Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jalan Tengah bagi (Teman) Ahok dan PDIP agar PDIP Mendukung Ahok

25 Mei 2016   23:57 Diperbarui: 26 Mei 2016   14:00 3836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan ucapan selamat kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok usai acara pelantikan Gubernur DKI Jakarta, di Istana Negara, 19 November 2014 (sumber: Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sesungguhnya antara PDIP dengan Ahok itu sudah lama serba cocok, apalagi hubungan pribadi antara Ahok dengan Megawati: “Sudah seperti ibu dengan anaknya”, ujar Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno (24/3/2016).

“Terpaksa”

Tetapi, masalah waktu yang kepepet pada pihak Ahok, dan perihal mekanisme partai pada pihak PDIP-lah yang sesungguhnya membuat keduanya seperti tak bisa bertemu dalam satu kubu, yang membuat Ahok pun “terpaksa” memutuskan maju di pilgub DKI Jakarta 2017 melalui jalur perseorangan (independen), dan PDIP pun “terpaksa” bakal memilih calonnya sendiri melalui mekanisme penjaringan calon (yang sudah diikuti oleh 30 bakal calon, salah satunya adalah Yusril Ihza Mahendra yang mendaftar di semua parpol yang mengadakan penjaringan serupa).

Ahok “terpaksa” memutuskan maju lewat jalur perseorangan melalui relawan Teman Ahok karena maju melalui jalur perseorangan itu memerlukan persyaratan yang lebih berat (dengan target 1 juta KTP dukungan dari ketentuan minimal 532.213 KTP), dan  dengan batas waktu pendaftaran yang terbatas/mepet (hanya sampai dengan minggu pertama Agustus 2016, semula Juli 2016), sedangkan sampai dengan Maret 2016, PDIP belum juga memberi sinyal akan mendukung Ahok.

Pada Minggu, 6 Maret 2016, relawan Teman Ahok yang sudah mengumpulkan lebih dari 700 ribu KTP dukungan buat Ahok selama sekitar satu tahun, mendatangi rumah pribadi Ahok. Mereka meminta Ahok untuk segera memutuskan apakah ia akan maju lewat jalur perseorangan atau melalui partai politik.

Kalau Ahok memutuskan maju melalui jalur perseorangan, maka Teman Ahok akan melanjutkan perjuangan mereka yang begitu militan mengumpulkan KTP dukungan untuk Ahok.

Teman Ahok memerlukan keputusan yang cepat dari Ahok, mengingat waktu yang sudah mempet, karena mereka harus mengumpukan KTP dukungan mulai dari nol lagi, sebab adanya ketentuan (yang baru diketahui) bahwa dukungan perseorangan itu harus juga menyertai nama bakal calon wakil gubernurnya.

Ahok dengan berbagai pertimbangan, antara lain karena PDIP tak kunjung memberi kepastian dukungan, dan ia sangat mengapresiasi ketulusan, semangat militan dan kepercayaan yang luar biasa dari Teman Ahok kepadanya untuk meneruskan jabatan gubernurnya di periode kedua, pun akhirnya memutuskan maju lewat jalur perseorangan bersama Teman Ahok.

Teman Ahok dapat dikatakan juga mewakili aspirasi sebagian warga DKI yang hampir pupus kepercayaannya terhadap parpol, sebaliknya masih sangat percaya dengan Ahok sebagai pimpinan mereka yang berintegrasi tinggi, yang sungguh-sungguh sepenuhnya dengan jabatannya itu mengabdi kepada rakyat DKI Jakarta.

Hal tersebut terbukti dari berbagai hasil survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei terpercaya, yang selalu menunjukkan mayoritas responden puas dengan kinerja Ahok, dan maka itu juga menunjukkan elektabilitas Ahok yang selalu tertinggi jauh melampui para saingannya. Selain itu, hasil survei juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden lebih suka Ahok maju lewat jalur perseorangan ketimbang lewat parpol manapun.

Sedangkan pada sisi PDIP, sampai saat itu, masih belum bisa memastikan apakah mengusung Ahok yang nota benebukan kader PDIP, ataukah mengusung kader sendiri sebagai calon gubernur DKI Jakarta itu. PDIP juga masih ingin menjalankan proses dan tahapan penentuan siapa yang akan diusung sesuai dengan ketentuan dan mekanisme partai. Semua itu memerlukan tahapan waktu yang relatif masih lama.

