Mohon tunggu...
dahliana
dahliana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Saya memiliki hobi membaca, hobi membaca bagi saya adalah cara untuk memperluas wawasan, menggali pengetahuan baru, dan menikmati cerita yang menginspirasi. Aktivitas ini membantu saya rileks sekaligus meningkatkan imajinasi dan pemahaman terhadap berbagai sudut pandang. Membaca adalah waktu berharga untuk belajar dan mengeksplorasi dunia tanpa batas.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kekerasan Fisik (Kasus Kekerasan Terhadap Anak)

7 Januari 2025   16:02 Diperbarui: 7 Januari 2025   16:02 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggapan Masyarakat

            Peristiwa tersebut menimbulkan rasa marah dan kekecewaan dari berbagai kalangan, mengingat kekerasan fisik terhadap anak merupakan pelanggaran hak asasi yang sangat serius. Banyak pihak, termasuk warga sekitar dan organisasi perlindungan anak, menyerukan agar pihak berwajib memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku. Mereka berharap agar Dina Mariana mendapat hukuman yang adil, baik sebagai bentuk efek jera bagi pelaku kekerasan fisik maupun sebagai sinyal bagi masyarakat bahwa kekerasan terhadap anak tidak dapat ditoleransi.[1] Masyarakat juga menekankan perlunya proses hukum yang cepat dan transparan agar korban, dalam hal ini anak sambungnya, bisa mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang maksimal. 

 

Kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang ibu tiri terhadap anak sambungnya, yang terjadi di Jalan Kalibaru Barat, Cilincing, Jakarta Utara, pada 16 September 2024, telah memicu beragam tanggapan dari masyarakat. Kejadian tragis ini menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan warga, yang merasa tercoreng dengan kenyataan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang melibatkan hubungan ibu tiri dan anak sambung, masih sering terjadi meskipun sudah ada banyak upaya pencegahan. Masyarakat menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar dalam keluarga, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kasih sayang.

 

Banyak yang merasa kesal dan marah terhadap tindakan Dina Mariana, yang dianggap tidak manusiawi dan menciderai nilai moral dasar dalam sebuah keluarga. "Seorang ibu tiri harusnya bisa menjadi figur yang membimbing dan merawat anak sambungnya dengan penuh kasih sayang, bukan malah melakukan kekerasan," ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya. Rasa kecewa ini muncul karena masyarakat menilai bahwa peran ibu tiri seharusnya bisa membawa kedamaian dan kehangatan dalam keluarga, bukan sebaliknya, menyakiti dan menambah penderitaan bagi anak.

 

Di sisi lain, beberapa kalangan menganggap kasus ini mencerminkan kurangnya perhatian terhadap pola asuh yang sehat dalam keluarga, terutama dalam keluarga yang terlibat dalam pernikahan kedua atau yang melibatkan anak sambung. "Keluarga seperti ini membutuhkan bimbingan lebih dalam mengelola hubungan antar anggota keluarga," ungkap seorang psikolog keluarga. Mereka berpendapat bahwa faktor-faktor seperti perasaan cemburu, ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan peran baru, atau bahkan perbedaan pola asuh antara pasangan, bisa menjadi pemicu utama dalam terjadinya kekerasan semacam ini. Oleh karena itu, penting untuk memberi perhatian lebih pada dinamika psikologis dalam keluarga yang terlibat dalam pernikahan kedua atau keluarga dengan anak sambung.

 

Sebagian masyarakat juga menyoroti pentingnya peran hukum dan kebijakan perlindungan anak dalam menangani kasus seperti ini. Mereka berharap agar pihak berwenang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan psikologis korban. "Anak yang menjadi korban kekerasan seperti ini tidak hanya perlu keadilan, tetapi juga pemulihan mental dan fisik.[2] Kita harus memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perlindungan maksimal," ujar seorang aktivis perlindungan anak. Mereka mendesak agar sistem hukum lebih tegas dalam menangani kekerasan terhadap anak, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.

 

Masyarakat juga mengungkapkan keprihatinan terhadap dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh kekerasan ini. Banyak yang khawatir bahwa anak yang menjadi korban akan mengalami trauma psikologis yang dapat mempengaruhi perkembangan mereka di masa depan. "Anak tersebut mungkin akan membawa luka ini sepanjang hidupnya.[3] Kita harus lebih peduli terhadap kondisi mental dan emosional mereka setelah kejadian ini," ungkap seorang ibu yang memiliki anak-anak dalam rentang usia yang sama dengan korban. Dalam hal ini, masyarakat berharap agar korban mendapatkan dukungan psikologis yang diperlukan untuk menyembuhkan luka batin yang mereka alami.

 

Di samping itu, ada pula yang melihat bahwa kejadian ini menggambarkan kegagalan dalam menjaga keharmonisan dalam keluarga. "Masalah dalam keluarga seperti ini bukan hanya tanggung jawab individu, tapi tanggung jawab kolektif. Kita sebagai masyarakat harus mendukung agar keluarga-keluarga bisa lebih sehat dalam menjalani hubungan," kata seorang tokoh masyarakat. Mereka menilai bahwa pendidikan yang lebih baik mengenai pentingnya komunikasi dan pemahaman dalam keluarga dapat mengurangi potensi terjadinya kekerasan semacam ini.

 

Sebagian masyarakat juga mengingatkan pentingnya pendidikan tentang hubungan keluarga yang sehat sejak dini, baik di sekolah maupun dalam lingkungan rumah tangga. "Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah masalah yang terjadi begitu saja, tetapi sering kali berkaitan dengan ketidakmampuan seseorang mengelola emosinya dan berkomunikasi dengan baik. Pendidikan yang mengajarkan empati dan keterampilan mengelola konflik akan sangat membantu," ujar seorang pengajar di sebuah lembaga pendidikan. Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya memperkenalkan konsep tentang kekerasan rumah tangga dan pencegahannya sejak usia dini.

 

Tidak sedikit juga yang mengingatkan agar masyarakat lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan yang terjadi di sekitar mereka. "Kita sering kali tidak tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah orang lain, tapi jika kita melihat tanda-tanda kekerasan, kita harus berani melaporkan.[4] Tidak ada alasan untuk diam saja," tegas seorang warga yang aktif dalam kampanye pencegahan kekerasan. Mereka menyarankan agar komunitas lebih saling peduli, dengan menciptakan lingkungan yang mendukung korban kekerasan untuk berbicara dan mencari bantuan.

 

Akhirnya, banyak warga yang menginginkan agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa depan. "Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal perubahan budaya. Kita harus mengedukasi masyarakat tentang bagaimana menciptakan keluarga yang harmonis dan bebas dari kekerasan," ujar seorang pendukung hak anak. Mereka percaya bahwa masyarakat yang lebih sadar dan peduli terhadap masalah kekerasan rumah tangga dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak dan keluarga secara keseluruhan.

 

Argumentasi Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap Anak

 

            Kekerasan fisik terhadap anak tidak hanya merusak tubuh, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang dapat bertahan seumur hidup. Oleh karena itu, hukuman yang diberikan harus mencerminkan beratnya dampak yang ditimbulkan. [5] Selain itu, hukuman yang setimpal juga akan memberikan rasa keadilan bagi korban dan menunjukkan bahwa sistem hukum melindungi anak-anak dari bahaya yang dapat datang dari orang terdekat mereka, termasuk anggota keluarga.

 

            Kekerasan terhadap anak, apapun latar belakang keluarganya, adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tak dapat dibenarkan dalam kondisi apapun. Anak adalah individu yang rentan, yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa, terutama dari orang tua atau wali mereka. Dalam kasus ini, Dina Mariana, sebagai ibu tiri, memiliki kewajiban untuk menjaga, merawat, dan mendidik anak sambungnya, bukan malah melakukan kekerasan. Kekerasan fisik yang dialami oleh anak tersebut tentunya meninggalkan luka tidak hanya secara fisik, tetapi juga psikis yang akan berlanjut hingga dewasa. Dalam konteks ini, setiap keluarga harus memahami bahwa kekerasan, baik fisik maupun emosional, akan menghancurkan ikatan keluarga dan menghancurkan masa depan anak.

 

Faktor psikologis sering kali menjadi pemicu utama dalam hubungan ibu tiri dan anak sambung yang tidak harmonis. Dinamika keluarga yang melibatkan pernikahan kedua atau penggabungan dua keluarga sering kali menciptakan ketegangan yang tidak mudah dihadapi.[6] Dalam banyak kasus, ibu tiri mungkin merasa terpinggirkan atau merasa kurang dihargai dalam keluarga baru, sementara anak sambung sering kali merasa kesulitan menerima figur ibu tiri sebagai pengganti ibu kandung. Ketegangan-ketegangan ini, jika tidak ditangani dengan baik, dapat berkembang menjadi konflik yang lebih besar. Dina Mariana, dalam hal ini, mungkin menghadapi tantangan emosional dan psikologis dalam mengelola perannya sebagai ibu tiri, namun itu tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan kekerasan terhadap anak sambungnya. Kegagalan untuk mengelola emosi dan tekanan tersebut harusnya tidak diekspresikan dalam bentuk kekerasan, tetapi melalui komunikasi yang sehat dan upaya penyelesaian masalah yang lebih konstruktif.

 

Masyarakat harus lebih sadar tentang pentingnya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang melibatkan anak-anak. Kita tidak dapat menganggap enteng situasi keluarga yang penuh ketegangan atau masalah. Di dalam banyak kasus, anak yang hidup dalam rumah tangga yang penuh kekerasan atau ketidakstabilan emosional akan membawa dampak psikologis yang sangat besar, seperti kecemasan, depresi, atau gangguan kepercayaan terhadap orang dewasa. Oleh karena itu, perlu ada sistem dukungan yang lebih kuat bagi keluarga yang menghadapi masalah, seperti pendampingan psikologis untuk ibu tiri, anak sambung, serta pasangan suami istri yang terlibat.

 

Peran Pemerintah Untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak

 

            Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyelenggarakan kampanye dan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengasuhan yang positif dan dampak buruk kekerasan terhadap anak.[7]

 

Pemerintah harus memperkuat dan menegakkan peraturan hukum yang ada, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 35 Tahun 2014) dan Undang-Undang KDRT. Meskipun kedua undang-undang ini sudah ada, penerapannya sering kali tidak maksimal. Banyak kasus kekerasan terhadap anak yang tidak mendapat penanganan yang cepat dan tepat karena lemahnya penegakan hukum. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa aparat penegak hukum diberi pelatihan yang memadai untuk menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak dengan sensitif dan profesional. Hal ini meliputi pemahaman tentang trauma psikologis yang dialami oleh anak korban kekerasan dan bagaimana melindungi hak-hak mereka tanpa memanfaatkan mereka lebih lanjut dalam proses hukum.

 

Pemerintah perlu memperkuat sistem perlindungan anak melalui lembaga yang khusus menangani hak anak, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan lembaga perlindungan sosial lainnya. Lembaga-lembaga ini harus dilibatkan secara aktif dalam pengawasan dan evaluasi implementasi kebijakan perlindungan anak.[8] Pemerintah juga perlu meningkatkan anggaran untuk lembaga-lembaga ini agar mereka bisa menjalankan tugas mereka dengan lebih maksimal, memberikan dukungan psikologis kepada anak korban kekerasan, serta mendorong penegakan hak-hak anak secara lebih sistematis. Pengawasan terhadap sekolah, tempat penitipan anak, dan lembaga-lembaga yang berinteraksi dengan anak juga perlu diperketat, untuk memastikan bahwa mereka bebas dari praktik kekerasan.

 

Pemerintah harus lebih gencar dalam melakukan kampanye pendidikan publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan terhadap anak. Banyak kasus kekerasan terhadap anak terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua atau masyarakat mengenai dampak kekerasan terhadap perkembangan anak. Kampanye ini harus mencakup informasi mengenai apa itu kekerasan terhadap anak, bagaimana cara mengenali tanda-tanda kekerasan, serta bagaimana melindungi anak dari kekerasan fisik dan emosional. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan pelatihan kepada orang tua, guru, dan tenaga medis mengenai cara-cara yang tepat untuk mendidik dan merawat anak dengan penuh kasih sayang tanpa menggunakan kekerasan.

 

Hal Yang Akan Terjadi Jika Kekerasan Terhadap Anak Tidak Segera Dihentikan

 

            Jika hal itu terus terjadi dan jika kekerasan terhadap anak tidak dihentikan, ini tidak hanya merugikan anak secara individu, tetapi juga berdampak pada masyarakat secara luas, menciptakan siklus kekerasan yang sulit diputuskan. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak sangat penting untuk memutuskan siklus ini dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

 

            Jika kekerasan terhadap anak tidak segera dihentikan, dampaknya akan terasa dalam jangka panjang, baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Secara psikologis, anak-anak yang mengalami kekerasan akan menghadapi trauma yang mendalam, yang dapat memengaruhi perkembangan emosional dan mental mereka. Anak-anak ini berisiko tinggi mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan.[9] Selain itu, mereka juga lebih rentan terhadap perilaku agresif atau menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari, karena sering kali mereka meniru pola perilaku yang mereka alami.

 

Dampak lainnya adalah terganggunya kualitas pendidikan anak. Anak-anak yang mengalami kekerasan sering kali mengalami kesulitan untuk fokus dalam belajar dan berinteraksi dengan teman-teman mereka. Stres yang dihasilkan dari pengalaman traumatis ini dapat mengganggu proses belajar mereka, yang pada akhirnya memengaruhi prestasi akademik dan peluang masa depan mereka. Jika kekerasan terus terjadi, mereka akan kehilangan kesempatan untuk berkembang secara optimal, baik secara intelektual maupun sosial, yang berpotensi menciptakan generasi yang terhambat potensinya.

 

Tidak hanya berdampak pada individu, kekerasan terhadap anak juga berkontribusi pada terbentuknya budaya kekerasan dalam masyarakat. Ketika anak-anak tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekerasan, mereka belajar bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan masalah atau mengekspresikan emosi.[10] Hal ini akan memperburuk siklus kekerasan di masa depan, dengan banyak individu yang lebih cenderung untuk melakukan kekerasan dalam hubungan pribadi atau bahkan dalam konteks sosial yang lebih luas. Dalam jangka panjang, masyarakat akan semakin terfragmentasi dan sulit untuk membangun rasa saling percaya antar anggotanya.

 

Jika kekerasan terhadap anak tidak dihentikan, akan terjadi penurunan kualitas hidup yang merata di semua lapisan masyarakat. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan tidak hanya membawa beban psikologis mereka sendiri, tetapi juga membebani sistem sosial, kesehatan, dan pendidikan yang ada. Sistem yang seharusnya mendukung mereka dalam proses pemulihan dan pertumbuhan akan kewalahan. Oleh karena itu, pencegahan kekerasan terhadap anak harus menjadi prioritas utama, karena menghentikan kekerasan hari ini adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik, tidak hanya untuk individu, tetapi untuk masyarakat secara keseluruhan.

 

Rekomendasi atau Gagasan Untuk Mengatasi Kekerasan Terhadap Anak

 

            Mengatasi kekerasan terhadap anak memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan melibatkan berbagai sektor. Dengan pemberdayaan orang tua, penguatan sistem perlindungan anak, pendidikan anak, serta kerjasama yang lebih erat antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang tanpa kekerasan.[11]

 

            Selanjutnya, penting untuk meningkatkan akses terhadap layanan perlindungan anak yang lebih mudah dan cepat diakses oleh masyarakat. Pemerintah perlu menyediakan saluran pelaporan yang aman dan efektif, serta mendukung lembaga yang menangani kekerasan terhadap anak untuk memberikan respons yang lebih cepat dan tepat. Selain itu, sistem dukungan psikologis yang kuat juga perlu diperkuat agar korban kekerasan dapat mendapatkan perawatan mental yang mereka butuhkan untuk memulihkan diri. Dengan memastikan bahwa setiap anak yang menjadi korban kekerasan mendapatkan perlindungan yang optimal dan dukungan yang memadai, kita dapat membantu mereka untuk sembuh dan melanjutkan hidup dengan lebih baik.

 

Penting pula untuk menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku kekerasan terhadap anak. Hukuman yang setimpal akan memberikan efek jera bagi pelaku dan memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap anak tidak bisa diterima dalam masyarakat. Namun, penegakan hukum yang adil juga harus diiringi dengan upaya rehabilitasi bagi pelaku, terutama jika mereka adalah orang tua atau wali yang mungkin mengalami kesulitan emosional atau psikologis. Pendekatan yang holistik, yang menggabungkan hukuman dengan rehabilitasi, dapat membantu mencegah terulangnya kekerasan dan menciptakan masyarakat yang lebih sadar akan pentingnya melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan.

 

SIMPULAN

 

            Kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang ibu tiri terhadap anak sambungnya, yang terjadi di Jalan Kalibaru Barat, Cilincing, Jakarta Utara, pada 16 September 2024, telah memicu beragam tanggapan dari masyarakat. Kejadian tragis ini menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan warga, yang merasa tercoreng dengan kenyataan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang melibatkan hubungan ibu tiri dan anak sambung, masih sering terjadi meskipun sudah ada banyak upaya pencegahan.

 

            Kekerasan fisik terhadap anak tidak hanya merusak tubuh, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang dapat bertahan seumur hidup. Oleh karena itu, hukuman yang diberikan harus mencerminkan beratnya dampak yang ditimbulkan. Selain itu, hukuman yang setimpal juga akan memberikan rasa keadilan bagi korban dan menunjukkan bahwa sistem hukum melindungi anak-anak dari bahaya yang dapat datang dari orang terdekat mereka, termasuk anggota keluarga.

 

            Pemerintah harus memperkuat dan menegakkan peraturan hukum yang ada, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 35 Tahun 2014) dan Undang-Undang KDRT. Meskipun kedua undang-undang ini sudah ada, penerapannya sering kali tidak maksimal. Banyak kasus kekerasan terhadap anak yang tidak mendapat penanganan yang cepat dan tepat karena lemahnya penegakan hukum. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa aparat penegak hukum diberi pelatihan yang memadai untuk menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak dengan sensitif dan profesional.

 

            Jika kekerasan terhadap anak tidak segera dihentikan, dampaknya akan terasa dalam jangka panjang, baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Secara psikologis, anak-anak yang mengalami kekerasan akan menghadapi trauma yang mendalam, yang dapat memengaruhi perkembangan emosional dan mental mereka. Anak-anak ini berisiko tinggi mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan.

 

            Mengatasi kekerasan terhadap anak memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan melibatkan berbagai sektor. Dengan pemberdayaan orang tua, penguatan sistem perlindungan anak, pendidikan anak, serta kerjasama yang lebih erat antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang tanpa kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun