Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tidak Bakal Ada Parpol yang Mau Mengusung Yusril di Pilkada DKI Jakarta 2017?

8 Mei 2016   00:10 Diperbarui: 8 Mei 2016   00:17 18924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), yang juga bakal calon gubernur DKI Jakarta  (sumber gambar: rmol.com) Yusril Ihza Mahendra

Strategi Yusril Ihza Mahendra agar diusung oleh minimal satu partai politik di pilkada DKI 2017 dengan cara mendaftarkan dirinya di semua parpol yang sudah membuka pendaftaran calon gubernur DKI-nya tampaknya akan sia-sia, karena sampai hari ini belum juga ada tanda-tanda ada parpol yang akan memenuhi harapannya itu. Sebaliknya, tanda-tanda yang muncul justru semakin meredupkan harapan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu (baca artikel: Ketika Yusril Ihza Mahendra Melamar ke Mana-Mana).

Statusnya sebagai Ketua Umum PBB yang justru mendaftar di parpol lain itu kemungkinan besar menjadi salah satu faktor pertimbangannya, apalagi PBB itu merupakan parpol “seupil”,  “antara ada dan tiada”. 

Sejak didirikan, dari pemilu ke pemilu eksistensi PBB terus menciut, sampai akhirnya hilang dari peredaran perpolitikan Indonesia, nyaris tak terdengar. Di Pemilu 2014, PBB gagal total, dengan hanya mampu berada di posisi nomor dua dari juru kunci, dengan hanya memperoleh 1,45 persen suara. Karena tidak mampu memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold), satu kursi pun tidak mampu diraih PBB di DPR, maupun di DPRD DKI Jakarta.

Oleh karena itu Yusril hanya bisa mengandalkan “belas kasihan” parpol-parpol lainnya yang punya kursi di DPRD DKI. Mau ikut jalur perseorangan (independen) seperti Ahok, Yusril tidak punya rasa percaya diri yang cukup apakah akan mampu mengumpulkan jumlah minimal KTP dukungan sebagai persyaratan bisa maju melalui jalur tersebut.

Namun dengan status politiknya seperti tersebut tadi, bagaimana bisa masuk logika jika ada parpol yang jauh lebih besar daripada PBB, tidak mengusung kadernya sendiri, tetapi malah mengusung ketua umum dari parpol lain,  yang status parpol-nya itu justru nyaris tak terdengar.

Apalagi, misalnya, sebelum pendaftaran calon gubernur DKI itu dibuka parpol-parpol, dengan pongahnya Yusril sendiri pernah menyatakan dirinya lebih layak menjadi calon gubernur DKI daripada kader unggulan PDIP sendiri (baca: Yusril Sebut Calon Gubernur DKI dari PDIP Tak Akan Menang Melawannya).  

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

Apakah mungkin, PDIP mau menggadaikan harga dirinya sendiri untuk “membuktikan” bahwa pernyataan Yusril itu sungguhlah benar, sehingga mereka pun mengabaikan kadernya sendiri, lalu mengusung Yusril?

Apakah mungkin PDIP sebagai parpol terbesar, pemenang pemilu, yang punya jumlah kursi terbanyak (28 kursi)  di DPRD DKI sehingga menjadi satu-satunya parpol yang bisa mengusung calonnya sendiri, justru mengusung calon dari ketua umum parpol lain, apalagi parpol itu statusnya antara ada dan tiada, dan tidak punya satu kursi pun di DPRD DKI Jakarta?

Apalagi, selama ini Yusril Ihza Mahendra selalu memandang remeh kemampuan Jokowi sebagai Presiden RI, dan selalu memposisikan dirinya sebagai lawan Jokowi, padahal sebagai partai penguasa, PDIP sangat bangga dengan “petugas partai”-nya itu.

Yusril pernah mengatakan, Jokowi hanyalah presiden tukang gunting pita, yang hanya mengandalkan pencitraan diri dengan melanjutkan proyek-proyek besar peninggalan Presiden sebelumnya (SBY).

Yusril juga menganggap Jokowi tidak mampu memilih anggota kabinetnya secara profesional berkwalitas, sehingga seandainya Jokowi memintanya menjadi salah satu menterinya, ia akan langsung menolaknya.

Bukan hanya memandang rendah kemampuan Jokowi sebagai Presiden, sampai sekarang pun Yusril selalu menempatkan dirinya sebagai lawan dari pemerintahan Presiden Jokowi, seperti menjadi pembela pemilik kapal berbendera Thailand yang telah melakukan illegal fishing di perairan Indonesia, dan oleh karena itu disita Pemerintah RI/Kementerian Kelautan dan Perikanan atas perintah Susi Pudjiastuti. Padahal apa yang dilakukan oleh Kementerian tersebut merupakan bagian dari kebijakan Presiden Jokowi.  

Yusril bahkan juga menjadi pembela dari Yulianus Paonganan alias Ongen, yang jelas-jelas secara faktual telah melakukan penghinaan luar biasa terhadap Presiden Jokowi, dan juga Menteri Susi Pudjiastuti,  melalui sekitar 200 kicauannya di akun Twitter, antara 12-14 Desember 2015 lalu.

Ketika itu, Ongen dengan nama akunnya @ypaonganan, mem-posting foto Jokowi bersama artis Nikita Mirzani, yang diajadikan meme dengan memberi hastag: “#PapaDoyanLonte”, disertai dengan rangkaian kicauan lainnya  yang pada intinya melecehkan Jokowi.

Selain Jokowi, Ongen juga menulis kicauannya untuk menghina Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan menggunakan foto tersebut juga, dengan menulis:  “duh paha lonte itu ada tattonya di padanya euy...apa namanya nikita pudjiastuti..?

Atas ulahnya itu Ongen telah ditangkap dan dijadikan tersangka oleh Mabes Polri pada 17 Desember 2015, ia kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dakwaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE).

Saat melakukan pembelaan terhadap Ongen, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Yusril menyatakan sebaiknya dakwan tersebut dicabut, karena kalau diteruskan justru akan mempermalukan Jokowi. Entah apakah Yusril akan punya pendapat yang sama jika foto dia yang dijadikan meme seperti itu.

Apakah dengan memposisikan dirinya sebagai lawan dari Jokowi yang nota bene adalah kader kebanggaan, Presiden RI “petugas partai” PDIP itu, masih realistiskah Yusril Ihza Mahendra jika masih menaruh harapan besar kepada PDIP untuk mengusungnya sebagai calon gubernur DKI dari PDIP?

Dengan sikapnya itu kelihatan bahwa Yusril hanya ingin memanfaatkan PDIP sebagai jembatannya menuju pemenuhan ambisi besarnya untuk duduk di kursi DKI1. Sangat naif jika parpol sebesar PDIP tidak menyadarinya.

Yusril dan Piagam Jakarta

Yusril punya ideologi yang masih ingin memperjuangkan eksistensi dari Piagam Jakarta masuk sebagai bagian dari dasar negara dan hukum nasional di Indonesia, halmana bertentangan dengan ideologi parpol-parpol lainnya yang nasionalis (PDIP, Gerindra, Golkar, dan lain-lain), atau Islam nasionalis (PPP dan PKB).

Dengan adanya perbedaan ideologi ini mungkinkah parpol-parpol tersebut akan mau mengusung Yusril Ihza Mahendara?

Pada 8 September 2008, ormas yang berafiliasi kepada Partai Bulan Bintang (PBB), Gerakan Pemuda Islam (GPI) pernah memberi penghargaan  (GPI Award) kepada Yusril Ihza Mahendra (Ketua Majelis Syuro DPP PBB) bersama dengan Abu Bakar Ba’asyir, dan Ketua FPI Habib Rizieq, sebagai tokoh pejuang syariat Islam yang paling konsisten ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.  GPI menilai Yusril adalah sosok yang aktif di dalam dunia politik sekuler tanpa menjadi sekuler.

Setelah menerima penghargaan itu, dalam pidatonya ketika itu, Yusril menegaskan bahwa pemberlakuan Syariat Islam adalah hal yang sangat mungkin meski memerlukan perjuangan yang panjang dan melelahkan.

Menurut dia, ide Syariat Islam sebenarnya merupakan dasar berdirinya Indonesia sebagai negara yang merdeka. Hal itu bisa dilihat dalam rumusan Piagam Jakarta yang secara jelas menyatakan Indonesia adalan negara berketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Yusril menegaskan, Syariat Islam tetap relevan meski tidak secara eksplisit dirumuskan dalam Pancasila, (oleh karena itu perjuangan menuju ke arah itu harus tetap dilakukan).

"Syariat Islam jalan terus meski ada atau tidak ada Piagam Jakarta," katanya (sumber).

