Di artikel ini saya membahas tentang upaya yang semakin masif dari KMP untuk mengubah sistem pilkada langsung menjadi pilkada tidak langsung, yang saya secara sarkastis saya perbandingkan dengan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut hak politik koruptor.
Jika MA mencabut hak politik penjahat koruptor, -- tentu saja itu merupakan sesuatu yang sudah seharusnya demikian. Koruptor layak mendapat tambahan hukuman seperti itu, tidak demikian dengan KMP, mereka justru ingin mencabut hak politik rakyat di seluruh Indonesia untuk memilih sendiri kepala daerahnya masing-masing. Setelah merampas hak politik rakyat, KMP mau menyerahkannya kepada parpol-parpol di DPRD.
Tiga argumen diajukan untuk membenarkan kehendak mereka untuk mengubah sistem pilkada langsung oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD itu, yaitu karena pilkada langsung membutuhkan biaya besar, politik uang, dan konflik horizontal; semua argumen yang jelas hanya dibuat-buat itu saya patahkan di artikelini.
Demikian juga dengan argumen superkonyol Fadli Zon, yang mengatakan pilkada langsung bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila, saya patahkan juga di artikel ini.
Di artikel ini saya membahas tentang pernyataan seorang petinggi Gerindra mengenai buruknya efek pilkada langsung, yaitu maraknya politik uang. Kata dia, pilkada langsung membuat para calon kepala daerah suka membagi-bagi uang kepada masyarakat setempat agar memilih mereka. Hal tersebut tak baik bagi pendidikan politik rakyat, dan oleh karena itu pilkada langsung harus dihapus, diganti dengan pilkada tidak langsung.
Padahal jika mau tidak ada politik uang itu, bukankah seharusnya justru parpol-parpol yang bersangkutan yang bisa mencegahnya. Siapa pun yang menjadi calon kepala daerah yang mereka usung dilarang keras melakukan politik uang dengan sanksi yang tegas jika melanggar.
Maksud sebenarnya dari upaya mengubah sistem ke pilkada oleh DPRD tidak lain agar parpol bisa memilih sendiri calon yang diinginkan sesuai dengan kepentingannya sendiri.
Dengan dasar itu jika kepala daerah dipilih oleh parpol-parpol di DPRD justru jauh lebih rawan terjadinya praktek politik uang. Siapa kepala daerah yang paling banyak menyuap anggota DPR, dialah yang pasti terpilih.
9. SBY, Presiden “Terlicik” yang Pernah Dimiliki Indonesia (Kompasiana, 26 September 2016):
Di artikel ini saya membahas tentang strategi “licik” SBY dan Partai Demokrat, yang bermain sandiwara bersama KMP di rapat paripunra DPR, pada tanggal 25 dan 26 September 2016, yang berhasil meloloskan revisi Undang-Undang Pilkada 2014 menjadi Undang-Undang dengan sistem pilkada tidak langsung (di DPRD).