itu saya buat (30/9/2014).
Inilah rekor sebuahtrending topic bisa bertahan sedemikian lama. Semua upaya SBY untuk menjelaskan duduk persoalan versinya kepada rakyat, sudah tidak digubris sama sekali. Rakyat sudah patah arang kepercayaannya kepada SBY. Semakin dia memberi keterangannya, semakin membuat rakyat marah.
SBY dicap sebagai presiden pembohong, pemain sandiwara, dan pengkhianat demokrasi. Disejajarkan dengan para pentolan penyamun daulat rakyat di KMP (Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung, Anis Matta, Suryadharma Ali, Amien Rais, dan Hatta Rajasa).
SBY lebih dijadikan sasaran kemarahan rakyat, karena dianggap telah bermain sandiwara bersama para petinggi Demokrat lainnya, memperdayai rakyat. Demokrat justru menjadi kunci kemenangan kubu pilkada tidak langsung di DPR.
SBY tak mengira bahwa kemarahan rakyat terhadapnya akan sedemikianhebatnya, jika dibiarkan bukan tidak mungkin akan semakin masif dan berpengaruh pada stabilitas keamanan nasional. Sehingga SBY menjadi sangat khawatir dan bingung bagaimana caranya menghadapi kemarahan rakyat itu, dan apa jalan keluarnya. Maka, SBY pun berinisiatif meminta bantuan petunjuk hukum kepada pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra.
Meskipun demikian, SBY tetap saja galau, plin-plan dan bingung atas ulahnya sendiri.
Pada akhirnya, SBY pun tidak menjalankan nasihat dari Yusril tersebut.
**
Demikianlah di bulan September 2014, dua tahun yang lalu, ada sedikitnya 12 artikel yang saya tulis di Kompasiana, yang semuanya mengenai cara-cara DPR berkonspirasi membuat Undang-Undang Pilkada sedemikian rupa sehingga sarat dengan pengakomodasian kepentingan-kepentingan pragmatis mereka, bukan kepentingan rakyat banyak, sebagaimana saya singgung di bagian awal artikel ini.
Dua tahun yang lalu, dan sebelumnya, sampai sekarang pun, dari pilkada yang satu ke pilkada yang lain, selalu saja diwarnai dengan perubahan Undang-Undang Pilkada. Hal itu hanya bisa terjadi karena parpol-parpol selalu membuat pasal-pasal yang disesuaikan dengan kepentingan jangak pendek mereka saat itu. Nanti di pilkada berikutnya lagi akan diubah lagi, sesuai dengan kepentingan apa yang dibutuhkan mereka ketika itu. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H