Dari sekolah rendah Belanda, Sukarno melanjutkan ke sekolah menengah Belanda yang letaknya ada di kota Surabaya (sebelumnya Sukarno besar di Mojokerto). Bukan tanpa alasan Sukemi memperjuangkan lewat pengaruh kawan-kawannya  agar anaknya dapat masuk sekolah menengah di sana. Melalui sekolah menengah itu, Sukarno berpeluang untuk masuk ke perguruan tinggi Hogere Burger School atau HBS (juga di Surabaya).
Dan bukan sekedar melanjutkan sekolah saja, Sukemi sudah merencanakan agar selama di Surabaya, putranya tinggal di rumah Cokroaminoto, agar putranya dididik oleh sahabatnya itu.
"Kau tahu siapa itu Cokro?" tanya Sukemi pada anaknya, "Cokro adalah pemimpin politik dari orang Jawa. Sekalipun kau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin engkau tumbuh dalam bumi Barat. Karena itu kau kukirim ke Cokro, orang yang dijuluki Raja Jawa yang tidak bermahkota. Aku ingin agar engkau tidak melupakan tugasmu adalah menjadi Karna kedua."Â (Karna adalah nama pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata).
Sebegini jauhnyalah rencana Sukemi untuk putra sulungnya.
Dari Surabayalah, pemikiran dan gerak Sukarno dalam kancah perpolitikan mulai berkembang. Ia rajin mendampingi Cokroaminoto berpidato. Ia juga rajin mendengarkan obrolan Cokro dengan kawan-kawannya seputaran politik. Meski pada akhirnya Sukarno berbeda jalur dengan Cokroaminoto dalam hal landasan kemerdekaan, Sukarno tetap menghargai jasa-jasanya dan telaten menolongnya dalam situasi-situasi sulit.
Dalam masanya di Surabaya juga, Sukarno semakin berkenalan dengan pelbagai macam gagasan dari buku-buku. Ia membaca pemikiran Karl Marx, Thomas Jefferson, Gandhi, Sun Yat Sen, dan banyak lagi.
Inilah secuplik kisah Sukarno, bapak bangsa kita. Salah-satu proklamator negara kita.
Dari garis Ayah dan Ibu, keberagaman sudah mendarah-daging, apakah suku, agama, budaya, atau gagasan. Seperti yang ia ucapkan dalam biografinya:
"Latar-belakangku tidak sama dengan siapapun juga. Kakekku menanamkan pada diriku kebudayaan Jawa dan mistik. Dari Bapak datang teosofi dan Islamisme. Dari Ibu, Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku humanisme. Dari Pak Cokro datang sosialisme. Dari kawan-kawanku datang nasionalisme."
 Semoga tulisan ini bisa membuat mereka yang belum pernah membaca biografi Sukarno, menjadi tertarik dan bersemangat untuk membacanya. Seperti yang dituliskan di halaman awal buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, buku ini ditulis:Â
Demi pengertian terhadap Sukarno dan bersamaan dengan itu pengertian yang lebih baik terhadap Indonesiaku yang tercinta. -- Sukarno