PDIP Masih Buka Pintu untuk Ahok

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka saya yakin parpol-parpol yang jauh lebih besar daripada PBB, yang eksis dan punya kursi di DPRD DKI Jakarta, yang berideologi nasionalis, maupun Islam-nasionalis, tidak bakal mau mengusung Yusril sebagai calon gubernur DKI mereka.

Sampai dengan perkembangan terakhir sampai sekarang pun, PDIP sebagai parpol satu-satunya yang bisa mengusung calonnya sendiri belum juga mengisyaratkan siapa yang akan mereka usung, nama Yusril yang menjadi orang pertama yang mendaftar pun tak pernah disinggung-singgung PDIP. Padahal, jika PDIP sungguh-sungguh menilai Yusril adalah orang sehebat yang dia nyatakan sendiri, tentu mereka tidak akan ragu lagi untuk mengusung Yusril.

Sebaliknya, meskipun sudah memutuskan maju lewat jalur perseorangan melalui Teman Ahok (dengan sejuta KTP), PDIP melalui beberapa petingginya masih menyinggung nama Ahok sampai beberapakali. Mereka, antara lain Ketua PDIP Hendrawan Supratikno (14 Maret 2016), Ketua Plt DPD PDIP DKI Jakarta Bambang Dwi Hartono (10 April 2016), dan Budiman Soedjatmika (3 Mei 2016), pada intinya menyatakan, peluang Ahok untuk diusung oleh PDIP masih terbuka lebar (asalkan Ahok mau ikut mendaftar).

Di acara Kick Andy, Metro TV, 22 April 2016, “Menangis dan Tertawa Bersama Megawati”, Megawati menepis pertanyaan Andy Noya bahwa ada amarah Megawati kepada Ahok, berkaitan dengan perkataan Megawati kepada Ahok: “Yang jantan,dong!”,  yang sempat diucapkannya saat peluncuran bukunya beberapa waktu lalu. Megawati bilang itu hanyalah cara dia bergurau, dan Ahok juga tahu itu.

“Jadi, itu hanya bercanda atau serius?” Tanya Andy Noya.

“Ya, bercanda saja, orang sama Ahok kok disuruh serius,” jawab Megawati.

Andy Noya juga sempat bertanya kepada Megawati, “Ahok itu orangnya menyebalkan, ya?” Yang spontan dijawab Megawati, “Nggak, tuh!” yang disambut dengan tepuk tangan para hadirin di studio.

Saat Andy bertanya lagi, “Anda sayang, nggak, sama Pak Ahok?”

Mega dengan bercanda menjawab, “Saya? Nanti, Ibu Ahok, bagaimana sama saya?” Disambut gemuruh suara tertawa para hadirin, termasuk Andi Noya sendiri. Mega sendiri tertawa lebar.

Itu semua artinya, apa?

Artinya, sampai kini, sesungguhnya hubungan PDIP (Megawati) dengan Ahok tetap baik-baik saja, meskipun Ahok sudah memutuskan dirinya maju lewat jalur perseorangan. Tidak seperti analisa subyektif anti-Ahok yang pernah dikemukakan oleh Tjipta Lesmana di Indonesia Lawyers Club(ILC), TV One, 8 Maret 2016 lalu. Ketika itu, Tjipta menyatakan sebagai seorang pakar komunikasi ia sangat yakin bahwa akibat ulah Ahok yang tak tahu balas budi, telah membuat Megawati sangat marah kepada Ahok, dan Ahok sendiri berusaha untuk menjauh dari Megawati (baca artikel: Ketika Tjipta Lesmana Merasa Lebih Tahu daripada Ahok dan Megawati).

PDIP tidak jadi (atau belum?) mengusung/mendukung Ahok lebih dikarenakan mekanisme yang harus dijalani partai dalam proses pejaringan bakal calon gubernur DKI yang tidak sejalan dengan keinginan Ahok (bersama Teman Ahok) untuk mendapat kepastian dukungan dari PDIP, karena masalah waktu yang sangat terbatas jika melalui jalur perseorangan.

Jika PDIP tak memenuhi harapannya, apakah parpol lain, seperti Partai Gerindra akan bisa diharapkan Yusril?

Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)

Partai Gerindra yang punya 15 kursi di DPRD DKI pun sudah menunjukkan bahwa mereka akan mengabaikan Yusril, dengan mengutamakan bakal calon gubernur DKI dari internal partainya sendiri, dan berkoalisi dengan parpol lainnya, mialnya dengan PDIP. Pola koalisi yang didambakan adalah sebagaimana pola koalisi Gerindra-PDIP di pilkada DKI 2012 saat mereka bersama-sama mengusung Jokowi-Ahok.

Hal tersebut sudah diisyratakan oleh Waketum Bidang Politik Dalam Negeri dan Pemerintahan Partai Gerindra,  Fadli Zon. Dari sekian banyak calon yang tengah digodok Partai Gerindra saat ini, menurut Fadli hanya ada dua calon yang paling berpeluang untuk lolos.  Siapakah mereka?

Yang pasti salah satunya bukan Yusril Ihza Mahendra. Namanya tidak disebutkan sama sekali.

Fadli mengatakan, dua orang yang berpeluang lolos dalam penjaringan bakal calon gubernur/wakil gubernur DKI dari Gerindra itu adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Sandiaga Uno dan Letjen Sjafrie Sjamsoeddin.  Meskipun demikian, katanya, semua keputusan akhir ada pada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Sedangkan dalam pernyataannya beberapa waktu lalu, Prabowo juga pernah memberi isyarat nama Sandiaga Uno sebagai bakal calon Gerindra. Lagi-lagi, nama Yusril tidak pernah diucapkan Prabowo sebagai sosok yang akan diusung parpol-nya.

Pada 28 April 2016, Yusril pernah menemui Prabowo Subianto untuk berbicara tentang pencalonan dirinya itu, tetapi pada saat itu juga Prabowo belum menyatakan kepastian Gerindra akan mengusung Yusril (padahal tentu pernyataan seperti  itu yang paling ditunggu Yusril diucapkan Prabowo kepadanya).

Seusai pertemuannya dengan Prabowo itu, Yusril mengutip pesan Prabowo kepadanya, dengan berkata: “Saya realistis. Siapa punya visi-misi yang sejalan dan elektabilitas tinggi, saya pilih. Mudah-mudahan Pak Yusril paling tinggi”.

Faktanya, visi-misi Yusril dengan ideologi syariat Islam-nya tersebut di atas tentu bertolak belakang dengan paham nasionalisme Gerindra, sedangkan elektabilitasnya jelas masih jauh dari harapan. Apalagi dibandingkan dengan Ahok. Hasil survei Populi Center pada April 2016, menunjukkan elektabilitas Ahok 50,8 persen, sedangkan Yusril hanya 5 persen.

Setelah PDIP dan Gerindra hampir pasti tidak bakal mengusung Yusril Ihza Mahendra, lalu kepada parpol mana lagi Yusril berharap?

Partai Demokrat

Selain PDIP dan Gerindra, Partai Demokrat yang punya 10 kursi di DPRD DKI Jakarta adalah parpol ketiga yang Yusril daftarkan namanya di sana sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta, tetapi sampai hari ini Demokrat juga belum memastikan siapakah yang akan mereka usung. Nama Yusril juga belum dipastikan apakah diusung atau tidak, meskipun demi untuk itu Yusril telah bertemu dengan SBY lebih dari sekali.

Memang, selain mendaftar di mana-mana, Ketua Umum PBB ini juga menemui hampir semua ketua umum parpol, untuk melancarkan jurus rayuan politiknya agar mereka mau mengusungnya sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta.

Namun, sampai sekarang, Demokrat pun sendiri tampaknya masih belum yakin bisa mengusung bakal calonnya sendiri, dan kehadiran Yusril yang menawarkan dirinya utnuk diusung pun tak berpengaruh apa-apa bagi SBY.

Alhasil, keputusan yang akan diambil Demokrat bisa jadi mirip dengan posisinya di Pilpres 2014 lalu, yakni tidak mengusung pasangan calon mana pun.

Bagaimana dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)?

Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Belum apa-apa Yusril sudah memancing kontroversial dan emosi dari partai berlambang Kabah itu, ketika ia yang nota bene Ketua Umum PBB dengan lancang mengintervensi konflik internal PPP, antara kubu Rommahurmizy alias Rommy dengan kubu Djan Faridz.

Yusril yang mengharapkan dukungan dari PPP versi Djan Faridz menegaskan bahwa kepengurusan PPP yang sah adalah kepengurusan Djan Faridz. Padahal, pada 8-10 April 2016, di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur,  PPP sudah melakukan Muktamar rekonsiliasi yang diakui pemerintah (dibuka oleh Presiden Jokowi, ditutup oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla), dengan menghasilkan keputusan secara aklamasi memilih Romahurmuzy sebagai Ketua Umum PPP yang sah.

Ini, kok, ada ketua umum partai lain yang ukurannya hanya seupil, seenaknya saja menyelonong dengan pernyataannnya bahwa Ketua Umum PPP yang sah adalah Djan Faridz, bukan Rommy. Bukankah lebih baik dia (Yusril) mengurus dan mengembangkan partainya sendiri itu ketimbang mengurus partai orang lain yang nota bene jauh lebih besar dari partainya sendiri itu.

Ternyata, hiper ambisi untuk mendapat jabatan DKI 1 mampu membutakan mata etika seorang pengacara besar dan professor hukum.

"Yusril blunder. Dia telah menutup dirinya sendiri dari dukungan mayoritas mutlak struktur PPP di seluruh Indonesia pada umumnya dan DKI pada khususnya," kata juru bicara PPP Arsul Sani, Minggu (10/4/2016) (sumber).

Partai Golkar

Di dalam konflik internal Partai Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dengan kubu Agung Laksono, Yusril Ihza Mahendra bertindak sebagai kuasa hukum Golkar versi Aburizal Bakrie.

Ketika para petinggi Golkar yang sedang berkonflik itu akhirnya sepakat untuk mengakhiri pertikaian mereka dengan mengadakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) dengan agenda utama memilih ketua umumnya yang baru, Yusril malah tampil dengan pernyataannya bahwa seharusnya Golkar tidak perlu mengadakan Munaslub seperti itu, karena secara hukum tidak ada manfaatnya. Ia sempat berpolemik dengan sesepuh Golkar, Akbar Tanjung tentang perlu-tidaknya Munaslub Golkar tersebut.

Aneh, bukan? Ini urusan internal Golkar, para petingginya sudah sepakat mengakhiri konflik mereka secara politik, bukan dengan cara hukum lagi,  dengan mengadakan Munaslub itu, tetapi lagi-lagi Yusril yang adalah Ketua Umum PBB malah mengintervensi dengan pernyataannya itu, bahkan sempat berpolemik dengan Akbar Tanjung, sesepuh Golkar sendiri.

Kemungkinan Yusril merasa terancam jika Munaslub Golkar itu akan sukses mengakhiri pertikaian di antara para petinggi Golkar itu, lalu yang terpilih sebagai ketua umum Golkar yang baru bukan sosok yang mendukungnya sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta. Sebab, sebelumnya ia optimis Abu Rizal Bakrie akan mendukung dia sebagai bakal calon gubernur DKI itu.

Suara Yusril itu tak lagi didengar, semua petinggi Golkar sudah sepakat untuk tetap mengadakan Munaslub Golkar yang akan diselenggarakan di Bali, pada 25 Mei mendatang. Rencananya Presiden Jokowi yang akan membuka Munaslub tersebut.

Sebelumnya, meskipun berada dalam konflik, Partai Golkar tidak lupa dengan rancangan pencalonan gubernur DKI Jakarta itu. Pada 15 April lalu,  Sekjen DPP Partai Golkar, Idrus Marham menjelaskan bahwa Golkar melalui DPD Jakarta sudah melakukan banyak persiapan untuk itu, termasuk survei internal siapa yang layak didukung Golkar. Di dalam survei tersebut, lagi-lagi terdapat nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai kandidat yang layak didukung Golkar.

Namun, karena Golkar cuma punya 9 kursi di DPRD DKI, tentu ia membutuhkan koalisi dengan partai lain. Menurut Idrus, untukkeperluan tersebut Golkar sudah menjalin komunikasi dengan PDIP, Gerindra, PKB, dan PKS. Dari ulasan tersebut di atas, komunikasi dengan PDIP, Gerindra, dan PKB hampir dapat dipastikan tidak akan menghasilkan nama Yusril Ihza Mahendra.

Tersisa tiga parpol lagi, yakni PKS, PKB dan PAN, sedangkan Partai NasDem dan Partai Hanura sudah pasti mendukung Ahok, dapatkan Yusril Ihza Mahendra menggantungkan harapannya kepada PKS dan PAN?

Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Di antara semua parpol, mungkin hanya PKS yang paling cocok sepaham dengan Yusris Ihza Mahenda di banyak aspek, termasuk ideologi yang berkaitan dengan Syariat Islam dengan kehidupan bernegara dan berkebangsaan.

Namun karena PKS hanya mempunyai 11 kursi di DPRD DKI, maka PKS pun bergantung pada koalisi dengan parpol lain, sementara itu parpol-parpol lain tersebut kelihatannya tidak akan mengusung Yusril.

