Mohon tunggu...
conie sema
conie sema Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni di Teater Potlot

CONIE SEMA, lahir di Palembang. Mulai menulis sastra, esai, dan naskah panggung, saat bergabung dengan komunitas Teater Potlot. Karya cerpen, puisi, esai, dan dramanya dipublikasikan media antara lain, Lampung Post, Koran Tempo, Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Sriwijaya Post, Mongabay Indonesia, Berita Pagi, Sumatera Ekspres, Haluan Padang, Majalah Kebudayaan Dinamika, dan Lorong Arkeologi. Puisinya terhimpun dalam antologi bersama: Antologi Rainy Day: A Skyful of Rain (2018), Sebutir Garam diSecangkir Air (2018), Selasa di Pekuburan Ma’la (2019), When The Days Were Raining - Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival (2019). Salah satu naskah dramanya, Rawa Gambut mendapat Anugerah Rawayan Award 2017 oleh Dewan Kesenian Jakarta. Perahu, adalah novel pertama (2009, cetak ulang 2018). Conie Sema bisa dihubungi: Alamat : Jalan Randu No. 13-B, Kemiling, Bandar Lampung. Telp : 0857 6972 3219 WA : 0857 6972 3219 Email : semaconie@gmail.com KTP : 1871132404650002

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Betinanya Nunung Noor El Niel

30 Desember 2020   00:05 Diperbarui: 30 Desember 2020   12:52 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi Peluncuran Betinanya Perempuan di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar (2019).

/aku hanya ingin menemukan kembali

pada binar matanya, pada tawanya yang ceria

dan memanggilku ibu dengan sempurna

agar seluruh keperempuananku dapat kujamah

seperti ketika aku menanggalkan

seluruh gaunku pada malam pertama

: tanpa perlu kau mengerjapkan mata

(untuk mempercayai kehadiranku...)

(Sitat “Pada Binar Mata” – Nunung Noor El Niel)

Antologi Betinanya Perempuan Nunung Noor El Niel membuka sebuah taman bianglala perempuan dari perspektif seorang perempuan yang mengalami sendiri menjadi perempuan. Ia tidak tiba di taman itu sebagai perempuan tapi hadir menuju perempuan.

Petang sebelum kami pulang, di antara kursi dan meja taman, Helene Cixous tak pernah lagi muncul dan membacakan puisinya. Perempuan itu mungkin telah pergi menuju perempuan, bersama puisi-puisi feminimnya, seperti juga Simone de Beauvoir, Luce Irigaray, atau Julia Kristeva. Hanya aroma tubuh dan beberapa lembar esainya tertinggal di meja bercat putih, di taman yang tak pernah berhenti melukis kegelisahan kami. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun