“Oh maaf. Maaf mas.” Rujinah terlihat gugup, wajahnya tampak redup. Lantas ia berbalik dan kembali meracik kopi. Tangannya gemetar membuat sendoknya terus beradu dengan bibir gelas, mengeluarkan suara gemelitik seperti suara ekor ular derik.
Dengan gerak indah seperti merak birahi, ia menyodorkan segelas kopi panas di atas cawan, ke hadapan Baran.
Baran pura-pura tidak melihat pesona itu, meskipun ada rasa heran dalam hatinya. Ia mulai menghirup aroma kopi hitam kental, berpadu dengan harum bunga kopi yang semerbak.
“Tidak ada rumah lagi di sini mas." Jelas Nah sambil menyelinap ke arah belakang warung. Hanya sebentar, Nah sudah kembali lagi masuk membawa lampu ublik minyak klentik. Apinya berpendar meliuk-liuk genit dibelai angin.
“Sebentar lagi akan gelap sempurna. Warung ini satu-satunya yang ada di ujung dusun ini mas." Jelas Nah sambil menebar senyuman. “Warung ini, gerbang masuk hutan.” Tandasnya.
Dengan wajah mulai gelisah, Baran melihat ke arah pintu. Tampak di luar semua berwarna hitam. Hatinya miris melihat serba hitam.
“Kalau begitu, boleh aku numpang bermalam di sini ? Tidak apa, aku tidur di bangku bambu ini. Sampai besok pagi.”
“Boleh mas. Tidak usah bayar.” Jawab Nah sedikit sungkan. “Beberapa orang, pernah menginap di sini. Ada yang karena kemalaman, tapi kebanyakan karena kesasar.”
“Kalau Nah tinggalnya di mana ?” Baran penasaran.
“Di sini mas,” jawab Nah pendek. “Warung ini rumah Nah juga.” Lanjut Nah, sambil melirik Baran yang masih tampak termangu.
Baran nratap, detak jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia merasakan ada hawa yang aneh, seorang bidadari tinggal sendiri di warung yang letaknya jauh dari keramaian, di ujung dusun, di depan gerbang masuk hutan. Malam-malam begini.