Jadi, harapan Yusril di PKS juga akan kandas.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Sampai saat ini PKB yang punya 6 kursi di DPRD DKI Jakarta belum membuka pendaftaran untuk menjaring calon gubernur DKI dari partainya.

Dilihat dari jumlah kursinya yang hanya 6 itu, PKB seharusnya tahu diri untuk tidak terlalu memaksakan dirinya mengajukan calonnya sendiri, karena selain mereka pasti membutuhkan koalisi, juga jika mereka mengajukan calonnya sendiri, sedangkan parpol lain yang lebih besar yang berkoalisi dengan mereka juga punya bakal calon sendiri, manakah mungkin parpol yang lebih besar itu mengalah.

Partai Amanat Nasional (PAN)

Dari semua parpol, PAN merupakan parpol terkecil di DPRD DKI, dengan hanya punya dua kursi di sana. Apakah yang bisa diharapkan Yusril dari PAN?

**

Yusril boleh saja berbangga hati ketika memenangi perkara masyarakat Bidara Cina melawan Pemprov DKI Jakarta di PTUN Jakarta, terkait proyek sodetan Kali Ciliwung (pihak Pemrov menyatakan kasasi), tetapi itu adalah dunia hukum. Dunianya Yusril. Yang berbeda dengan dunia politik menyangkut pemilihan kepala daerah. Khususnya pemilihan umum gubernur DKI Jakarta. Di dunia politik pemilu ini, bukan dunianya Yusril, hal tersebut sudah mulai terlihat dari apa yang sudah saya uraikan di atas. Jika ia memaksakan dirinya masuk ke dunia ini, maka kemungkinan besar ia akan kalah. Kalah dari Ahok, yang menurut hasil berbagai survei (terakhir survei Populi Center)  elektabilitasnya sampai hari ini selalu tertinggi, jauh di atas Yusril yang berada di peringkat kedua (50,8 persen vs 5 persen).

Yusril pernah mencoba nyapres di pemilu 2014  melalui partainya, PBB. Tetapi, belum apa-apa Yusril sudah gugur sebelum sempat maju di arena pilpres 2014 itu, karena di pemilu legislatif (9 April 2014) perolehan suara PBB hanya 1,45 persen, alias tidak mencapai ambang batas parlemen, sehingga tak punya satu pun kursi di parlemen. Dengan sendirinya PBB tidak punya hak untuk mengajukan calon presidennya yang menentukan ambang batas presiden (Presidential Threshold) adalah partai atau gabungan partai harus minimal memiliki 25 persen kursi di parlemen atau memperoleh minimal 20 persen suara sah Pemilu.

Yusril pernah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya mengenai ketentuan/syarat Presidential Thresholditu ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar ketentuan itu ditiadakan, tetapi permohonan tersebut ditolak MK (Maret 2014).

Sebelum nyapres di pemilu 2014, Yusril pernah diangkat menjadi menteri, masing-masing di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Indonesia (1999-2001), sebagai Menteri  Menteri Hukum dan Perundang-undangan Indonesia (2001-2004) di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri, dan sebagai Menteri Sekretaris Negara (2004-2007) di bawah Presiden SBY.

Setelah menjadi Menteri di tiga masa jabatan presiden yang berbeda itu, Yusril pun berambisi mengangkat derajatnya dengan menjadi presiden, tetapi seperti yang sudah disebutkan di atas, ia gagal sebelum bertarung. Seandainya rakyat percaya akan kemampuan Yusril menjadi Presiden, tentu nasib PBB dan dia sendiri tidak setragis itu.

Mencoba naik derajat, tidak mampu. Kini, Yusril mencoba nasibnya dengan turun derajat, dengan berambisi menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui pilkada DKI Jakarta 2017. Atas keputusannya itu, Yusril mengatakan ia tidak keberatan mencalonkan diri sebagai gubernur meskipun sudah pernah menjabat menteri. "Mestinya Anda terima kasih ada yang kapasitas nasional mau menangani daerah, pasti dia mampu," katanya.

Entah bagaimana jika nanti Yusril gagal lagi di pilkada DKI Jakarta itu, apakah Yusril juga tidak keberatan mencalonkan diri sebagai walikota atau bupati di daerah tertentu? Dan, rakyat di kota/kabupaten itu searusnya juga berterima kasih, karena dari kapasitas Ibu Kota Yusril pun rela menangani daerah setingkat kota atau kabupaten itu. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun