Gerindra dan PKS Pernah Merampas Kedaulatan Rakyat
Dua tahun yang lalu, September 2014 dunia perpolitikan Indonesia dibuat panas oleh Koalisi Merah-Putih (KMP), yaitu koalisi parpol-parpol pendukung pasangan capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang terdiri dari Gerindra (sebagai pimpinannya), PKS, Golkar, PPP, dan PAN, ketika mereka dengan kekuatan mayoritasnya di parlemen sempat berhasil mengubah sistem pilkada, dari langsung oleh rakyat menjadi oleh DPRD, sebelum akhirnya kembali ditaklekkan oleh kekuatan rakyat.
Merasa kalah dari rakyat, karena tidak bisa lagi mengatur dan menentukan kepala daerah sesuai dengan keinginan, kesepakatan, dan kepentingan mereka, apalagi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Prabowo Subianto terhadap hasil Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi-JK, KMP pun berkonspirasi menyusun kekuatan di parlemen untuk mengubah Undang-Undang Pilkada dari sistem pemilihan langsung oleh rakyat menjadi kembali lagi dipilih oleh parpol-parpol di DPRD (dari pilkada langsung oleh rakyat, menjadi pilkada tidak langsung/oleh DPRD).
Demi memperjuangkan pelegalan perampasan hak kedaulatan rakyat, mengkhianati perjuangan reformasi dan UUD 1945, merusak sistem demokrasi yang semakin membaik, KMP benar-benar all-out menghalalkan segala cara agar ketentuan tersebut diloloskan di parlemen menjadi Undang-Undang. Semua suara rakyat, tokoh masyarakat, akademisi, pengamat politik, sampai dengan alim-ulama yang menyatakan penolakanmya sama sekali tidak digubris.
Salah satu tokoh pemrotes yang paling keras dan konsekuen ketika itu adalah kader Partai Gerinda yang juga adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menilai partainya itu merusak sistem demokrasi dan mengkhianati kedaulatan rakyat, pada 10 September 2014 Ahok pun memutuskan keluar dari Gerindra.
Karena masa tugas anggota DPR periode 2009-2014 itu berakhir pada 30 September 2014, maka mereka melakukan rapat paripurna secara marathon sampai dini hari untuk mengejar target bahwa ketentuan sistem pilkada tidak langsung itu harus disahkan, sebelum berakhirnya masa tugas tersebut.Â
Permainan sandiwara politik pun dijalankan di rapat paripurna DPR-RI antara KMP Â dengan parpol penguasa ketika itu, Partai Demokrat, yang merupakan parpol pemilik kursi terbanyak, dan oleh karena itu merupakan partai penentu lolos-tidaknya revisi Undang-Undang Pilkada yang berisi ketentuan pemilihan pasangan kepala daerah ditentukan oleh DPRD tersebut.
Maka, pada 26 September 2014, pukul 2 dini hari, melalui akting walk-out sandiwara Partai Demokrat, Undang-Undang Pilkada 2014 pun berhasil disahkan dengan sistem kembali kepala daerah ditentukan oleh DPRD (baca selengkapnya intrik politik para penggarong hak kedaulatan rakyat itu di sini).
Tagar (hastag) #ShameOnYouSBY dan #RIPDemocracy pun menjadi trending topic dunia sampai berhari-hari, berbagai pernyataan protes pun terus-menerus mendesak Presiden SBY, membuat dia dengan terpaksa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengembalikan hak kedaulatan rakyat tersebut ke posisinya semula (calon pasangan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat).
Maka, pada 2 Oktober 2014, Presiden SBY dengan terpaksa menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut ketentuan pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi kembali dipilih langsung oleh rakyat.