Mohon tunggu...
Dandung Nurhono
Dandung Nurhono Mohon Tunggu... Petani - Petani kopi dan literasi

Menulis prosa dan artikel lainnya. Terakhir menyusun buku Nyukcruk Galur BATAN Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warung Kopi Rujinah

2 Juli 2023   07:00 Diperbarui: 2 Juli 2023   07:07 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi liberika | Sumber: deskjabar.pikiran-rakyat.com)

Di dalam gerbong. Ia rebahkan badannya. Jiwanya lelap tenggelam dalam embusan udara dingin AC. Kota yang begitu ramai, ia lupakan. Berseliweran kendaraan lewat, ia abaikan.

Kereta cepat itu melesat, menembus kesiur angin pagi, meninggalkan semua yang ada dalam pikiran Baran. Ia baru bangun ketika kereta telah tiba di stasiun. Setengah malas, ia keluar peron. Memanggil tukang ojek pangkalan terdekat.

Kepada tukang ojek itu, Baran bercerita tentang keinginannya:
Ia ingin mendatangi suatu tempat yang belum pernah ia kenal. Sebuah dusun di mana saja, yang penting bisa ia tuju. Di ujung desa letaknya, dekat dengan belantara, jauh dari keramaian.

Tukang ojek itu diam, mencermati maksud dan keinginan Baran. Dengan harga sepakat, mereka berangkat.

Dalam perjalanan, dengan imajinasinya, Baran sudah membuat rencana:
Di sana, Ia ingin menyendiri, sekadar mencari suasana lain, di dusun yang jauh dari hiruk-pikuk kota.
Ia ingin berendam, dalam derasnya udara sejuk perdusunan yang bersih dan segar.
Ingin membersihkan telinganya, dengan kicauan burung-burung yang saling bersautan, bercanda ria di alam bebas.

Ia ingin merasakan pedihnya, duri-duri kaki jangkrik atau belalang hutan mencengkeram kulitnya. Ingin mencabik-cabik hatinya yang keras, dengan lengkingan binatang malam yang tajam. Ingin menguji nyalinya yang sombong, dalam gelap gulita hidup di tengah rimba yang asing.

Ia ingin menyelupkan jasadnya, ke sungai yang tidak beraroma limbah pabrik. Ingin menatap air terjun, dan merasakan cipratan air ke wajahnya yang bopeng penuh kelicikan. Ingin melupakan hiruk-pikuk taman kota yang terang benderang, air mancur yang menari-nari mengikuti irama musik kehidupan.

Ia ingin berkontemplasi, mensyukuri betapa alam telah memberi warna-warni bagi hidupnya.

***

“Sudah sampai Om.” Suara tukang ojek memecah keheningan hati Baran.

“Oh…” Sahut Baran, hanya mendesah.

Tidak terasa ojek telah sampai di batas desa. Angin semilir menyelinap di sela-sela jemari dedaunan liar, belukar, menyambut kedatangan Baran.

“Ikuti saja jalan setapak ini Om. Kendaraan hanya boleh sampai di titik ini. Selanjutnya harus dengan jalan kaki.” Kata tukang ojek memberi petunjuk. Kemudian lindap dari pandangan setelah menerima bayaran.

Baran membetulkan sepatunya, lalu, ranselnya yang tipis digendong di belakang punggung. Ia menatap jalan setapak di hadapannya. Perlahan kakinya melangkah memulai perjalanan menuju dusun terpencil di pinggir hutan.

Ia berjalan menyusuri jalan setapak berkelok-kelok, kadang menanjak kadang menurun, lalu datar.

Di kiri-kanan jalan, rimbun tanaman liar membentuk semak belukar yang menjalar mengular menutupi seluruh badan jalan yang berkontur batu dan tanah liat.

Sesekali di balik kerimbunan terlihat kebun singkong, pisang, sedikit bagian terlihat pohon-pohon pepaya. Juga meluas rapat kebun kopi yang sudah memerah buahnya. Mereka berebut tinggi dengan pohon-pohon kayu Suren, Sengon atau Randu Alas yang sudah tinggi melangit.

Tidak ada lalu-lalang kendaraan, tidak juga hilir mudik orang. Hanya sesekali saja berpapasan dengan orang dusun, memanggul rumput untuk ternaknya, atau memanggul kayu-kayu rapuh dari hutan untuk suluh.

Tiba-tiba awan merendah, menggamit permukaan tanah. Menabur hawa dingin, kabut datang. Tampak seorang laki-laki bertelanjang dada, memakai celana pendek, dengan parang di pinggang.

Sorot matanya tajam bertatapan mata dengan Baran. Ayunan langkahnya mengikuti langkah Baran. Jalannya sangat cepat hingga mengeluarkan suara menderu, seperti lalat mengerubungi amis ikan.

Terbersit rasa takut di hati Baran, ia menjauh. Setengah berlari ia coba menghindar. Semakin lama semakin kencang. Baran benar-benar berlari kencang sekarang.

