Seperti yang sudah bisa diduga, artikel saya yang berjudul Lewat Verifikasi Faktual Calon Perseorangan di Pilkada akan Diganjal,pasti akan diganjal pula oleh para pembenci Ahok di Kompasiana, dengan cara-cara khasnya. Karena apa? Karena hal itu juga secara aktual membahas tentang Ahok yang sudah memastikan dirinya maju lewat jalur perseorangan di pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017.
Salah satunya adalah pembenci Ahok kelas super berat di Kompasiana ini, Go Teng Shin alias GTS, yang dalam salah satu paragraf artikelnya yang berjudul Ahok, Heru, Teman Ahok, Singapura, dan Pertempuran Para Kurawa, mengecam artikel saya tersebut, dengan menulis:
Sebaiknya Ahok tak usah cengeng, belum apa-apa sudah mengeluh ke media terus dicopy paste pendukungnya dari Fakfak yang sama lebaynya jadi posting rengekan di Kompasiana. Sebagaimana Faisal Basri, hadapi verifikasi faktual secara ksatria. Dulu Faisal-Biem turun langsung ke kelurahan untuk mengawasi. Ada baiknya kerendahan hati seperti itu ditiru, misalnya mengetuk door to door rumah di Pluit, PIK dan Pantai Mutiara supaya standby, jangan keluar negeri atau ke mall sebelum ke PPS. KTP Ahok kan kabarnya mayoritas dari sana, bukan Kampung Pulo, Bukit Duri atau Luar Batang. Jadi Ahok tidak perlu takut sampai harus bawa puluhan bodyguard.
Padahal substansi persoalan antara ketentuan verifikasi faktual calon perseorangan di Pilkada 2012 yang diikuti Faisal Basri dengan ketentuan yang baru saja dibuat DPR lewat revisi UU Pilkada 2015 menjadi UU Pilkada 2016 itu sangat berbeda.
Di pilkada 2012, ketentuan verifikasi faktualnya cukup dilakukan di kelurahan-kelurahan, sedangkan di ketentuan 2016 yang dibuat DPR ini verifikasi faktualnya dilakukan dengan metode sensus, yaitu Panitia Pemungutan Suara (PPS) mendatangi satu per satu alamat pemilik KTP pendukung calon perseorangan. Jika saat didatangi PPS, pemilik KTP sedang tidak berada di tempat, maka diberi waktu hanya 3 hari kepada pasangan calon perseorangan untuk membawa pendukungnya itu ke kantor PPS setempat (harus di kantor PPS). Jika lewat waktu 3 hari hal tersebut belum dilakukan, maka secara otomatis dokumen pendukung calon perseorangan tersebut dinyatakan gugur.
Peraturan yang tidak masuk akal ini bukan saja tidak bisa diterima oleh kubu Ahok, tetapi juga dipertanyakan oleh KPU sendiri, karena sejatinya ketentuan tersebut juga akan sangat merepotkan bagi KPU, terutama menyangkut batas waktu klarifikasi yang hanya 3 hari itu. Ketentuan itu dinilai membatasi ruang gerak petugas PPS dalam melakukan verifikasi, apalagi tenaga PPS pun jumlahnya masih belum memadai untuk menjalankan ketentuan baru tersebut.
"Sulit untuk memahami (urgensi di balik keputusan DPR membatasi masa klarifikasi). Seharusnya penyelenggara tetap diberi ruang. Yang penting, kan, semua proses verifikasi faktual selesai dalam waktu 14 hari," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, pada 6 Juni lalu (Kompas).
Niat jahat DPR juga terlihat dari dibuatnya ketentuan bahwa hasil verifikasi faktual dengan metode sensus tersebut tidak diumumkan data-datanya oleh KPU, yang diumumkan hanya apakah pengumpulan KTP dukungan tersebut jumlahnya memenuhi syarat ataukah tidak. Sehingga jika dinyatakan tidak memenuhi syarat, publik tidak bisa mengakses data-data itu untuk mengetahui detail alasan tak memenuhi syarat tersebut.
Untuk menindaklanjuti keberatan KPU ini, ditambah dengan keberatan KPU lainnya menyangkut ketentuan baru UU Pilkada ini, yaitu ketentutan tentang peraturan KPU harus mendapat persetujuan dari DPR, KPU berencana akan mengajukanjudicial review(uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan itu, segera setelah Undang-Undang tersebut diberi nomor.
Selain KPU, Fadjroel Rahman dan kawan-kawannya juga sudah memastikan diri akan mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal yang sama di UU Pilkada 2016 itu, yang dinilai bertolak belakang dengan aspirasi rakyat, atau hanya memenuhi kepentingan politik sesaat partai-partai politik, yang semakin ketakutan dengan fenomena Ahok dengan calon perseorangannya.
Pada 29 September 2015, MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Fadrjoel dan kawan-kawannya terhadap ketentuan syarat minimal pencalonan kepala daerah perseorangan dari persentase berdasarkan jumlah penduduk menjadi persentase berdasarkan jumlah Daftar Pemilik Tetap (DPT) dari pilkada sebelumnya di daerah pilkada tersebut diadakan.
Merampas Hak Pilih Pemilih Pemula
Merasa belum terlalu yakin dengan cara mengganjal laju Ahok dengan penerapan aturan verifikasi faktual metode sensus akan efektif, apalagi melihat begitu militannya Teman Ahok dan para pendukung Ahok yang terdiri dari anak-anak muda itu, DPR pun telah melakukan langkah antisipatif dengan membuat juga ketentuan lain demi mencapai tujuan mereka itu.
Selain mengalami traumatik dengan fenomena Ahok sebagai tokoh calon kepala daerah dari jalur perseorangan, partai-partai politik yang ada di DPR itu juga rupanya mengalami paranoia terhadap kekuatan anak-anak muda pendukung Ahok itu. Oleh karena itu selain Ahok, sebanyak mungkin para pendukungnya itu juga harus disingkirkan dari peran serta mereka di pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017.
Saat ini, DPR mungkin merasa bersyukur dan bangga dengan “kreatifitas licik” mereka itu, yaitu sudah membuat ketentuan lain yang dirasakan lebih efektif untuk mengurangi secara signifikan pendukung Ahok, karena “terbukti” Teman Ahok dan para pendukung mudanya ternyata begitu militannya, sehingga tetap bertekad maju terus tak gentar menghadapi upaya penghadangan mereka dalam mendukung Ahok berupa ketentuan verifikasi faktual yang tidak masuk akal itu.
Menghadapi “barikade” verifikasi faktual dengan metode sensus ciptaan DPR itu, Teman Ahok dan pendukung muda Ahok telah mengdeklarasikan semangat membara ala pemuda dan pemudi Republik Indonesia untuk menghadapinya, dengan menciptakan gerakan “Rela Repot” dan “Cuti Sehari” demi mendukung Ahok. Di media sosial pun mulai beredar semakin luas tagar: #GueSiapRepotDemiAhok, dan #CutiSehariDemiAhok.
Ketentuan tersebut adalah ketentuan yang menyatakan bahwa selain verifikasi administrasi berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK), nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, dan alamat dengan berdasarkan KTP elektronika (e-KTP) atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil setempat, juga diatur bahwa verifikasi tersebut hanya berlaku berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Penduduk Potensial Pemilihan (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri yang berasal dari pilkada terakhir.
Ketentuan itu tercantum di Pasal 48 UU Pilkada 2016, yang berbunyi:
(1a) Verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. Mencocokan dan meneliti berdasarkan nomor induk kependudukan, nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, dan alamat dengan berdasarkan pada Kartu Tanda Penduduk Elketronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil; dan
b. Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap pemilu terakhir dan Daftar Penduduk Potensial Pemilihan dari Kementerian Dalam Negeri.
Untuk DKI Jakarta, pilkada yang terakhir diadakan adalah pilgub 2012, berarti hanya mereka yang namanya tercantum di DPT atau DP4 DKI Jakarta tahun 2012 saja yang dinyatakan boleh mendukung calon perseorangan (Ahok).
Berarti, mereka yang dilahirkan antara tahun 1996-1999, yang di tahun 2012 masih belum dewasa menurut UU Pilkada, yaitu masih berusia antara 16 dan 13 tahun, oleh karena itu pasti tidak tercantum di DPT/DP4 DKI Jakarta tahun 2012, di pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, berdasarkan revisi UU Pilkada ini, tidak memenuhi syarat untuk menjadi pendukung Ahok, meskipun di saat penyerahan data dukungan ke KPU, usia mereka sudah 20 tahun dan 17 tahun.
Dengan demikian akan banyak sekali dari jumlah KTP dukungan yang telah dikumpulkan Teman Ahok itu akan menjadi tidak memenuhi syarat, dan tidak akan diperhitungkan, yaitu semua KTP dari para pendukung muda (pemilih pemula) Ahok yang namanya tidak ada di DPT/DP4 DKI Jakarta tahun 2012 tersebut.
Tidak hanya pemilih pemula, mereka yang baru pindah domisili hukumnya ke Jakarta, setelah 2012, pun tidak memenuhi syarat sebagai pendukung Ahok, karena pasti data mereka pun tidak ada di DPT/DP4 DKI Jakarta tahun 2012 tersebut.
Hal tersebut akan semakin diperparah lagi karena selama ini DPT dan DP4 tidak pernah akurat datanya, dan sampai sekarang pun masih banyak warga yang belum mempunyai KTP elektronika (e-KTP). Padahal kepemilikan e-KTP itu juga merupakan syarat utama sahnya dukungan.
KPU pun Dihadang
KPU pun dibuat pusing tujuh kali tujuh keliling oleh kelicikan DPR tersebut, namun demikian KPU mempunyai solusi dalam menghadapi berbagai penghadangan DPR terhadap pendukung calon perseorangan itu. Tetapi, KPU pun kalah akalnya daripada DPR.
Solusi tersebut antara lain dinyatakan oleh Komisioner KPU Ida Budhiati, yang mengatakan, selain norma hukum, KPU tetap harus mengikuti prinsip demokrasi. Oleh karena itu ketika norma hukum tidak sempurna, KPU akan mengwadahi hak konstitusional pemilih muda dalam peraturan KPU.
“Kalau tidak ada dalam DP4 atau DPT, menurut kami tidak menghilangkan hak warga untuk mendukung calon perseorangan, sepanjang domisilinya bisa dibuktikan,” kata dia.
Namun untuk melaksanakan solusi tersebut KPU harus membuat Peraturan KPU, dan di sini pulalah DPR sudah melakukan langkah antisipasi, dengan membuat ketentuan yang siap menghadang dan menyetir KPU.
Dibuatkah ketentuan baru, yang dicantumkan di Pasal 9 revisi UU tersebut, yang mengatur bahwa tugas dan wewenang KPU adalah menyusun dan menetapkan peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya mengikat. Dengan kata lain hasil dari konsultasi tersebut mengikat KPU dalam membuat Peraturan KPU.
Padahal di semua undang-undang pilkada sebelumnya hal tersebut tidak diatur, konsultasi KPU dengan DPR bisa dilakukan, tetap apa yang dihasilkan dalam konsultasi tersebut tidak mengikat KPU.
Ketentuan baru yang dibuat DPR itu jelas akan membuat KPU menjadi lembaga yang tidak independen lagi, KPU akan dapat dipaksa tunduk pada kehendak DPR dalam membuat Peraturan KPU. Padahal. Sebagai suatu lembaga negara yang satu-satunya berwenang menyelenggarakan semua pemilu di seluruh Indonesia, indepedensi merupakan suatu hal yang mutlak ada pada KPU, demi terselenggaranya suatu pemilu yang berkwalitas, transparansi, adil, dan jujur.
KPU juga merupakan suatu lembaga berdasarkan konstitusi dan undang-undang seperti halnya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, yang berwenang secara independen membuat peraturan-peraturan di bawah undang-undang.
Maka tak heran, langkah DPR yang semakin kebablasan tersebut, memicu KPU untuk semakin mantap dengan rencananya mengajukan uji materi terhadap ketentuan-ketentuan itu ke MK.
"Potensi judicial review sangat besar. Kami masih menunggu Undang-undang tersebut segera diberi nomer oleh pemerintah baru kami ajukan ke MK," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (6/6/2016).
“Soal kemandirian KPU, UUD 1945 tegas menyatakan bahwa KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kita bahas revisi dululah secara menyeluruh. Hasil revisi pun belum dapat," kata dia.
Tidak Seharusnya Setiap Tahun UU Pilkada Direvisi
Sesungguhnya salah satu karakteristik sebuah undang-undang adalah selain sifatnya nasional, ia juga harus relatif bisa berumur panjang sampai beberapa tahun ke depan, karena seharusnya dibuat dengan mengantisipasi semua perubahan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan seterusnya sampai beberapa tahun ke depan.
Tetapi, tidak demikian dengan undang-undang pilkada. Setiap tahun selalu saja undang-undang ini direvisi seturut dengan kepentingan-kepentingan politik sesaat partai-partai politik di DPR. Mereka memanfaatkan kewenangannya untuk membuat undang-undang dengan mengakomodasikan kepentingan-kepentingan politik sesaat mereka tersebut demi keuntungan mereka dalam menghadapi setiap pemilu sesuai dengan kondisi politik terkini demi keuntungan mereka semata, bukan demi memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat.
Bilamana perlu untuk mengalahkan lawan politiknya, mereka pun membuat ketentuan-ketentuan yang justru melawan aspirasi rakyat, dikarenakan aspirasi rakyat itu akan merugikan mereka yang sejak lama sudah berkuasa di negeri ini dengan sistem oligarki parpol. Hal tersebut tercermin dengan jelas di kala akan menghadapi pilkada serentak 2017 ini, di mana mereka merasa semakin terancam dengan kehadiran calon perseorangan yang bernama Ahok tersebut.
Demi bisa mengalahkan atau menyingkirkan Ahok dari kompetisi di pilgub DKI Jakarta 2017, parpol-parpol itu pun bersekutu untuk membuat ketentuan-ketentuan di Undang-Undang Pilkada yang baru yang secara terselubung khusus untuk menyingkirkan Ahok di DKI Jakarta, padahal sejatinya suatu undang-undang itu berlaku di seluruh Indonesia.
Dengan perilaku seperti ini, tidak heran kepercayaan publik kepada partai politik dari hari ke hari semakin terpuruk. Termasuk Partai NasDem dan Partai Hanura yang telah menyatakan dirinya mendukung Ahok yang maju lewat jalur perseorangan itu. Kenapa mereka tidak ada upaya sedikitpun untuk menghalangi dicantumkannya ketentuan-keteruan tersebut di atas di revisi UU Pilkada? Karena semua itu tidak lepas dari perilaku parpol yang selalu oportunis, dan pragmatis.
Sesungguhnya deparpolisasi itu dilakukan sendiri oleh parpol-parpol itu.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H