bersama hujan yang selalu luruh/
Betina atau perempuan sebagai organisme genetika yang memiliki vagina dan menghasilkan ovum, dalam pergulatan teks penulisan puisi, mungkin tidak lagi sekedar mempresentasikan persoalan identitas biologis semata (Julia Kristeva). Begitu pun simbol jenis kelamin seperti dipopulerkan Carl Linaeus (1707-1778). “Betina” Nunung Noor El Niel memilih kata secara subjektif untuk mengungkapkan pilihan ekspresi puitiknya. Tanpa perlu menentukan posisi dirinya pada perdebatan etimologi dan domistifikasi dari masing-masing Kata; perempuan-betina-wanita.
Nunung Noor El Niel, dalam puisi “Betinanya Perempuan” seakan menegaskan “betina” sebagai swirang perempunan, agar perempuan “jadilah” perempuan seutuhnya. Dengan mempertimbangkan dan memahami kodratnya sekaligus membuka dirinya untuk keluar dari ruang domestik dan narasi dominatif gender. Perempuan tidak lagi menutup diri dan menyimpan di hati atas keterpurukannya.
Pengalaman penulisan Nunung Noor El Niel, jika dibaca dalam empat larik kutipan puisi “Betinanya Perempuan” di bawah ini, begitu nampak keterampilannya mengelola kata, frasa juga hubungan fungsional antarklausa dengan kalimat, sehingga menjadi satu kesatuan konstruksi sintaksis yang berhasil memaknai ide dan topik hendak disampaikan.
/maka biarkan aku menjemput gerhana
menciptakan bayangan demi bayangan
di antara lapisan-lapisan cahaya
tanpa harus terbakar atau lesap/
Kegelisahan aku-lirik mampu membagi subjek puitiknya dengan aku-pembaca, sehingga membuka ruang interaksi baik secara estetis maupun filosofis. “di antara lapisan-lapisan cahaya tanpa harus terbakar atau lesap”. Kalimat ini memiliki relasi simbolik dari gagasan dan pesan melalui gaya bahasa atau metafora yang mengajak pembaca masuk ke ruang tafsirnya sendiri sebagai subjek puitik.
Tubuh dan penulisan sangat melekat dalam pemilihan diksi “Betinanya Perempuan” Nunung Noor El Niel. Ia menggunakan sarana otoritas imajinya ke dalam ruang pribadi tubuh (struktur) puisinya. Seperti pada beberapa puisi lain, “Tablo”, “Lampu yang Dipadamkan”, “Di Luar Tubuh”, “Perempuan Waktu”, dan “Tubuh yang Terpetakan”. Kendati lanskap yang menjadi tubuh puisinya (aku-objek) adalah representasi laki-laki. Nunung Noor El Niel hendak mengatakan bahwa perempuan tidak lagi hadir dalam pertemuan yang inferior di hadapan laki-laki. Ia lebih memfokuskan sisi keakuan yang berlebih khusus dalam menyikapi kesetaraan seks secara biologis maupun psikologis.
/dan aku hanya dapat mengenal