Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tas Merah Bata dan Kenangan 40 Tahun Silam

15 Agustus 2016   08:44 Diperbarui: 15 Agustus 2016   20:50 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : clipartkid.com

 

Rayhma mendekap travel bag berukuran besar tersebut. Meski sedikit kerepotan, ia enggan  meletakan tas yang warnanya sudah mulai memudar itu di tempat khusus bersama deretan koper penumpang lain. Petugas kapal ferry Singapura-Batam sempat meminta beberapa kali agar ia menyimpan tasnya sementara, namun secara halus Rayhima menolak.

Ia memilih sedikit kerepotan memeluk tas tersebut dibanding harus meletakannya di dekat pintu masuk bersama tas dan koper penumpang lain. Ia pun menolak saat putri dan cucunya menawarkan diri untuk memangku tas tersebut. Bukan, bukan karena takut travelling bag tersebut rusak atau hilang, namun karena ia membutuhkan sedikit ketenangan – dan entah mengapa, tas tersebut mampu memberinya rasa tenang yang ia butuhkan.

Bagi Rayhma, bau khas yang menguar dari tas tersebut laksana aromatheraphy untuk mengurangi rasa gugup atau lelah. Semakin pekat aroma dari travelling bag yang berwarna merah bata tersebut tercium, semakin kuat rasa tenang itu menjalar dalam tubuhnya yang mulai renta.

Ia sadar, sebenarnya bukan aroma tas itu yang menenangkan, namun kenangan dibalik travelling bag itu yang membuat deburan jantungnya sedikit tenang. Ia membutuhkan tas tersebut untuk menjembataninya kembali ke masa lalu. Bersua dengan sosok dan suasana silam yang sudah ia tinggalkan 40 tahun lalu.

“Mak, sudah sampai,” ungkap anak perempuannya.

Come on, Grandma,” ujar sang cucu dengan suara lebih tegas.

Rayhima memang masih diam terpaku. Duduk di kursi kapal ferry sambil mendekap tas berwarna merah bata tersebut. Ia masih tak percaya bisa kembali sampai ke Batam, Kepulauan Riau. Kota yang empat dasawarsa lalu ia tinggalkan karena satu dan lain hal.

***

Bila Abang tak nak ikut, biar saya berangkat sendiri.

Meski sudah berlalu ratusan ribu hari, Rayhima masih mengingat kalimat yang ia ucapkan ke suaminya tersebut secara rinci – kata per kata. Kalimat itu ia ucapkan dengan tegas dan lugas sebelum bertolak dari Batam ke Negeri Singa.

Saya tak ingin kehilangan lagi orang yang saya sayangi, orang yang saya cintai.

Rayhima sepertinya sudah mulai  putus asa meyakinkan sang suami untuk ikut pindah ke Singapura. Sejak beberapa bulan terakhir, ia memang sudah tidak lagi berniat tinggal di pulau berbentuk kalajengking tersebut. Menurutnya, sudah cukup banyak orang-orang yang ia cintai menjadi korban. Sehingga, ia tidak lagi ingin tinggal ditengah hamparan lahan kosong tanpa fasilitas apapun.

Sudah cukup orangtua saya dan anak sulung kita yang menjadi korban. Bang, disini tidak ada rumah sakit, tidak ada kendaraan. Saya tidak mau mengorbankan dua anak kita yang lain. Saya takut salah satu dari kita kembali terkena malaria. Ayo kita pindah, Bang, mencari kehidupan di negeri orang.

Namun Rayhima tidak juga mampu meyakinkan sang suami. Lelaki itu tetap kukuh dengan pendiriannya. Saat Rayhima mengepak pakaian dan beberapa benda yang sekiranya diperlukan di Singapura ke dalam tas besar berwarna merah bata, sang suami hanya berdiri mematung. Lelaki itu tidak mencegah, tidak juga membantu.

Untuk apa tinggal di wilayah terpencil seperti ini? Kerabat kita sudah banyak yang pindah. Mumpung ada kesempatan, mengapa tidak kita manfaatkan untuk mencari kehidupan yang lebih baik?

Lelaki itu tetap diam. Tak ada kata yang ia ucapkan. Ia hanya memandangi sang istri yang membabi buta memasukan beragam barang ke dalam travelling bag berwarna merah bata.

Jalanan itu masih tanah merah, Bang.  Tidak ada listrik, tidak ada air. Abang tak ingin ya menikmati air olahan, air bersih yang memang khusus untuk mandi dan minum? Bukan air hujan?

Lelaki itu masih tetap diam.

Kesal dengan sang suami yang tetap ingin bertahan di Batam, Rayhima nekat berangkat ke Singapura tanpa didampingi si belahan hati. Ia hanya membawa satu dari dua anaknya yang masih hidup. Ia masih ingat, saat itu – saat langit mulai berubah menjadi jingga, ia memutuskan melayari Selat Malaka, menuju Negeri Singa.

***

“Welcome to Batam, Grandma,”ucap sang cucu saat mereka sudah melewati imigrasi Pelabuhan Internasional Batamcentre.

Bagi sang cucu, ini memang kali kesekian berkunjung ke kota yang Rayhima tinggalkan empat dekade lalu.

This is another international ferry terminal. Besides Batamcentre, there’s Sekupang International Ferry Terminal,” jelas sang cucu.

Rayhima tak menjawab. Ia merespon pernyataan sang cucu dengan memperhatikan lebih detail pelabuhan ferry tersebut dengan lebih seksama.

“Selain Batamcentre dan Sekupang, ada beberapa pelabuhan internasional lain. Batam sudah banyak berubah, Mak, tak lagi seperti dulu,” ungkap putrinya menambahkan.

Rayhima hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil mendekap tas berwarna merah bata. Ia masih ingat, pada pertengahan 1970-an – saat ia berkeras meninggalkan Batam, kawasan tersebut masih wilayah tanpa penghuni. Saat itu tak ada satupun penduduk Batam yang ingin tinggal di kawasan Batamcentre. Kawasan yang cukup ramai ditinggali adalah Nagoya, Jodoh, Belakang Padang, dan Sambu. Baru beberapa tahun kemudian merembet ke wilayah Sekupang.

“Lihat, Mak, sekarang sudah ada mall, hotel, ada taksi pula. Jom, naik taksi, Mak,” kata sang putri sambil menunjukan pusat perbelanjaan dan penginapan yang lumayan besar di wilayah tersebut.

Batam sedang dibangun, Hima. Nanti pulau ini juga akan sama majunya dengan Singapura.

Kalimat dari sang suami yang diucapkan berpuluh tahun lalu, tiba-tiba kembali terngiang di telinga Rayhima.

Sekarang pemerintah melalui Otorita Batam sedang membangun Batam. Sabarlah, Hima, pembangunan membutuhkan proses – waktu yang tidak sebentar.

Namun saat itu, meski sang suami meyakinkannya untuk tetap bertahan di Batam, ia tidak peduli. Rayhima tetap berangkat ke Singapura. Ia tidak percaya, pulau berbukit dengan hamparan tanah merah tersebut dapat diandalkan untuk menjadi penopang hidup keluarga kecilnya.

Pada tahun-tahun pertama menetap di Negeri Singa, Rayhima merasa keputusannya sudah tepat. Apalagi saat itu ia memiliki penghasilan yang lumayan besar dengan menjadi juru masak di sebuah rumah makan khas Melayu. Namun perlahan, ia mulai rindu dengan rengekan anak bungsunya. Kangen dengan nasehat sang suami yang selalu menyejukkan.

Apalagi beberapa tahun kemudian, melalui beberapa kerabat yang sering pergi-pulang Singapura-Batam, ia mendengar Batam benar-benar dibangun. Pemerintah membangun waduk untuk memenuhi kebutuhan air bersih, membangun pembangkit listrik, hingga membangun rumah sakit dan jalan-jalan besar.

Dulu sebenarnya ia pernah pulang ke Batam. Rayhima sempat menyusuri tempat tinggalnya di wilayah Jodoh, berharap bersua kembali dengan suami dan anak bungsunya. Namun katanya sang suami dan penduduk di wilayah tersebut sudah dipindahkan pemerintah ke wilayah Bengkong. Enggan menyusuri jejak sang suami di tempat yang belum ia kenal, akhirnya Rayhima kembali ke Singapura. Ia pun memutuskan untuk berganti kewarganegaraan.

Sejak tidak menemukan anak dan suaminya di Batam, Rayhima tidak pernah lagi berkunjung ke kota tersebut. Ia hanya sesekali menonton atau membaca perkembangan Batam melalui televisi dan surat kabar. Baru beberapa bulan lalu, sang putri  mengajaknya berkunjung ke Batam.

Meski awalnya enggan untuk menginjakan kembali kakinya di Batam, Rayhima akhirnya luluh. Ia bersedia untuk kembali bersua dengan suami dan anak bungsunya. Apalagi setelah mendengar perjuangan putri kesayangannya yang tidak mudah untuk mencari jejak ayah dan adiknya.

“Mak sudah sampai,” ucap sang putri membuyarakan lamunanya.

Setelah membayar beberapa lembar uang Rp50 ribuan ke pengemudi taksi, sang putri menuntun Rayhima menuju salah satu rumah. Bangunan itu berwarna hijau muda. Meski tidak begitu besar, rumah tersebut terlihat nyaman dan asri.

“Ini rumah Bapak, Mak,” kata putrinya.

Rayhima tidak mengucapkan apapun. Ia hanya terlihat lebih erat mendekap tas merah bata yang sedari tadi ia bawa dari Singapura.

***

“Hima, Abang benar kan? Lihat, Batam sekarang sudah sangat maju – sudah ada rumah sakit, air bersih, listrik, pusat perbelanjaan, hingga bandar udara. Seandainya dulu engkau sedikit saja lebih bersabar......”

Lelaki itu menatap Rayhima dengan sendu. Tatapannya masih sama seperti 40 tahun lalu – saat Rayhima dengan emosional memasukan seluruh barang dan pakaian yang dimilikinya ke dalam tas merah bata. Namun ada satu hal yang berbeda, dia kini tidak lagi berdiri sendiri disamping tas merah bata seperti empat dasawarsa lalu, tetapi didampingi seorang perempuan keibuan yang dulu menjadi tetangga sebelah rumah mereka.

“Kami memaafkanmu, Hima. Kami tidak mungkin tidak memaafkanmu. Apalagi kamu meninggalkan rumah untuk mencari peruntungan, untuk menyelamatkan keluarga kita, namun sekarang suasananya sudah sedikit berbeda. Abang juga minta maaf...”

“Ini Mak Mun, tetangga kita dulu. Ia yang menyelamatkan hari-hari Abang agar bisa bertahan sepeninggalmu. Bertahan menjaga Hisyam agar dia bisa tumbuh seperti saat ini – menjadi seorang dokter, seperti yang kita cita-citakan dulu,” ujar sang suami dengan nada sedikit bersalah.

“Saya paham. Abang tidak bersalah, saya yang terlalu emsional. Waktu itu saya tidak mau kehilangan orang yang saya cintai. Saya lupa, saat saya memutuskan pergi, saya malah sudah pasti kehilangan dua orang yang sangat saya cintai,” ujar Rayhima tergugu.

***

Rayhima kembali mendekap tas merah bata itu. Kali ini dekapannya lebih erat untuk menyamarkan suara tangisnya yang tak berkesudahan. Ia kembali mengarungi Selat Malaka itu. Ia kembali ke Singapura. Ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya disana. Rayhima tidak mau lagi mengacaukan keluarga yang sudah dibangun suaminya dengan susah payah. Biarlah ia mengalah, membiarkan suami dan anak bungsunya hidup berbahagia di Batam bersama Mak Mun.

Ia sudah putuskan, saat sampai di Harbourfront, ia akan langsung memasukan tas yang berisi barang-barang kenangan selama hidup di Batam itu ke kotak sampah. Biarlah barang-barang kenangan tersebut hilang dan menjadi serpihan kecil.

“Mak, sudah sampai,” kata putrinya.

Come on, Grandma,” kata cucunya sambil membimbingnya keluar dari kapal ferry tujuan Batam-Singapura. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun