Baran mundur selangkah, terkesiap. Tidak menduga ada bidadari di dusun terpencil ini.
“Kopi tubruk mas ?” Sapanya lagi.
“Iya. Gulanya sedikit saja.”
“Adanya gula kawung mas.”
“Baiklah, tidak apa.”
Wanita itu mengangguk, sebentuk lengkung senyum di sudut bibirnya, memperindah wajah yang sawo matang.
“Nama saya Rujinah mas. Ru-ji-nah. Panggil saja Nah.” Terdengar suara air mengucur dari paruh teko ke dalam cangkir, ia mulai meracik kopi sambil memperkenalkan diri dengan halus. Matanya berkedip-kedip seperti lilin ulang tahun.
“Ru-ji-nah.” Seolah kena gendam Baran ikut mengeja kata per kata. Ia baru menyadari hari sudah merangkak gelap. “Warung ini tutup jam berapa ?” lanjutnya.
“Ini sudah di ujung senja mas, sebentar lagi tutup. Sudah tidak ada lagi matahari.”
“Di mana ada tempat bisa disewa untuk bermalam ?”
Rujinah menatap Baran, raut wajahnya seketika berubah. Kopi yang akan disajikan tumpah, sebagian muncrat memercik menodai kebayanya, di bagian dada.