Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tas Merah Bata dan Kenangan 40 Tahun Silam

15 Agustus 2016   08:44 Diperbarui: 15 Agustus 2016   20:50 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : clipartkid.com

Apalagi beberapa tahun kemudian, melalui beberapa kerabat yang sering pergi-pulang Singapura-Batam, ia mendengar Batam benar-benar dibangun. Pemerintah membangun waduk untuk memenuhi kebutuhan air bersih, membangun pembangkit listrik, hingga membangun rumah sakit dan jalan-jalan besar.

Dulu sebenarnya ia pernah pulang ke Batam. Rayhima sempat menyusuri tempat tinggalnya di wilayah Jodoh, berharap bersua kembali dengan suami dan anak bungsunya. Namun katanya sang suami dan penduduk di wilayah tersebut sudah dipindahkan pemerintah ke wilayah Bengkong. Enggan menyusuri jejak sang suami di tempat yang belum ia kenal, akhirnya Rayhima kembali ke Singapura. Ia pun memutuskan untuk berganti kewarganegaraan.

Sejak tidak menemukan anak dan suaminya di Batam, Rayhima tidak pernah lagi berkunjung ke kota tersebut. Ia hanya sesekali menonton atau membaca perkembangan Batam melalui televisi dan surat kabar. Baru beberapa bulan lalu, sang putri  mengajaknya berkunjung ke Batam.

Meski awalnya enggan untuk menginjakan kembali kakinya di Batam, Rayhima akhirnya luluh. Ia bersedia untuk kembali bersua dengan suami dan anak bungsunya. Apalagi setelah mendengar perjuangan putri kesayangannya yang tidak mudah untuk mencari jejak ayah dan adiknya.

“Mak sudah sampai,” ucap sang putri membuyarakan lamunanya.

Setelah membayar beberapa lembar uang Rp50 ribuan ke pengemudi taksi, sang putri menuntun Rayhima menuju salah satu rumah. Bangunan itu berwarna hijau muda. Meski tidak begitu besar, rumah tersebut terlihat nyaman dan asri.

“Ini rumah Bapak, Mak,” kata putrinya.

Rayhima tidak mengucapkan apapun. Ia hanya terlihat lebih erat mendekap tas merah bata yang sedari tadi ia bawa dari Singapura.

***

“Hima, Abang benar kan? Lihat, Batam sekarang sudah sangat maju – sudah ada rumah sakit, air bersih, listrik, pusat perbelanjaan, hingga bandar udara. Seandainya dulu engkau sedikit saja lebih bersabar......”

Lelaki itu menatap Rayhima dengan sendu. Tatapannya masih sama seperti 40 tahun lalu – saat Rayhima dengan emosional memasukan seluruh barang dan pakaian yang dimilikinya ke dalam tas merah bata. Namun ada satu hal yang berbeda, dia kini tidak lagi berdiri sendiri disamping tas merah bata seperti empat dasawarsa lalu, tetapi didampingi seorang perempuan keibuan yang dulu menjadi tetangga sebelah rumah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun