Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tas Merah Bata dan Kenangan 40 Tahun Silam

15 Agustus 2016   08:44 Diperbarui: 15 Agustus 2016   20:50 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : clipartkid.com

Bagi sang cucu, ini memang kali kesekian berkunjung ke kota yang Rayhima tinggalkan empat dekade lalu.

This is another international ferry terminal. Besides Batamcentre, there’s Sekupang International Ferry Terminal,” jelas sang cucu.

Rayhima tak menjawab. Ia merespon pernyataan sang cucu dengan memperhatikan lebih detail pelabuhan ferry tersebut dengan lebih seksama.

“Selain Batamcentre dan Sekupang, ada beberapa pelabuhan internasional lain. Batam sudah banyak berubah, Mak, tak lagi seperti dulu,” ungkap putrinya menambahkan.

Rayhima hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil mendekap tas berwarna merah bata. Ia masih ingat, pada pertengahan 1970-an – saat ia berkeras meninggalkan Batam, kawasan tersebut masih wilayah tanpa penghuni. Saat itu tak ada satupun penduduk Batam yang ingin tinggal di kawasan Batamcentre. Kawasan yang cukup ramai ditinggali adalah Nagoya, Jodoh, Belakang Padang, dan Sambu. Baru beberapa tahun kemudian merembet ke wilayah Sekupang.

“Lihat, Mak, sekarang sudah ada mall, hotel, ada taksi pula. Jom, naik taksi, Mak,” kata sang putri sambil menunjukan pusat perbelanjaan dan penginapan yang lumayan besar di wilayah tersebut.

Batam sedang dibangun, Hima. Nanti pulau ini juga akan sama majunya dengan Singapura.

Kalimat dari sang suami yang diucapkan berpuluh tahun lalu, tiba-tiba kembali terngiang di telinga Rayhima.

Sekarang pemerintah melalui Otorita Batam sedang membangun Batam. Sabarlah, Hima, pembangunan membutuhkan proses – waktu yang tidak sebentar.

Namun saat itu, meski sang suami meyakinkannya untuk tetap bertahan di Batam, ia tidak peduli. Rayhima tetap berangkat ke Singapura. Ia tidak percaya, pulau berbukit dengan hamparan tanah merah tersebut dapat diandalkan untuk menjadi penopang hidup keluarga kecilnya.

Pada tahun-tahun pertama menetap di Negeri Singa, Rayhima merasa keputusannya sudah tepat. Apalagi saat itu ia memiliki penghasilan yang lumayan besar dengan menjadi juru masak di sebuah rumah makan khas Melayu. Namun perlahan, ia mulai rindu dengan rengekan anak bungsunya. Kangen dengan nasehat sang suami yang selalu menyejukkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun