Dengan pandangan matanya yang tajam menembus nyali, orang itu terus mendekati Baran. Dia mengeluarkan parangnya. Diayunkannya parang itu secepat kilat menuju kepala Baran. Sekelebat suaranya mendesis dekat telinga Baran.
Seketika itu Baran terpejam, dunia menjadi hitam pekat. Hening. Bergeming, pun desah angin. Baran tenggelam dalam pingsannya, sangat dalam.
Entah berapa lama Baran terkapar tak sadarkan diri. Lantas ada telapak tangan yang kasar dan keras, menepuk-nepuk pipinya. Semakin lama tepukan itu terasa panas. Perlahan memancing kesadaran Baran.
Ia mulai siuman ketika ada cairan kental menetes di wajahnya, hangat, mengalir pelan di celah hidung dan pipinya. Lalu berkumpul di pangkal leher.
Baran ingin membuka mata, namun beban berat menahan matanya terbuka. Ia usap cairan kental itu dengan telapak tangannya yang lemas. Ia ingin bangkit, namun badannya letih. Ia tetap terkapar di tanah.
Sedikit demi sedikit Baran benar-benar siuman. Ia mulai bisa membuka matanya. Pandangannya mulai jelas, menangkap bayangan di depan matanya. Sebentuk wajah dengan rahang yang kekar.
Tiba-tiba tergambar sosok lelaki bercelana pendek di depannya. Baran mengenali wajah itu, wajah orang yang tadi mengejarnya.
“Hati-hati menapaki jalan ini Mas. Daerah ini masih wingit. Banyak orang kesasar.” Pesannya
Lalu, orang itu berbalik badan. Berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan Baran. Tanpa segaris senyuman.
Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Baran bangkit. Di atas kepalanya, semampir pada akar pohon, kepala ular segenggaman orang dewasa besarnya. Lehernya nyaris putus dari badannya. Darah masih menetes dari leher ular itu.
“Astaga, orang itu telah menyelamatkan aku dari serangan ular besar ini.” Kata Baran dalam hati.