Mohon tunggu...
Christine Setyadi
Christine Setyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - a mother of two yang lagi bucin dengan kisah-kisah sejarah

to write is to heal and empower.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keluarga dan Masa Kembang Sukarno

6 Juli 2022   18:35 Diperbarui: 6 Juli 2022   19:51 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebelum membaca buku biografi Sukarno, pengetahuan saya soal beliau bisa dibilang hampir nol. Sebatas fakta yang disajikan buku teks semasa sekolah.

Saya tidak tahu asal-usulnya. Siapa Ayahnya, siapa Ibunya. Bagaimana perjalanan hidupnya? 

Kok bisa-bisanya dipercaya memimpin puluhan juta orang untuk merebut kemerdekaan?

Tidak main-main!

Saya kepo dong: siapa orang ini?

Sumber saya untuk berkenalan dengannya adalah buku "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat" yang ditulis wartawati Cindy Adams. Buku yang terdiri dari 33 bab dan 415 halaman ini ditulis dengan gaya narasi.

 Gaya penulisan ini membuat saya dibawa menyelami perjalanan batin dan pikiran seorang Sukarno, sehingga ketika ia mengalami suatu peristiwa, kita seolah dibawanya serta untuk ikut memahami mengapa sebuah peristiwa bisa terjadi seperti yang tergores dalam sejarah.

Untuk berbagi kisah dengan pembaca yang mungkin pengetahuannya soal Sukarno mirip dengan saya (dulu), pada tulisan kali ini saya ingin menulis soal bagaimana Sukarno dibesarkan.

Seperti apa masa kecilnya? 

Seperti apa didikan dalam keluarganya?  

Periode kehidupan ini menurut saya amat perlu diketahui, karena peran keluarga yang bukan main besar terhadap jalan hidup seorang Sukarno.

Keturunan Bangsawan di Era Penjajahan

Sukarno lahir dari orangtua berdarah bangsawan. Ayahnya, Sukemi Sosrodiharjo, adalah seorang Raden dari Kesultanan Kediri di Jawa Timur. Ibunya, Idayu, kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman Idayu.

Meski turunan bangsawan, kelahiran Sukarno dan masa pertumbuhannya lekat dengan keterbatasan. Mengapa? Karena saat itu Nusantara dalam jajahan Belanda. Takhta Kediri dan Singasari sudah lama runtuh. Seperti halnya penjajahan di belahan bumi manapun, tidak ada persamaan hak antara penjajah dan yang terjajah. 

Rakyat dipaksa bekerja keras sekaligus melarat untuk kepentingan penjajahnya. Di pelbagai lini kehidupan, ekonomi, pendidikan, sosial -- terjadi diskriminasi, pembedaan fasilitas dan kesempatan antara penjajah dan orang-orang yang dijajah.

Ditambah lagi, orangtua Sukarno menikah tanpa persetujuan keluarga Idayu. Kala itu tidak ada orang Bali yang menikah dengan orang dari luar pulau Bali. Belum lagi perbedaan agama di antara keduanya. Sukemi dan Idayu berkeras menikah dengan cara kawin lari. Tak lama setelahnya mereka berpindah dari Bali ke Jawa.

Jadi, sejak awal pernikahan, keluarga ini sudah tersudutkan dari sisi keluarga besar maupun di hadapan penjajah.

Sukarno Lahir

Tahun 1901. Sukarno lahir. Keluarganya begitu melarat hingga hanya mampu membeli padi, bukan beras. Padi itu kemudian ditumbuk sendiri di dalam lesung. Dengan cara itu, mereka bisa menghemat satu sen untuk dibelikan sayur. 

Sukarno juga berkisah jika pohon dan sungai adalah sarananya bermain, karena tak ada uang untuk membeli mainan. 

Satu peristiwa yang cukup membekas padanya adalah ketika saat Lebaran, ia tidak bisa membeli petasan. Bagi jiwa kanak-kanaknya saat itu, ketidakmampuan untuk membeli petasan itu cukup membuatnya sedih.

Kaya dalam Harapan dan Cita-cita

Uniknya, meski melarat, Sukemi dan Idayu tidak miskin soal cita-cita. Mereka menaruh harapan sekaligus mengimani bahwa suatu ketika putranya akan menjadi pembebas rakyat. Setiap bangun tidur, Idayu rajin mengeloni Sukarno kecil sambil berkata, " ...  engkau anakku, kelak akan menjadi orang yang mulia, pemimpin besar dari rakyatmu, karena Ibu melahirkanmu di saat fajar menyingsing."

Perkataan ini terus didengungkan hingga Sukarno dewasa, sampai-sampai sesaat sebelum ia berangkat ke kota lain (Surabaya) untuk bersekolah di HBS, ibunya mengingatkannya sambil memutar tubuh anaknya ke arah timur, "Jangan sekali-kali kau lupakan nak, bahwa engkau adalah putra sang fajar." Sebagai pengingat, jangan pernah lupa jati dirinya, menjadi pembebas rakyat dari penjajah.

Sukemi dan Idayu memang selalu mengakrabkan Sukarno dengan perjuangan.  Yang mereka wariskan pada Sukarno melalui kisah-kisah cerita bukan soal keagungan kerajaan leluhur mereka, atau soal derajat kebangsawanan mereka, melainkan kisah-kisah heroik bertempur melawan penjajah.

Meski buta huruf, Idayu paham betul ia adalah pendidik utama anaknya. Narasi demi narasi dilisankannya kepada putra sulungnya. 

"Aku bersimpuh di dekat kaki Ibu berjam-jam untuk mendengarkan cerita-cerita menarik dari perjuangan melawan penjajahan di keluarga kami," kisah Sukarno.

Sang ayah, Sukemi, samimawon.

Sukemi gemar dengan kisah-kisah kepahlawanan Mahabharata dan Ramayana. Bahkan nama "Karno" terinspirasi dari nama seorang tokoh pahlawan paling hebat bernama "Karna"dalam cerita Mahabharata.

Melalui kisah-kisah itu, keberanian dan cita-cita Sukarno dipupuk setitik demi setitik. 

Maka itulah, dalam biografinya, Sukarno dengan lugas mengucap jika perjuangannya untuk merdeka itu bukan muncul tiba-tiba, melainkan karena ia mewarisinya. Bukan saja dari kedua orangtuanya, melainkan juga dari leluhurnya di jaman kerajaan-kerajaan yang terlebih dulu berperang melawan penjajah.

Diajarkan Mencintai Makhluk Hidup

Sukemi adalah seorang pendidik yang keras. Tak segan ia marah besar pada Sukarno jika gagal menaati nasehatnya.

Suatu hari, Sukarno kecil tanpa sengaja menjatuhkan sarang burung saat memanjat pohon jambu di pekarangan rumahnya. Sukemi memukul pantatnya dengan rotan. Ayahnya mempertanyakannya mengapa ia tidak melindungi makhluk Tuhan, "masih ingatkah kau arti dari kata-kata: tan twan asi, tat twan asi? Yang artinya dia adalah aku dan aku adalah dia, engkau adalah aku dan aku adalah engkau. 

Tuhan berada pada diri kita semua." Begitulah, sejak kecil ayahnya sudah mengajarkannya untuk tidak sembarangan memperlakukan makhluk hidup, tak terkecuali binatang.

Sarinah

Adalah juga Sarinah, seorang perempuan dari rakyat jelata yang bekerja pada keluarga Sukarno, yang juga berandil besar mengajarkan Sukarno kecil untuk memikirkan rakyat.

Sarinah tinggal bersama keluarga Sukarno. Ia bekerja membantu pekerjaan rumah tangga Sukemi dan Idayu, "Sarinah tidak menikah, dia kami anggap sebagai anggota keluarga. 

Dia tidur dengan kami, tinggal bersama kami, memakan apa yang kami makan, tetapi ia tidak mendapat gaji sepeserpun. Dialah yang mengajariku mengenal kasih sayang dan mengajariku untuk mencintai rakyat kecil."Begitu manisnya Sukarno bercerita soal Sarinah.

Selagi Sarinah memasak di gubuk kecil dekat rumah, Sukarno kecil kerap duduk di sampingnya. Pada momen-momen inilah nasehatnya meluncur untuk anak tuannya, "Karno, di atas segalanya engkau harus mencintai ibumu. Tapi berikutnya engkau harus mencintai rakyat kecil. Engkau harus mencintai umat manusia." 