Jika Ahok masih harus menunggu semua prosedur dan mekanisme PDIP tersebut, terlalu riskan baginya untuk memastikan bisa maju di pilgub DKI 2017. Sebab jika ia melepaskan kesempatannya untuk maju lewat jalur perseorangan, ternyata kemudian melalui prosedur dan mekanisme partai, PDIP memutuskan untuk tidak mengusung dia, maka tidak ada waktu cukup lagi bagi Ahok untuk maju melalui jalur perseorangan itu.

Itulah sebenarnya yang terjadi antara Ahok dengan PDIP, sehingga terjadilah seperti yang sekarang ini: Ahok maju lewat jalur perseorangan, sedangkan PDIP akan mengusung calonnya sendiri. Dengan kata lain, jika semuanya berjalan sesuai dengan rencana terkini, di pilgub DKI Jakarta 2017 nanti Ahok akan berhadapan “head to head” dengan pasangan calon gubernur dari PDIP, selain pasangan calon lain, jika ada.

Chemistry

Tetapi tampaknya sampai sekarang antara Ahok dengan PDIP, apalagi dengan Megawati, tetap saja ada chemistry yang secara alamiah tidak bisa dihilangkan, keduanya masih saling “jatuh cinta”, tetapi dikarenakan oleh keadaan sebagaimana saya sebutkan di atas, terpaksa berpisah, berpisah untuk sementara.

Ahok secara “malu-malu tapi mau” masih mengharapkan dukungan dari PDIP/Megawati kepadanya, sedangkan PDIP pun juga demikian, masih mengharapkan bisa mengusung Ahok. Buktinya, meskipun Ahok sudah memastikan diri maju lewat jalur perseorangan, dan PDIP sudah mengadakan penjaringan calon gubernurnya sendiri, tetap saja masih membuka pintu lebar-lebar bagi Ahok.

Megawati masih bersikap terbuka dan bersahabat akrab dengan Ahok, tiada sedikitpun isyarat ia memusuhi Ahok.

Hal itu antara lain terlihat nyata dari pernyataan Megawati sendiri tentang Ahok di acara “Kick Andy”, Metro TV, belum lama ini. Ketika Andy Noya bertanya, apakah Megawati marah kepada Ahok karena Ahok orang yang menyebalkan, dengan spontan Mega menjawab: “Nggak, tuh!”

Ketika Andy bertanya tentang makna seruan Mega kepada Ahok: “Yang jantan, dong!” di acara peluncuran bukunya, Mega sambil tersenyum lebar menjawab itu hanyalah guyonan dia dengan Ahok.

Pertanyaan Andy kepada Megawati: “Anda sayang enggak sama Pak Ahok?” Yang dijawab Mega dengan bercanda pula, “Saya? Wah, nanti dengan Ibu Ahok, bagaimana?”

Dari sini saja dapat disimpulkan bahwa hubungan Megawati dengan Ahok tetap baik-baik saja, bahkan bisa jadi dengan adanya perselisihan-perselihan paham semacam ini akan semakin mempererat hubungan persahabatan keduanya, yang pasti membawa dampak pada dukungan PDIP kepada Ahok pula.

Meskipun Ahok tidak ikut mendaftar (tentu saja, karena ia kaan sudah memutuskan ikut jalur perseorangan), tetapi saat PDIP melakukan survei internal partai, nama Ahok tetap saja dimasukkan sebagai alternatif. Meskipun belum diungkapkan hasilnya, tetapi saya lebih percaya kalau hasil survei internal itu sama halnya dengan hasil survei internal Partai Golkar baru-baru ini, yaitu bahwa nama Ahok berada di urutan teratas.

Ahok yang telah memilih jalur perseorangan, dan tidak mendaftar di penjaringan calon PDIP, namanya justru lebih bergema kuat daripada Yusril Ihza Mahendra yang mendaftar di mana-mana dan terus-menerus menghujat Ahok.

Ahok sendiri beberapakali mengklaim bahwa secara pribadi Megawati mendukungnya, tetapi secara partai ia tidak tahu, karena PDIP masih harus melalui mekanisme partai. Klaim yang sama diautarakan lagi pada 23 Mei lalu, di Balai Kota.  Ahok juga bilang kedekatan dia dengan PDIP sudah berlangsung lama, yaitu sejak 1992.

Rintangan

Dari situasi dan kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa ada dua rintangan yang membuat Ahok dan PDIP tidak bisa berada di dalam satu kubu.

Pertama, Ahok tidak bisa mendaftarkan dirinya ke PDIP karena telah memilih jalur perseorangan, ia sangat menghargai militanitas relawan Teman Ahok, yang terdiri dari anak-anak muda harapan bangsa itu,  serta lebih dari 884.816 (sampai dengan artikel ini dibuat) warga DKI yang telah menyatakan dukungannya kepada Ahok untuk maju lewat jalur perseorangan.

Ahok juga sangat memegang janjinya kepada Teman Ahok bahwa ia akan tetap ikut mereka yang sudah memasang target akan mengumpulkan minimal 1 juta KTP dukungan warga DKI  untuk Ahok. Ahok berkata, “Lebih baik kehilangan jabatan, daripada mendapat jabatan tetapi kehilangan kepercayaan rakyat.”

Kedua, PDIP tidak mungkin bisa mengusung Ahok, karena Ahok tidak mendaftarkan dirinya di penjaringan calon gubernur PDIP.  PDIP hanya punya dua pilihan mengusung calonnya sendiri, atau ikut jejak Partai NasDem dan Hanura: mendukung Ahok.

Gengsi vs Realitas

Tetapi, sebagai parpol pemenang pemilu, yang menguasai DPRD DKI, dan merupakan parpol satu-satunya yang bisa mengusung calonnya sendiri, ada masalah gengsi di sini. PDIP merasa gengsinya jatuh kalau sampai mendukung Ahok. Karena bukankah dia parpol pemenang pemilu, mayoritas di DPRD DKI, dan sebagai satu-satunya parpol yang bisa mengusung calonnya sendiri di pilgub DKI 2017 itu?

Jika PDIP bersikeras demi gengsinya itu, melawan realitas, maka dapat dipastikan PDI akan menanggung malu, karena kemungkinan besar akan kalah dari Ahok di pilgub DKI 2017 itu. Hal itu juga pasti akan mempengaruhi pemilu legislatif 2019 kelak.

Padahal, sebenarnya PDIP tidak perlu risau dengan masalah gengsi tersebut, sebab justru sebagian besar warga DKI ingin agar PDIP berada di kubu Ahok, mendukung Ahok.

Karena secara realitas sampai dengan detik ini Ahok merupakan satu-satunya calon gubernur yang paling tinggi popularitasnya, kepercayaan rakyat terhadapnya, dan elektabilitasnya. Belum ada satu pun lawan yang dianggap bisa mengalahkan Ahok. Paling tinggi yang ada adalah yang bisa “memberi perlawanan” saja kepada Ahok. Termasuk Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, yang belakangan ini namanya disebut-sebut akan “dipaksa” PDIP untuk maju melawan Ahok di pilgub DKI Jakarta 2017.

Risma boleh saja sangat populer, sangat dipercaya rakyat Surabaya, ia tidak ada lawannya di Surabaya, di pilwali Surabaya 2015 lalu, Risma dengan statusnya sebagai calon petahana bersana Wisnu Sakti Buana menang telak dari lawannya Rasiyo-Lucy Kurniasari dengan perbandingan 86,34 persen – 13,66 persen.

Tetapi, tentu saja situasi dan kondisi Surabaya sangat berbeda jauh dengan Ibu Kota, DKI Jakarta: ragam budaya, karakter, dan kebiasaan penduduknya, serta berbagai persoalan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sangat tinggi eskalasinya jauh dibandingkan di Surabaya. Dari luas wilayah:  DKI Jakarta lima kali lebih luas Surabaya, dari jumlah penduduknya empat kali jumlah penduduk Surabaya. Dan, jangan lupa pula bahwa Ahok dalam posisinya sebagai calon petahana yang terkuat, seperti posisi Risma di Surabaya. Berbagai hasil survei juga selalu menempatkan elektabilitas Risma jauh di bawah Ahok.

Lagipula bukankah Risma sudah berkali-kali menyatakan tidak akan mau ikut pilgub DKI Jakarta 2017? Ia juga pernah bilang, kalau dia punya niat jelek, dia sudah pergi meninggalkan Surabaya, ke Jakarta.

Risma adalah jagoan PDIP di Surabaya, jangan dipaksakan untuk bertarung di DKI Jakarta,  kalau tidak mau mengubahnya dari “jagoan” menjadi pecundang, pulang kembali ke Surabaya bersama PDIP dengan menanggung malu sebagai pecundang.

Itulah realitas, sama dengan realitas yang tercipta saat pilpres 2014, ketika itu Megawati cenderung ingin ikut maju lagi di pilpres tersebut, tetapi realitas yang terjadi di kalangan rakyat banyak berkata lain, mereka ingin Jokowi, bukan Megawati. PDIP akhirnya mau menerima realitas itu, Megawati pun demikian juga, maka PDIP pun mengusung Jokowi, dan menang. Ceritanya pasti lain, jika ketika itu PDIP melawan realitas, memaksakan Mega yang maju bertarung melawan Prabowo Subianto, yang menang pasti Prabowo.

Kalkulasi Politik Realitas

Direktur Eksekutif Poltracking Institute Hanta Yuda pun percaya, atau setidaknya sangat menyarankan kepada PDIP agar menggunakan kalkulasi politik realistis. Artinya, pemilihan calon gubernur yang diusung akan berbasis pada elektabilitas, dan katanya kepada Kompas.com (24/5/2016): "Untuk saat ini kan dari segi elektabilitas Ahok masih yang tertinggi, kalau dibandingkan dengan yang lainnya dia masih menang jauh."

Penggunaan kalkulasi politik realistis itu sangat penting, karena PDIP memiliki misi penting dalam Pilgub DKI 2017. Bukan sekadar memenangkan kontestasi Pilgub itu sendiri, melainkan untuk mengamankan suara mereka di Pemilu Legislatif 2019.

"PDIP kan sekarang mendominasi perolehan kursi di DPRD DKI Jakarta, pastinya mereka juga tidak mau kehilangan itu di Pemilu Legislatif 2019. Salah satu cara yang paling memungkinkan, ya dengan mengusung Ahok lagi di Pilgub DKI 2017," ujar Hanta.

Hanta menambakan, jika nantinya PDI-P mengusung Ahok sebagai calon gubernur dan akhirnya menang, maka para pemilih Ahok hampir pasti akan memilih PDIP di Pemilu Legislatif 2019.

"Yang harus diingat oleh PDIP ialah pemilih mereka di Pemilu Legislatif 2014 hampir semuanya pemilih Jokowi-Ahok di Pilgub DKI 2012," tutur Hanta.

Jalan Tengah

Ahok tidak mungkin diusung PDIP, karena Ahok tidak mendaftar dan tidak ikut penjaringan calon, di PDIP, tetapi PDIP bisa mendukung Ahok, itulah yang diharapkan Ahok dari PDIP.

Sedangkan PDIP sendiri sebenarnya ingin menjalankan politik realitas sebagaimana disebut oleh Hanta Yuda, tetapi sampai kini belum direalisasikan, mungkin karena faktor gengsi. Tetapi, sampai kapan PDIP akan mempertahankan gengsinya itu?

Lalu, bagaimana caranya agar akhirnya PDIP pun mau menyatakan dukungannya kepada Ahok, tanpa perlu merasa gengsinya jatuh? Meskipun, sebenarnya, seperti yang saya katakan di atas, seharusnya PDIP tidak perlu merasa ragu, apalagi gengsi jika memutuskan mendukung Ahok, karena sesungguhnya itulah yang sesuai dengan harapan sebagian besar warga DKI Jakarta pendukung Ahok.

Sebaliknya, jika PDIP mengusung calon lain, seperti Yusril Ihza Mahendra, apalagi sampai berkoalisi dengan Partai Gerindra dan PKS, turut mengusung  Sjafrie Sjamsoeddin – Sandiaga Uno, pasti banyak sekali yang sangat kecewa dengan PDIP, dan akan menghukumnya di pemilu legislatif 2019, dengan tidak memilihnya lagi.

Belum lagi dengan peluang menang bagi Sjafrie-Sandiaga yang sampai saat ini masih terbilang sangat kecil, dan kemungkinan besar tak banyak berubah sampai dengan pigub DKI itu tiba di tanggal 15 Februari 2017.

Untuk mengatasi dua rintangan bersatunya Ahok dengan PDIP tersebut di atas, maka jalan tengahlah yang harus ditempuh kedua belah pihak, yaitu sebagai berikut:

Bagaimana pun juga eksistensi dan dukungan parpol itu sangat penting bagi Ahok, baik saat pilgub, maupun – jika menang – sepanjang Ahok menjalankan jabatannya sebagai gubernur dari 2017 – 2022 kelak. Gubernur DKI tetap sangat membutuhkan dukungan parpol-parpol di DPRD DKI untuk memperlancarkan program-program kerjanya.

Oleh karena itu Ahok dan Teman Ahok harus bisa mengambil hati dan merangkul parpol-parpol potensial yang satu visi dan misi dengan Ahok, termasuk dan terutama PDIP. Ahok dan Teman Ahok tidak boleh bersikap tinggi hati karena begitu tingginya elektabilitas Ahok, karena dinamika politik bisa berubah setiap saat, dan dukungan PDIP sebagai parpol terkuat di DPRD DKI sangat besar peranannya.

Ahok dan Teman Ahok sebaiknya bersikap “mengalah” dengan menghampiri terlebih dahulu kepada PDIP/Megawati.

Apabila jumlah KTP dukungan terhadap Ahok telah sudah mencapai target minimal 1 juta KTP, sebaiknya Ahok dan Teman Ahok berinisiatif secepat mungkin mengajak komunikasi secara “kekeluargaan” dengan PDIP/Megawati, tanpa publikasi terlebih dahulu, untuk menyatukan persepsi, demi mendapat dukungan PDIP terhadap Ahok. Bagaimana cara dan mekanismenya tanpa masing-masing pihak merasa lebih unggul satu terhadap yang lain.

Sedangkan PDIP sendiri sebaiknya juga melepaskan sikap “tinggi hatinya” sebagai parpol yang terkuat di DKI Jakarta, tidak perlu memandang gengsi, karena gengsi tak ada hubungannya di sini. Harus melihat realitas dan dinamika menjelang pilgub DKI tersebut dengan Ahok-lah yang terkuat sampai dengan saat ini. Secara parpol PDIP-lah yang terkuat, tetapi secara personal Ahok-lah yang terkuat, sedangkan pilkada di mana saja, termasuk di DKI Jakarta, sosok personallah yang paling menentukan kemenangan, karena yang dipilih rakyat itu adalah personalnya, bukan parpol-nya. Sekuat apapun parpol, kalau calonnya tak disukai rakyat, maka kekuatan parpol itu bisa menjadi sia-sia.

Oleh karena itu PDIP sangat perlu memperhatikan saran Hanta Yuda tersebut di atas, yaitu menerapkan politik realitas. Realitas politiknya adalah Ahok sebagai calon terkuat, maka itu PDIP pun perlu merendahkan hatinya, untuk menerima inisiatif ajakan komunikasi bersama dari Teman Ahok dan Ahok sebagaimana dimaksud di atas.

Diharapkan dari komunikasi “kekeluargaan” tersebutlah dilahirkan keputusan bahwa pada akhirnya PDIP pun menyatakan mendukung Ahok maju di pilgub DKI 2017. Hal tersebut sesungguhnya merupakan sesuatu yang mungkin sekali terwujud, mengingat begitu baiknya sejarah hubungan antara Ahok dengan Megawati, maupun antara Ahok dengan PDIP.

Jika akhirnya, PDIP memutuskan ikut mendukung Ahok bersama dengan Partai NasDem dan Partai Hanura, yang sudah terlebih dahulu mendukung, kemungkinan besar juga dengan Partai Golkar, maka hampir dapat dipastikan pilgub DKI 2017 sudah “selesai” sebelum dimulai, karena dengan elektabilitas Ahok yang sedemikian tinggi, ditambah dengan dukungan empat parpol besar tersebut, maka kekuatan Ahok nyaris sempurna. Dengan tetap mawas diri, selalu awas, introspeksi diri, jangan jumawa, ketika posisi berada di atas angin, karena tiba-tiba bisa jatuh, juga bukan sesuatu yang tak mungkin. *****


Artikel terkait:

Tidak Bakal Ada Parpol yang Mau Mengusung Yusril Ihza Mahendra?

Bukti Ahok Tidak Nafsu/Haus Kekuasaan

Karena Kepala Daerahnya Bukan Ahok

Ahok Mengubah Mimpi Warga DKI Jakarta Menjadi Kenyataan

Inilah Salah Satu Penyebab Lulung cs Ingin Singkirkan Ahok dari Kursi DKI-1

Langkah Teman Ahok Semakin Mantap, Mantan Komisioner KPU Bergabung

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun