Padahal di semua undang-undang pilkada sebelumnya hal tersebut tidak diatur, konsultasi KPU dengan DPR bisa dilakukan, tetap apa yang dihasilkan dalam konsultasi tersebut tidak mengikat KPU. Â
Ketentuan baru yang dibuat DPR itu jelas akan membuat KPU menjadi lembaga yang tidak independen lagi, KPU akan dapat dipaksa tunduk pada kehendak DPR dalam membuat Peraturan KPU. Padahal. Sebagai suatu lembaga negara yang satu-satunya berwenang menyelenggarakan semua pemilu di seluruh Indonesia, indepedensi merupakan suatu hal yang mutlak ada pada KPU, demi terselenggaranya suatu pemilu yang berkwalitas, transparansi, adil, dan jujur.
KPU juga merupakan suatu lembaga berdasarkan konstitusi dan undang-undang seperti halnya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, yang berwenang secara independen membuat peraturan-peraturan di bawah undang-undang.
Maka tak heran, langkah DPR yang semakin kebablasan tersebut, Â memicu KPU untuk semakin mantap dengan rencananya mengajukan uji materi terhadap ketentuan-ketentuan itu ke MK.
"Potensi judicial review sangat besar. Kami masih menunggu Undang-undang tersebut segera diberi nomer oleh pemerintah baru kami ajukan ke MK," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (6/6/2016).
“Soal kemandirian KPU, UUD 1945 tegas menyatakan bahwa KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kita bahas revisi dululah secara menyeluruh. Hasil revisi pun belum dapat," kata dia.
Tidak Seharusnya Setiap Tahun UU Pilkada Direvisi
Sesungguhnya salah satu karakteristik sebuah undang-undang adalah selain sifatnya nasional, ia juga harus relatif bisa berumur panjang sampai beberapa tahun ke depan, karena seharusnya dibuat dengan mengantisipasi semua perubahan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan seterusnya sampai beberapa tahun ke depan.
Tetapi, tidak demikian dengan undang-undang pilkada. Setiap tahun selalu saja undang-undang ini direvisi seturut dengan kepentingan-kepentingan politik sesaat partai-partai politik di DPR. Mereka memanfaatkan kewenangannya untuk membuat undang-undang dengan mengakomodasikan kepentingan-kepentingan politik sesaat mereka tersebut demi keuntungan mereka dalam menghadapi setiap pemilu sesuai dengan kondisi politik terkini demi keuntungan mereka semata, bukan demi memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat.
Bilamana perlu untuk mengalahkan lawan politiknya, mereka pun membuat ketentuan-ketentuan yang justru melawan aspirasi rakyat, dikarenakan aspirasi rakyat itu akan merugikan mereka yang sejak lama sudah berkuasa di negeri ini dengan sistem oligarki parpol. Hal tersebut tercermin dengan jelas di kala akan menghadapi pilkada serentak 2017 ini, di mana mereka merasa semakin terancam dengan kehadiran calon perseorangan yang bernama Ahok tersebut.
Demi bisa mengalahkan atau menyingkirkan Ahok dari kompetisi di pilgub DKI Jakarta 2017, parpol-parpol itu pun bersekutu untuk membuat ketentuan-ketentuan di Undang-Undang Pilkada yang baru yang secara terselubung khusus untuk menyingkirkan Ahok di DKI Jakarta, padahal sejatinya suatu undang-undang itu berlaku di seluruh Indonesia.