“Maksudmu?”
“Perjanjian ini kurang memenuhi syarat.”
Kujelaskan padanya bahwa sertifikat tanah tersebut masih atas nama almarhum suami Bu Kawi, jadi ia tak bisa begitu saja menandatanganinya. Ini bisa menjadi kurang syarat subyektif. Juga dalam perjanjian itu tidak dijelaskan keterangan tanahnya. Ini bisa menjadi kurang syarat obyektif.
“Saya usulkan sebaiknya diurus notaris. Nanti notaris yang membuat akta jual belinya sekaligus pengalihan nama ke badan pertanahan. Saya kenal beberapa notaris bagus,” kataku.
“Bagaimana baiknya menurutmu sajalah, yang penting tanahnya terjual dengan harga bagus. Kamu mau bantu mengurusnya kan?”
“Soal uang kos? Bisa saya minta perpanjangan waktu?” tanyaku tembak langsung.
“Gampanglah soal itu. Tolong selesaikan saja dulu semua urusan tanah ini,” dan kini aku telah menjadi pengacaranya.
“Oh, ya. Kemarin tukang pos menyerahkan surat ini. Untukmu,” Bu Kawi menyerahkan seamplop surat kepadaku.
Di alamatnya surat itu berasal dari kampungku. Kusobek ujungnya dan langsung kubaca. Dari tanggalnya surat itu dikirim tiga hari yang lalu. Mas Girin, Masku yang tertua, yang menulisnya. Dalam surat itu ia menjelaskan bahwa ayah sakit keras.
“Ayah berkeras tak ingin dibawa ke rumah sakit. Dokter yang datang ke rumah sudah memvonis: ayah diabetes parah,” tulisnya, dan otot-ototku seketika menegang. Pikiran yang terlontar pada ayah membuat mataku berkaca.
“Kenapa, No?” tanya bu Kawi.