Karena kelelahan, Baran terjatuh di semak belukar. Orang itu terus berjalan cepat menghampirinya. Baran cuma bisa pasrah, menggantungkan harapan pada takdir. Baran terduduk dengan nafas tersengal.

Dengan pandangan matanya yang tajam menembus nyali, orang itu terus mendekati Baran. Dia mengeluarkan parangnya. Diayunkannya parang itu secepat kilat menuju kepala Baran. Sekelebat suaranya mendesis dekat telinga Baran.

Seketika itu Baran terpejam, dunia menjadi hitam pekat. Hening. Bergeming, pun desah angin. Baran tenggelam dalam pingsannya, sangat dalam.

Entah berapa lama Baran terkapar tak sadarkan diri. Lantas ada telapak tangan yang kasar dan keras, menepuk-nepuk pipinya. Semakin lama tepukan itu terasa panas. Perlahan memancing kesadaran Baran.

Ia mulai siuman ketika ada cairan kental menetes di wajahnya, hangat, mengalir pelan di celah hidung dan pipinya. Lalu berkumpul di pangkal leher.

Baran ingin membuka mata, namun beban berat menahan matanya terbuka. Ia usap cairan kental itu dengan telapak tangannya yang lemas. Ia ingin bangkit, namun badannya letih. Ia tetap terkapar di tanah.

Sedikit demi sedikit Baran benar-benar siuman. Ia mulai bisa membuka matanya. Pandangannya mulai jelas, menangkap bayangan di depan matanya. Sebentuk wajah dengan rahang yang kekar.

Tiba-tiba tergambar sosok lelaki bercelana pendek di depannya. Baran mengenali wajah itu, wajah orang yang tadi mengejarnya.

“Hati-hati menapaki jalan ini Mas. Daerah ini masih wingit. Banyak orang kesasar.” Pesannya

Lalu, orang itu berbalik badan. Berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan Baran. Tanpa segaris senyuman.

Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Baran bangkit. Di atas kepalanya, semampir pada akar pohon, kepala ular segenggaman orang dewasa besarnya. Lehernya nyaris putus dari badannya. Darah masih menetes dari leher ular itu.

“Astaga, orang itu telah menyelamatkan aku dari serangan ular besar ini.” Kata Baran dalam hati.

Ia lantas berdiri, melangkah, dan berlari mengejar laki-laki yang bertelanjang dada, memakai celana pendek, dengan parang di pinggangnya, yang tadi telah menyelamatkan nyawanya.

Baran ingin mengucapkan terimakasih kepada orang itu. Namun sia-sia, bayangan itu telah lenyap bersama angin.

Baran mulai melanjutkan perjalanannya. Ia menyimpan pesan lelaki itu dalam benaknya.

***

Di langit, piringan matahari mulai beranjak menghilang, meninggalkan peraduan. Semburat cahayanya warna tembaga, menyelinap di sela-sela lebatnya daun pepohonan raksasa.

Hari telah senja ketika Baran menemukan warung itu. Telapak tangannya masih tampak kecoklatan, karena sisa-sisa darah yang sudah mengering.

“Suka kopi tubruk mas ?” Sapa seseorang ketika Baran baru saja sampai di bibir pintu masuk warung.

Warung itu luasnya tidak seberapa, di dalam temaram. Sumber cahaya hanya dari satu-satunya pintu yang terbuka, dan sedikit cahaya yang menerobos dari celah-celah dinding gedek yang tidak begitu rapat. Lantai tanah, permukaannya tidak rata.

Tidak tampak seorang pun di dalam, kecuali meja kayu seadanya, dikelilingi bangku bambu memanjang yang sudah tua. Beberapa gelas kopi tinggal ampasnya, dan sebuah asbak penuh puntung rokok klobot.

Baran meneruskan langkahnya ke dalam. Sosok wanita muncul dari balik meja, tidak terlalu muda tidak juga tua. Tingginya seimbang dengan badannya yang sintal. Rambut hitam diikat semacam sanggul kecil di kepala.

Wajah bagai kencana dalam hamparan tanah hitam. Pandang matanya memanggil, lembut melambai, selembut sampur penari, menebar harum melati.

Berpakaian kebaya motif bunga-bunga, dada sedikit terbuka, kain batik pudar warnanya, melilit tubuh yang padat itu.

Baran mundur selangkah, terkesiap. Tidak menduga ada bidadari di dusun terpencil ini.

“Kopi tubruk mas ?” Sapanya lagi.

 “Iya. Gulanya sedikit saja.”

“Adanya gula kawung mas.”

“Baiklah, tidak apa.”

Wanita itu mengangguk, sebentuk lengkung senyum di sudut bibirnya, memperindah wajah yang sawo matang.

“Nama saya Rujinah mas. Ru-ji-nah. Panggil saja Nah.” Terdengar suara air mengucur dari paruh teko ke dalam cangkir, ia mulai meracik kopi sambil memperkenalkan diri dengan halus. Matanya berkedip-kedip seperti lilin ulang tahun.

“Ru-ji-nah.” Seolah kena gendam Baran ikut mengeja kata per kata. Ia baru menyadari hari sudah merangkak gelap. “Warung ini tutup jam berapa ?” lanjutnya.

“Ini sudah di ujung senja mas, sebentar lagi tutup. Sudah tidak ada lagi matahari.”

“Di mana ada tempat bisa disewa untuk bermalam ?” 

Rujinah menatap Baran, raut wajahnya seketika berubah. Kopi yang akan disajikan tumpah, sebagian muncrat memercik menodai kebayanya, di bagian dada.

“Oh maaf. Maaf mas.” Rujinah terlihat gugup, wajahnya tampak redup. Lantas ia berbalik dan kembali meracik kopi. Tangannya gemetar membuat sendoknya terus beradu dengan bibir gelas, mengeluarkan suara gemelitik seperti suara ekor ular derik.

Dengan gerak indah seperti merak birahi, ia menyodorkan segelas kopi panas di atas cawan, ke hadapan Baran.

Baran pura-pura tidak melihat pesona itu, meskipun ada rasa heran dalam hatinya. Ia mulai menghirup aroma kopi hitam kental, berpadu dengan harum bunga kopi yang semerbak.

“Tidak ada rumah lagi di sini mas." Jelas Nah sambil menyelinap ke arah belakang warung. Hanya sebentar, Nah sudah kembali lagi masuk membawa lampu ublik minyak klentik. Apinya berpendar meliuk-liuk genit dibelai angin.

“Sebentar lagi akan gelap sempurna. Warung ini satu-satunya yang ada di ujung dusun ini mas." Jelas Nah sambil menebar senyuman. “Warung ini, gerbang masuk hutan.” Tandasnya.

Dengan wajah mulai gelisah, Baran melihat ke arah pintu. Tampak di luar semua berwarna hitam. Hatinya miris melihat serba hitam.

“Kalau begitu, boleh aku numpang bermalam di sini ? Tidak apa, aku tidur di bangku bambu ini. Sampai besok pagi.”

“Boleh mas. Tidak usah bayar.” Jawab Nah sedikit sungkan. “Beberapa orang, pernah menginap di sini. Ada yang karena kemalaman, tapi kebanyakan karena kesasar.”

“Kalau Nah tinggalnya di mana ?” Baran penasaran.

“Di sini mas,” jawab Nah pendek. “Warung ini rumah Nah juga.” Lanjut Nah, sambil melirik Baran yang masih tampak termangu.

Baran nratap, detak jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia merasakan ada hawa yang aneh, seorang bidadari tinggal sendiri di warung yang letaknya jauh dari keramaian, di ujung dusun, di depan gerbang masuk hutan. Malam-malam begini.

Suara hewan malam mulai terdengar, jangkrik, burung hantu, katak, ada juga gemericik air mengalir. Hewan nokturnal semua bersuara bersahut-sahutan. Menidurkan Baran.

***

Tahu-tahu hari sudah pagi. Bukan, sudah siang malahan.
Matahari di cakrawala sudah menebar cahaya warna-warni, biru, dikelilingi jingga, ada semburat kelabu. Putih menghampar rata menjadi latar.

Di tanah hanya warna kelam, di sana-sini rumput menyembul, juga di sela-sela batu. Semut hitam berbaris merayap di batu itu.

Baran melihat banyak orang berteriak, memanggil-manggil namanya. Semua sibuk dan ribut. Di antara orang-orang itu, ada tukang ojek yang pernah mengantarnya.

Tampak juga seseorang yang Baran kenal, dia laki-laki bertelanjang dada, memakai celana pendek, dengan parang di pinggang.

Lantas ada seorang perempuan, sepertinya yang dituakan. Wajahnya tenang, berhias keriput halus di pipi dan keningnya, berpadu serasi dengan rambutnya yang berwarna perak. Ia membawa anglo kecil, berasap aroma kemenyan. Diarahkan ke segala penjuru mata angin. Bibirnya tidak berhenti komat-kamit.

Baran ingin berteriak menjawab panggilan mereka, tapi tidak bisa bersuara. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa diam terpaku, memandang mereka. Raganya lungkrah.

Baran memandang sekeliling, dan terperangah. Ia baru menyadari dirinya tidak sedang di warung kopi Rujinah. Tapi, di bawah pohon kopi tua yang sangat besar dan rimbun.

Ranting-rantingnya menjulur menggurita, dipenuhi buah kopi yang sudah merah merona. Bagai raksasa mengenakan jubah tebal, dihiasi manik-manik dan monte-monte yang indah. Sangat memesona, di antara lebatnya akar-akar pohon yang menjuntai.

Orang-orang masih terus berteriak-teriak, memanggil-manggil nama Baran, semua sibuk dan ribut. Sekali waktu datang angin semilir, mengusap membelai wajah Baran, menerbangkan angannya.

Baran hanya bisa berserah, pasrah.
Menunggu, sampai entah kapan, orang-orang itu bakal menemukan dirinya. (*)

Bandung, Maret 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun