“Apa yang diinginkan perempuan?” tanya Freud, kutip Helene Cixous. Kemudian Simone de Beauvoir menjawabnya, “Kebebasan dari ketertindasan!”. Menurut Beauvoir sebagian besar tentang eksistensialisme untuk perempuan, akar ketertindasan perempuan atas dominasi laki-laki. Dengan mengucapkan bahasa ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, bahwa laki-laki diartikan “bernyanyi diri” dan perempuan adalah “sang liyan”. Jika liyan adalah ancaman bagi diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Jika laki-laki ingin bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Tradisi misoginis percaya bahwa seks perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Menurut sosiolog Allan G. Johnson, "misogini adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan." Johnson berpendapat bahwa kebencian terhadap perempuan merupakan bagian sentral dari prasangka seksis dan ideologi dan, dengan demikian, merupakan dasar penting bagi penindasan perempuan dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Misogini diwujudkan dalam berbagai cara, mulai dari lelucon pornografi sampai kekerasan terhadap perempuan sampai penghinaan diri sendiri dapat diajarkan untuk merasakan arah tubuh mereka sendiri.
/Perempuan adalah waktu
mencuci dan menyetrika pakaian
Perempuan adalah waktu
mencium bunga-bunga
Perempuan adalah waktu
memetik, memetik kasih sayang/
(Sitat “Perempuan Waktu” – Nunung Noor El Niel)
Sosiolog Michael Flood, dari Universitas Wollongsong Australia mencatat, selain dilakukan pria, kebencian terhadap perempuan juga ada dan dipraktikkan oleh perempuan terhadap perempuan lain atau bahkan terhadap diri mereka sendiri. Menurut Flood, fungsi misoginis sebagai ideologi atau keyakinan sistem yang telah disertai patriarki, atau masyarakat yang didominasi laki-laki selama ribuan tahun dan terus menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dengan akses terbatas terhadap kekuasaan dan pengambilan keputusan.
Simone de Beauvoir melawan ketertindasan itu dengan menegakkan spirit feminisme-eksistensialisme (Sartre), sementara Helene Civous dengan feminisme poststrukturalisme (Derrida).