Pendidikan

Soal pendidikan formal, Sukemi merencanakan betul-betul pijakan-pijakan yang untuk dilalui putranya. Mengapa? Ya itu, kembali kepada harapan dan cita-citanya agar kelak Sukarno dapat berdiri berhadap-hadapan dengan pemerintah kolonial dan berjuang meraih kemerdekaan.

Sekelarnya Sukarno dari kelas 5, Sukemi berkeras untuk Sukarno melanjutkan pendidikan di sekolah rendah Belanda. Ketika itu Sukarno bertanya, mengapa ia tidak melanjutkan saja ke sekolah pribumi lagi. Saat itu sekolah untuk pribumi mentok sampai kelas 5. Tetapi rencana Sukemi tidak mentok.

Karena Sukarno tidak fasih berbahasa Belanda, Sukemi mencarikan guru bahasa Belanda agar putranya mampu menjalani sekolah dengan baik. Sukemi bahkan rela anaknya berpacaran dengan pelajar Belanda, semata agar bahasa Belanda Sukarno semakin lancar.

Dari sekolah rendah Belanda, Sukarno melanjutkan ke sekolah menengah Belanda yang letaknya ada di kota Surabaya (sebelumnya Sukarno besar di Mojokerto). Bukan tanpa alasan Sukemi memperjuangkan lewat pengaruh kawan-kawannya  agar anaknya dapat masuk sekolah menengah di sana. Melalui sekolah menengah itu, Sukarno berpeluang untuk masuk ke perguruan tinggi Hogere Burger School atau HBS (juga di Surabaya).

Dan bukan sekedar melanjutkan sekolah saja, Sukemi sudah merencanakan agar selama di Surabaya, putranya tinggal di rumah Cokroaminoto, agar putranya dididik oleh sahabatnya itu.

"Kau tahu siapa itu Cokro?" tanya Sukemi pada anaknya, "Cokro adalah pemimpin politik dari orang Jawa. Sekalipun kau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin engkau tumbuh dalam bumi Barat. Karena itu kau kukirim ke Cokro, orang yang dijuluki Raja Jawa yang tidak bermahkota. Aku ingin agar engkau tidak melupakan tugasmu adalah menjadi Karna kedua."  (Karna adalah nama pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata).

Sebegini jauhnyalah rencana Sukemi untuk putra sulungnya.

Dari Surabayalah, pemikiran dan gerak Sukarno dalam kancah perpolitikan mulai berkembang. Ia rajin mendampingi Cokroaminoto berpidato. Ia juga rajin mendengarkan obrolan Cokro dengan kawan-kawannya seputaran politik. Meski pada akhirnya Sukarno berbeda jalur dengan Cokroaminoto dalam hal landasan kemerdekaan, Sukarno tetap menghargai jasa-jasanya dan telaten menolongnya dalam situasi-situasi sulit.

Dalam masanya di Surabaya juga, Sukarno semakin berkenalan dengan pelbagai macam gagasan dari buku-buku. Ia membaca pemikiran Karl Marx, Thomas Jefferson, Gandhi, Sun Yat Sen, dan banyak lagi.

Inilah secuplik kisah Sukarno, bapak bangsa kita. Salah-satu proklamator negara kita.

Dari garis Ayah dan Ibu, keberagaman sudah mendarah-daging, apakah suku, agama, budaya, atau gagasan. Seperti yang ia ucapkan dalam biografinya:

"Latar-belakangku tidak sama dengan siapapun juga. Kakekku menanamkan pada diriku kebudayaan Jawa dan mistik. Dari Bapak datang teosofi dan Islamisme. Dari Ibu, Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku humanisme. Dari Pak Cokro datang sosialisme. Dari kawan-kawanku datang nasionalisme."

 Semoga tulisan ini bisa membuat mereka yang belum pernah membaca biografi Sukarno, menjadi tertarik dan bersemangat untuk membacanya. Seperti yang dituliskan di halaman awal buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, buku ini ditulis: 

Demi pengertian terhadap Sukarno dan bersamaan dengan itu pengertian yang lebih baik terhadap Indonesiaku yang tercinta. -- Sukarno

(Christine Setyadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun