Suara hewan malam mulai terdengar, jangkrik, burung hantu, katak, ada juga gemericik air mengalir. Hewan nokturnal semua bersuara bersahut-sahutan. Menidurkan Baran.
***
Tahu-tahu hari sudah pagi. Bukan, sudah siang malahan.
Matahari di cakrawala sudah menebar cahaya warna-warni, biru, dikelilingi jingga, ada semburat kelabu. Putih menghampar rata menjadi latar.
Di tanah hanya warna kelam, di sana-sini rumput menyembul, juga di sela-sela batu. Semut hitam berbaris merayap di batu itu.
Baran melihat banyak orang berteriak, memanggil-manggil namanya. Semua sibuk dan ribut. Di antara orang-orang itu, ada tukang ojek yang pernah mengantarnya.
Tampak juga seseorang yang Baran kenal, dia laki-laki bertelanjang dada, memakai celana pendek, dengan parang di pinggang.
Lantas ada seorang perempuan, sepertinya yang dituakan. Wajahnya tenang, berhias keriput halus di pipi dan keningnya, berpadu serasi dengan rambutnya yang berwarna perak. Ia membawa anglo kecil, berasap aroma kemenyan. Diarahkan ke segala penjuru mata angin. Bibirnya tidak berhenti komat-kamit.
Baran ingin berteriak menjawab panggilan mereka, tapi tidak bisa bersuara. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa diam terpaku, memandang mereka. Raganya lungkrah.
Baran memandang sekeliling, dan terperangah. Ia baru menyadari dirinya tidak sedang di warung kopi Rujinah. Tapi, di bawah pohon kopi tua yang sangat besar dan rimbun.
Ranting-rantingnya menjulur menggurita, dipenuhi buah kopi yang sudah merah merona. Bagai raksasa mengenakan jubah tebal, dihiasi manik-manik dan monte-monte yang indah. Sangat memesona, di antara lebatnya akar-akar pohon yang menjuntai.
Orang-orang masih terus berteriak-teriak, memanggil-manggil nama Baran, semua sibuk dan ribut. Sekali waktu datang angin semilir, mengusap membelai wajah Baran, menerbangkan angannya.
Baran hanya bisa berserah, pasrah.
Menunggu, sampai entah kapan, orang-orang itu bakal menemukan dirinya. (*)