Mohon tunggu...
Susanti Susanti
Susanti Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Content writer

Menyukai tulis menulis, jalan-jalan, dan makan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

KDRT: Kebohongan Dalam Rumah Tangga

10 Februari 2023   15:00 Diperbarui: 10 Februari 2023   15:16 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku pulang ke Indonesia setelah menetap di Kanada lebih dari 20 tahun akibat perceraianku. Hari ini, dua puluh tahun yang lalu, pengadilan menyetujui gugatan perceraianku dengan istriku atas dugaan perselingkuhan yang dilakukan istriku, Nadya. Kala itu aku tak kuasa memendam kekecewaan atas kenyataan pahit yang harus aku hadapi. Apakah ini karma untukku?

Aku tidak menyangka hari itu akan benar-benar terjadi. Tak pernah sekalipun dalam hidupku terpikirkan untuk menceraikannya seperti itu. Tapi apalah dayaku karena semua perselingkuhan itu dia lakukan akibat kesalahanku sendiri. Kesalahan paling bodoh yang seharusnya tidak pernah kulakukan. Terlebih kepada Nadya, wanita yang paling aku cintai saat itu dan mungkin masih sampai saat ini.

Masih teringat dengan sangat jelas dalam ingatanku kala itu, selama lima tahun terakhir sebelum perceraianku dengan Nadya, rumah tangga kami dipenuhi dengan emosi negatif yang meluap antara aku dan Nadya. Jika perbedaan pendapat tak dapat lagi kami hindari, kami akan bertengkar hebat kala itu.

Adu mulut menjadi suatu hal yang biasa dalam rumah tangga yang awalnya kami bangun dengan kasih sayang dan cinta. Seperti yang terjadi saat itu ketika aku baru pulang dari perjalanan bisnisku di Singapura. Aku pulang sudah cukup larut kala itu, hampir jam 11 malam.

Nadya telah terlelap dengan tidurnya dan aku membuka pintu rumah dengan sangat hati-hati. Aku takut akan membangunkan Nadya dari tidurnya. Aku terkejut ketika aku berjalan ke ruang makan untuk mengambil air di kulkas. Reza, adik Nadya ada di sana sedang makan malam sendirian.

“Hey, kak…kau baru pulang?” Dia menyapaku dengan ramah. Reza merupakan mahasiswa jurusan arsitek yang baru saja diterima di Universitas Indonesia yang berada tidak jauh dari rumah kami.

“Iya…aku tidak tahu kamu ada di sini?” Aku berusaha menyimpan kekecewaanku atas kehadirannya di rumah ini.

“Ah… sudah hampir seminggu. Kak Nadya tidak mengatakannya padamu?”

Aku menggelengkan kepalaku dan segera menenggak air putih yang baru saja kuambil dari kulkas. Aku segera meninggalkannya dan bergegas ke kamarku untuk membangunkan Nadya.

“Nad…bisakah kamu bangun sebentar?” Aku meraih bahunya dan menggoncangkannya cukup keras untuk membuatnya terbangun. Dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiranku dan cukup kesal karena membangunkannya.

“Tidak bisakah kau bangunkan aku lebih lembut lagi?”

“Oh, sepertinya tidak. Dan aku tidak tahu mengapa adikmu ada di sana? Di ruang makan kita?”

“Dia akan tinggal di sini untuk beberapa hari. “

“Di rumah ini? Bersama kita? Bagaimana mungkin kamu menyetujuinya? “

“Ayah memintaku melakukannya, Dipta. Dia belum menemukan tempat tinggal.”

“Tidak Nadya, Dia tidak akan tinggal dengan kita!”

“Mengapa tidak?”

“Ini rumah kita. Aku tidak ingin ada orang lain selain kita!”

“Kamu gila, Dipta! Dia adikku…”

“Aku tahu! Keluarkan dia dari sini segera!”

Aku tidak paham bagaimana kemarahanku memuncak setiap kali mendengar Nadya lebih memberikan perhatiannya pada orang lain selain diriku. Meskipun itu keluarganya, hal itu membuat dadaku sesak. Aku tak ingin dia melakukannya untuk orang lain.

Nadya keluar dari kamar kami dan terpaku di depan pintu mendapati Reza yang berdiri tak jauh dari kamar kami. Aku yakin dia mendengarkan semua pertengkaran kami. Nadya berjalan mendekati adiknya dan bicara lembut padanya, “Reza…itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Masuk kamarmu sekarang.”

Aku melihat ke arah Reza yang juga menatapku dengan tatapan penuh amarah. Aku mengalihkan pandanganku dengan cepat dan menghampiri Nadya segera setelah Reza masuk ke kamar rumah kami di lantai atas.

“Oh…jadi sekarang dia bahkan sudah punya kamar di rumah ini?”

“Hentikan, Dipta! Aku lelah dengan omong kosongmu itu!”

“Aku juga lelah Nadya. Kamu telah berjanji padaku untuk tidak membiarkan siapapun masuk rumah kita. Tapi apa yang kau lakukan?”

“Dia adikku! Bagaimana mungkin aku menolaknya?”

“Kamu bisa saja membiarkan dia tinggal di hotel.”

“Ayah tidak akan membiarkannya.”

“Kalau begitu carikan dia tempat tinggal dulu sebelum masuk kuliah.”

“Ayah menghendaki tempat paling dekat dengan kampusnya. Dan di sana semuanya sudah penuh. Apa salahnya jika dia tinggal disini?”

“Jadi kau memang menginginkan itu?” Aku melangkah lebih dekat ke arah Nadya dan dia memalingkan tatapannya dariku. “Kamu sudah merencanakan ini sejak awal kan? Agar dia tinggal dengan kita seperti ini?”

Nadya tidak menjawabku dan hanya menggelengkan kepalanya. Aku menekannya kembali seakan amarahku tak dapat aku kendalikan sepenuhnya. “Jawab aku Nadya! Aku semakin membuatnya terpojok ke dinding dekat kamar kami dan Nadya mulai meronta saat tanganku dengan kasar memegang kedua pipinya dan seketika itu juga turun mengarah ke lehernya.

“Kau tahu aku tidak suka ada orang lain selain kita di rumah ini. Tapi apa yang kau lakukan, huh? Kau melanggar perjanjian kita Nadya. Aku tak percaya kau melakukannya.” Aku berbisik ke telinganya dan semakin erat mencengkeram lehernya dengan tatapan marah diseluruh mataku.

Aku merasakan badanku mulai panas menjalar di sekujur tubuhku karena amarah yang tak dapat kukendalikan. Aku lihat Nadya meronta dan meneteskan air matanya tapi tak kulepaskan cengkeramanku pada lehernya. Aku melakukannya dengan sangat keras hingga membuatnya tersedak saat aku melepaskannya.

Aku meninggalkannya jatuh tersungkur di depan kamar kami dan menuju tempat tidur. Itu adalah pertama kalinya KDRT terjadi dalam rumah tangga kami. Dulu, tak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk menyakitinya apalagi membuatnya menangis. Saat ini aku tersadar bahwa cintaku untuknya saat itu berubah menjadi obsesi yang sangat mengerikan.

Setelah kejadian itu aku berusaha minta maaf pada Nadya dan dia memaafkanku. Hal tersebut tidak membuatku jera, hanya memperburuk obsesiku terhadapnya. Aku tak segan untuk menamparnya atau bahkan memukulnya dengan keras apabila keinginanku tidak dipenuhi oleh Nadya.

Masalah sederhana akan menjadi rumit bagi kami dan berujung terhadap kekerasan yang aku lakukan. Aku akan selalu mengulanginya lagi dan lagi, dan meminta maaf padanya lagi dan lagi, kemudian Nadya akan memaafkanku lagi dan lagi. Begitulah lingkaran setan itu terjadi seakan tak pernah ada ujungnya untuk berhenti selama hampir dua tahun.

Tiga tahun sebelum perceraianku dengan Nadya, kala itu aku mulai tersadar ketika Nadya melayangkan gugatan perceraian atas isu KDRT dalam rumah tangga kami. Aku melakukan apapun yang aku bisa untuk mempertahankan rumah tanggaku dengan Nadya. Aku berusaha minta maaf dan melakukan apapun yang aku bisa padanya lagi dan lagi sehingga perrceraian itu tidak terjadi.

Tiga bulan setelah Nadya melayangkan perceraiannya padaku kami kembali rujuk dan hidup bersama. Dalam satu tahun pertama kami setelah itu, aku merasa semuanya baik-baik saja. Kami cenderung sedikit saling berbicara sehingga mengurangi potensi adu mulut diantara kami.

Setidaknya hal itu yang dapat aku pikirkan saat itu. Aku ingin menjadi lebih baik lagi untuk Nadya dan untuk rumah tangga kami. Aku memutuskan untuk lebih banyak menjalankan bisnisku di luar negeri untuk menghindari terlalu sering bertemu dengan Nadya. Dan itu sangat menyiksaku.

Setiap kali aku pulang ke rumah satu minggu sekali, aku akan menjadi sangat terobsesi padanya. Aku sangat senang kala itu setiap kali aku pulang ke rumah Nadya akan selalu menyambutku. Memperlakukanku dengan baik dan menuruti semua keinginanku.

Ternyata semua itu hanya ilusi. Kebahagiaan yang aku rasakan seakan tak pernah nyata ketika Aku menemukan Nadya memiliki hubungan romantis lain dengan Kalis, mantan pacarnya saat SMA. Aku tidak bisa hanya diam mengetahui hal itu dan akupun seakan menggila saat itu. Beruntung Reza mengetahui pertengkaran kami dan mencegahku untuk mengulangi KDRT yang telah lama terkubur dalam rumah tangga kami.

Aku menahan amarahku selama selama tiga bulan sebelum aku melayangkan gugatan perceraianku atas perselingkuhan yang dilakukan Nadya. Pengadilan berusaha membuat kami berdamai untuk rujuk namun hasilnya nihil. Berbeda dengan aku yang ingin pernikahanku dapat diselamatkan, Nadya memutuskan akan mengabulkan gugatanku untuk bercerai.

Dan pada hari ini, setelah 20 tahun berlalu dari perceraianku, aku berdiri tepat di depan rumah Nadya yang dulu kami tinggali bersama. Aku tidak kuasa membiarkan air mataku menetes setelah berdiri di sini mengingat semua kenanganku bersama Nadya.

Kenangan pahit itu seakan tidak pernah berhenti menghantuiku selama 20 tahun ini. Seberapa keras aku mencoba mengindarinya, rasa penyesalan atas KDRT yang kulakukan itu menyiksaku selama sisa hidupku. Aku menjalani hari-hariku dengan berbagai terapi namun sepertinya tidak membantuku sama sekali.  

Aku hidup selama 20 tahun dalam rasa penyesalan yang tak akan pernah dapat kuperbaiki. Andaikan saja waktu dapat kuputar kembali, aku sangat ingin memperbaiki semuanya. Jika mesin waktu itu datang dan berpihak padaku, tak akan pernah sekalipun dalam hidupku untuk melakukan KDRT pada Nadya, istriku yang sangat kusayangi.

Aku kembali ke Indonesia sesegera mungkin setelah mengetahui fakta perselingkuhan Nadya yang menjadi penyebab perceraian kami adalah kebohongan. Kebohongan dalam rumah tangga kami itu dia buat dengan sengaja. Perselingkuhan itu tak pernah ada, namun itu adalah satu-satunya cara yang membuat Nadya dapat terlepas dari kejamnya obsesi cinta yang kumiliki untuknya.

Nadya meminta Kalis untuk melakukan rekayasa perselingkuhan dan bukti-bukti yang cukup kuat agar gugatan perceraian yang kulayangkan diterima oleh pengadilan. Aku tak menyangka Nadya akan melakukan itu untukku. Namun, ketika aku memikirkannya kembali, meskipun pahit aku akui bahwa itu adalah satu-satunya cara Nadya bisa terlepas dari ancaman KDRT yang mungkin dapat kuulangi lagi kapanpun.

Aku masih terpaku berdiri di depan mobilku dan tidak berani mengetuk pintu rumah Nadya. Aku terkejut ketika tiba-tiba Nadya keluar dari rumah dan tersenyum melihat ke arah ponselnya. Dia terpaku saat menoleh ke arahku, kemudian memanggil namaku dengan penuh tanda tanya, “Dipta?”

-End-

By Cucank

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun