BETINANYA NUNUNG NOOR EL NIEL
Conie Sema
PETANG sebelum kami pulang, di antara kursi dan meja taman, Helene Cixous tiba bersama esainya “The Laught of The Medusa”. Ia juga membawa beberapa puisi. Lalu membacakannya. Cixous seakan begitu percaya bahwa puisi-puisi itu adalah puisi feminim. “Sebuah puisi yang menyodorkan wacana perempuan dari sudut pandang seorang perempuan yang mengalami sendiri menjadi perempuan.”
Di taman mulai diterangi lampu mercuri, Cixous membawa sejarah tubuh dalam memori kebudayaan yang begitu dekat dengan jenis kelamin bahwa kita adalah tubuh kita sendiri, tubuh sebagai muasal dari keseluruhan esensi, eksistensi, wacana, serta wahana yang terintegrasi secara harmoni. Atau diistilahkan Paul Ricoeur dalam tulisan Bronwen Martin (Dictionary of Semiotics – 2001), sebagai peleburan cakrawala.
Seputar Tulisan dan Tubuh
Helene Cixous mengingatkan, tubuh sebagai teks, perlu dilahirkan kembali sebagai wacana internal dibangkitkan menuju wacana eksternal manusia, dari pembicaraan panjang penulisan feminim dan maskulin tentang, hasrat (desire) kehidupan, seks, dan kematian. Sebagaimana Freud yang meyakini perempuan diciptakan untuk menemani kesendirian dan mengisi kesepian laki-laki (Adam). Berjalan dari mimpi, dari hasrat kematian sebagai kehidupan (kelahiran). Sampai tiba pada sejarah tubuh sebagai sejarah kebudayaan.
/ dan kau baru memahami sejarah tubuh
dari tulang rusuk yang mengunyah buah terlarang
dalam sebuah grafitasi halal dan haram
di mana sebuah peradaban hanya dimulai
dengan selembar daun sebagai
penutup cahaya dan kegelapan/
(Sitat “Logaritma Tubuh” – Kumpulan Puisi Betinanya Perempuan - Nunung Noor El Niel)
“Logaritma Tubuh” seperti sebuah proses menuju keterpenuhan ruang feminisme Simone de Beauvoir dan eksistensialisme Sartre, dalam melihat puisi-puisi Nunung Noor El Niel yang terhimpun dalam antologi Betinanya Perempuan (Teras Budaya-2019). Pembongkaran stereotip melalui representasi laki-laki hingga diksi sexisme, membawa tubuh puisinya ke dalam perdebatan struktur patriarki. Lalu mendekonstruksinya menjadi tubuh yang bergeser dari tempatnya, atau bergerak keluar (out of box) dari diskursus panjang membaca sistem patriarki. Sebagaimana gerakan feminisme poststrukturalisme yang dilekatkan Jacques Derrida dan juga Jacques Lacan, kepada Helene Cixous yakni; “menyerang segala yang terstruktur”.
Penulisan feminim adalah mencari kehidupan di balik kematian. Karena investasi organ seksnya yang bernama rahim, selalu mengandung semangat kehidupan. Perempuan meninggalkan kehidupan karena penindasan serta posisinya sebagai jenis kelamin kedua setelah pria (The Second Sex – Simone de Beauvoir). Perlawanan pada “the other” (gender) tersebut terasa ikut mengkanalisasi interpretasi kita membaca beberapa puisi di Betinanya Perempuan Nunung Noor El Niel.
Puisi dan tubuh perempuan lalu menjadi “alat ucap” mengekspresikan dirinya atas realitas (ruang sosial) yang ada sekitar dirinya. Seperti ditegaskan Cixous dalam “The Laught of The Medusa”, bahwa perempuan dapat membaca dan memilih untuk tetap terjebak dalam tubuh mereka sendiri dengan bahasa yang tidak memungkinkan untuk mengekspresikan diri mereka, atau menggunakan tubuh sebagai cara untuk berkomunikasi. Menghadapi kenyataan sosial (social pressure). Perjalanan sejarah dan budaya telah menempatkan perempuan bawahan laki-laki. Kaum feminis sendiri percaya bahwa identitas laki-laki secara eksistensi telah dibentuk untuk menempatkan perempuan sebagai identitas yang direndahkan atau “yang lain” (the other).
Lalu puisi pun menjadi sejarah perempuan (herstory), sekaligus senjata penulisan melawan penindasan patriarki. Penulisan feminim menurut Helene Cixous adalah ide yang berangkat dari tubuh, seperti advokasi yang menyuarakan women’s writing their bodies dan tidak menutup kemungkinan men’s writing their bodies dengan representasi aku lirik menggunakan “aku-laki-laki.” Sebagai upaya menelusuri ketersambungan tematik dan pesan pada ruang presentasi dan diksi puisi yang mewakili jati diri penyairnya.
BETINANYA PEREMPUAN
menyusun matahari di luar musim
mengatur bulan di dalam malam
aku telah menyiangi seluruh waktu
untuk tak sekedar tumbuh
bersama hujan yang selalu luruh
pada setiap percakapan yang kuyup
tanpa desah napas berkepanjangan
sudah kudengar sabda langit
yang dikicaukan burung-burung
sudah kudengar sabda laut
yang dikabarkan ikan-ikan
sudah kudengar sabda bumi
yang menumbuhkan segala harapan
maka biarkan aku menjemput gerhana
menciptakan bayangan demi bayangan
di antara lapisan-lapisan cahaya
tanpa harus terbakar atau lesap
hanya untuk sebuah pernyataan
di antara napas gender yang binal
: di antara betinanya perempuan
Denpasar 09 01 2017
Apakah “Betinanya Perempuan” Nunung Noor El Niel adalah puisi feminim? Sebagaimana puisi yang dibacakan Helene Cixous di taman kota, petang itu. Tokoh feminis Prancis Simone de Beauvoir mengatakan, tubuh perempuan adalah salah satu elemen esensial dalam situasinya di dunia. Namun tubuh perempuan tidak cukup baik untuk mendefinisi perempuan, tidak ada kenyataan hidup sebenarnya. Dikomunikasikan dan dimanifestasikan secara individu, melalui kegiatan yang ada di sekitarnya. “Betinanya Perempuan” Nunung Noor El Niel, adalah cakrawala teks mengetengahkan sesuatu yang berbasis perbedaan identitas gender. Di sana, kita disajikan pergulatan antara stuktur gramatikal (morpologi) dan tata bahasa (sintaksis) puisinya, dengan mimetik kenangan (imajinasi) dan kenyataan.
“Betinanya Perempuan” tidak lagi menjadi diksi agitatif ketika tubuh puisi memungkinkan dirinya memenuhi kebutuhan individualitasnya dengan membangun narasi diri dan identitas keperempuanan dengan ketubuhannya yang kuat. Diletakkan dalam sejarah percakapan feminis (herstory) yang memisahkan perempuan dalam hal gender dan perempuan dalam hal kepenulisan. Representasi laki-laki sebagai aku-puisi atau aku-objek yang sering kita temukan dalam “kemarahan” puisi feminis, pada “Betinanya Perempuan”, bisa dinafikkan penyairnya.
/aku telah menyiangi seluruh waktu
untuk tak sekedar tumbuh
bersama hujan yang selalu luruh/
Betina atau perempuan sebagai organisme genetika yang memiliki vagina dan menghasilkan ovum, dalam pergulatan teks penulisan puisi, mungkin tidak lagi sekedar mempresentasikan persoalan identitas biologis semata (Julia Kristeva). Begitu pun simbol jenis kelamin seperti dipopulerkan Carl Linaeus (1707-1778). “Betina” Nunung Noor El Niel memilih kata secara subjektif untuk mengungkapkan pilihan ekspresi puitiknya. Tanpa perlu menentukan posisi dirinya pada perdebatan etimologi dan domistifikasi dari masing-masing Kata; perempuan-betina-wanita.
Nunung Noor El Niel, dalam puisi “Betinanya Perempuan” seakan menegaskan “betina” sebagai swirang perempunan, agar perempuan “jadilah” perempuan seutuhnya. Dengan mempertimbangkan dan memahami kodratnya sekaligus membuka dirinya untuk keluar dari ruang domestik dan narasi dominatif gender. Perempuan tidak lagi menutup diri dan menyimpan di hati atas keterpurukannya.
Pengalaman penulisan Nunung Noor El Niel, jika dibaca dalam empat larik kutipan puisi “Betinanya Perempuan” di bawah ini, begitu nampak keterampilannya mengelola kata, frasa juga hubungan fungsional antarklausa dengan kalimat, sehingga menjadi satu kesatuan konstruksi sintaksis yang berhasil memaknai ide dan topik hendak disampaikan.
/maka biarkan aku menjemput gerhana
menciptakan bayangan demi bayangan
di antara lapisan-lapisan cahaya
tanpa harus terbakar atau lesap/
Kegelisahan aku-lirik mampu membagi subjek puitiknya dengan aku-pembaca, sehingga membuka ruang interaksi baik secara estetis maupun filosofis. “di antara lapisan-lapisan cahaya tanpa harus terbakar atau lesap”. Kalimat ini memiliki relasi simbolik dari gagasan dan pesan melalui gaya bahasa atau metafora yang mengajak pembaca masuk ke ruang tafsirnya sendiri sebagai subjek puitik.
Tubuh dan penulisan sangat melekat dalam pemilihan diksi “Betinanya Perempuan” Nunung Noor El Niel. Ia menggunakan sarana otoritas imajinya ke dalam ruang pribadi tubuh (struktur) puisinya. Seperti pada beberapa puisi lain, “Tablo”, “Lampu yang Dipadamkan”, “Di Luar Tubuh”, “Perempuan Waktu”, dan “Tubuh yang Terpetakan”. Kendati lanskap yang menjadi tubuh puisinya (aku-objek) adalah representasi laki-laki. Nunung Noor El Niel hendak mengatakan bahwa perempuan tidak lagi hadir dalam pertemuan yang inferior di hadapan laki-laki. Ia lebih memfokuskan sisi keakuan yang berlebih khusus dalam menyikapi kesetaraan seks secara biologis maupun psikologis.
/dan aku hanya dapat mengenal
setiap titik pada garis tubuhku
untuk tidak mengulang membaca
tentang perjalanan prostitusi
menominalkan semua gairah
menjadi sebuah ruang terbuka
dari semua kebinalan kumiliki
maka biarkan aku memetakan
daerah-daerah tak bertuan
pada setiap lekuk tubuhku yang tersisa
pada setiap hembusan napas untuk
mengenali kembali keperempuananku/
(Sitat “Tubuh yang Terpetakan” – Kumpulan Puisi Betinanya Perempuan Nunung Noor El Niel)
Penulis perempuan era reformasi awal memiliki daya ungkap yang khas dan cenderung membuka sisi tersembunyi dalam ruang domestik. Diksi “tubuh” menjadi media simbolis untuk mengungkapkan belenggu yang selama ini menekan posisi sosialnya. Momentum reformasi menjadi peluang bagi penulis perempuan membangun ruang kebebasan untuk mempraktekkan segala hal vulgar, termasuk masalah seksualitas dan “adab” yang selama ini dianggap tabu. Hal itu bisa kita lihat kecenderungan di karya sastra “wangi” seperti, Ayu Utami, Dinar Rahayu, Djenar Maesa Ayu, dan lain-lain, yang sempat dituding sebagai penetrasi kapitalisme ke dalam sastra.
Kebebasan yang ditawarkan pasca reformasi membuka kesempatan para penulis perempuan mengeksplorasi diksi tubuh dalam pergulatan ide, tema, dan pesan dalam puisi-puisi mereka. Mereka memiliki banyak ruang untuk mengekpresikan karyanya. Virginia Woolf pernah berkata, perempuan hanya butuh uang dan ruang pribadi untuk menulis seindah Shakespeare dengan karya-karya besarnya.
Seputar Misogini, Seksis, dan Eksis
Helene Cixous menggunakan istilah “Logic of Antilove” untuk menggambarkan pemahaman tentang penindasan sistematis perempuan oleh tokoh-tokoh patriarki. Ia mendefinisikan “Logic of Antilove” seperti dimiliki oleh para perempuan yang membenci diri sendiri, “mereka telah menjadikan wanita sebagai antinarisme! Sebuah narsisme yang mencintai dirinya sendiri hanya untuk dicintai oleh apa yang tidak didapat wanita," ujar Cixous.
Antinarisme diperkenalkan Francis Pasche tahun 1964. Antinarisme adalah narsisme yang menghancurkan diri sendiri. Membatasi diri dan menolak mengembangkan diri. Ide ini menurut Cixous telah menganiaya perempuan dengan mendefinisikan mereka berdasarkan apa yang dimiliki perempuan.
/ ada saatnya memang aku menyalin rupa
tanpa mungkin pernah bertanya
di mana aku harus menyisipkan setiap kata
agar kau dapat tetap percaya setiap erangan
bukan dusta dalam skenario film biru
jika harus memekik tanpa orgasme
/kini masih jugakah kau ingin bertanya
tentang seorang perempuan
meskipun telah tegak di hadapanmu
mencerminkan seluruh dirinya
sebagai ungkapan ketelanjangan jiwa
dengan senyumnya yang sederhana
meskipun mungkin tak seanggun monalisa
di sebuah bingkai zaman renaisans
tapi ia sudah berikan apa yang dia miliki/
(Sitat “Bingkai” – Kumpulan Puisi Betinanya Perempuan Nunung Noor El Niel)
“Apa yang diinginkan perempuan?” tanya Freud, kutip Helene Cixous. Kemudian Simone de Beauvoir menjawabnya, “Kebebasan dari ketertindasan!”. Menurut Beauvoir sebagian besar tentang eksistensialisme untuk perempuan, akar ketertindasan perempuan atas dominasi laki-laki. Dengan mengucapkan bahasa ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, bahwa laki-laki diartikan “bernyanyi diri” dan perempuan adalah “sang liyan”. Jika liyan adalah ancaman bagi diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Jika laki-laki ingin bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Tradisi misoginis percaya bahwa seks perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Menurut sosiolog Allan G. Johnson, "misogini adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan." Johnson berpendapat bahwa kebencian terhadap perempuan merupakan bagian sentral dari prasangka seksis dan ideologi dan, dengan demikian, merupakan dasar penting bagi penindasan perempuan dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Misogini diwujudkan dalam berbagai cara, mulai dari lelucon pornografi sampai kekerasan terhadap perempuan sampai penghinaan diri sendiri dapat diajarkan untuk merasakan arah tubuh mereka sendiri.
/Perempuan adalah waktu
mencuci dan menyetrika pakaian
Perempuan adalah waktu
mencium bunga-bunga
Perempuan adalah waktu
memetik, memetik kasih sayang/
(Sitat “Perempuan Waktu” – Nunung Noor El Niel)
Sosiolog Michael Flood, dari Universitas Wollongsong Australia mencatat, selain dilakukan pria, kebencian terhadap perempuan juga ada dan dipraktikkan oleh perempuan terhadap perempuan lain atau bahkan terhadap diri mereka sendiri. Menurut Flood, fungsi misoginis sebagai ideologi atau keyakinan sistem yang telah disertai patriarki, atau masyarakat yang didominasi laki-laki selama ribuan tahun dan terus menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dengan akses terbatas terhadap kekuasaan dan pengambilan keputusan.
Simone de Beauvoir melawan ketertindasan itu dengan menegakkan spirit feminisme-eksistensialisme (Sartre), sementara Helene Civous dengan feminisme poststrukturalisme (Derrida).
Lelaki dan Representasi “Orang Kasim”
ORANG KASIM
tak perlu lagi kusalin seluruh malam
menyiangi rambut dengan gelungan
ada saatnya harus dilepaskan
membiarkan tangan menjarah setiap lekuk
dan kaki melepaskan nomor-nomor sepatu
tanpa perlu menghitung setiap jejak
sebagai awal atau akhir perjalanan
tak perlu kututup sudut mata lelaki itu
dengan memupur wajahku
dan mewarnai bibir dengan lipstik
aku tak akan pernah merasa tergadaikan
bila melemparnya
keluar dari lapisan-lapisan mimpiku
untuk menyelaput setiap rayuan
menjadi sebuah kepompong
aku tak pernah bersayap dan terbang
di antara desahan-desahan panjang
maka kubiarkan saja kejantanannya
menjadi lebih betina sebelum
kasip untuk disapa di luar harkatnya
kelak lelaki itu akan menemukan dirinya
sebagai orang kasim
Denpasar, 23 09 2016
Analogi “Orang Kasim” atau Sida yang digunakan penyair ini, mengingatkan pada kehidupan para laki-laki yang telah hilang kesuburannya karena zakarnya telah dibuang (dikebiri). Orang kasim pertama disebutkan di Kekaisaran Asyur (850-622 SM). Mereka biasa tampil di istana kaisar-kaisar Akhemenid dari Persia, sebagai pelayan istana dan raja. Orang kasim juga dikenal di India, Tiongkok, dan Vietnam, sampai Eropa seperti Yunani dan Roma. Kaisar-kaisar seperti Konstantin dikelilingi oleh orang-orang kasim.
Sampai kini, puisi-puisi gerakan feminisme, subjek puitisnya masih merepresentasikan laki-laki sebagai aku-objek atau aku-narasi. Pembongkaran stereotip dalam puisi “Orang Kasim” mengundang kita untuk mendekati ruang imaji juga setting, latar empirik atau biografi puisinya.
“aku tak pernah bersayap dan terbang
di antara desahan-desahan panjang”
Cukup imajis, memiliki kedalaman makna begitu kuat. Diksi dua larik dari “Orang Kasim” ini mampu menjaga gramatikal (anatomi-kausa) dan struktur ketubuhan aku-feminisnya.
Betinanya Perempuan atau Perempuannya Betina?
Bagaimana pemahaman sang penyair dengan penggunaan kata “betina” dan “perempuan” dalam buku puisi Betinanya Perempuan ini? Berbagai pendapat ahli bahasa dan pemikir feminisme tidak ada yang sama atau satu persepsi dalam pemilihan Kata itu. Mana yang lebih tepat penggunaan Kata: perempuan-wanita-betina? Masing-masing Kata baik secara etimologi dan metathesis (wanita-betina), sama-sama menjadi oposisi biner dalam wacana hegemoni-subordinasi dan anti-domestifikasi.
Kita mungkin sepakat dengan pendapat pujangga Lao Tzu yang kemudian diadaptasi oleh Julia Kristeva bahwa bagaimana pun, oposisi biner dalam bahasa adalah niscaya, hal yang tak terelakkan. Perdebatannya justru akan menafikan pembedaan yang memang diperlukan di dalam bahasa sebagai bagian dari pembentuk realitas, bukan dalam konteks hegemoni-subordinasi. Pemilihan judul buku Betinanya Perempuan Nunung Noor El Niel mungkin bisa didorong masuk ke dalam silang argumen tersebut, atau sebaliknya menjadi jalan tengah seperti Lao Tzu dan Kristeva.
/aku hanya ingin menemukan kembali
pada binar matanya, pada tawanya yang ceria
dan memanggilku ibu dengan sempurna
agar seluruh keperempuananku dapat kujamah
seperti ketika aku menanggalkan
seluruh gaunku pada malam pertama
: tanpa perlu kau mengerjapkan mata
(untuk mempercayai kehadiranku...)
(Sitat “Pada Binar Mata” – Nunung Noor El Niel)
Antologi Betinanya Perempuan Nunung Noor El Niel membuka sebuah taman bianglala perempuan dari perspektif seorang perempuan yang mengalami sendiri menjadi perempuan. Ia tidak tiba di taman itu sebagai perempuan tapi hadir menuju perempuan.
Petang sebelum kami pulang, di antara kursi dan meja taman, Helene Cixous tak pernah lagi muncul dan membacakan puisinya. Perempuan itu mungkin telah pergi menuju perempuan, bersama puisi-puisi feminimnya, seperti juga Simone de Beauvoir, Luce Irigaray, atau Julia Kristeva. Hanya aroma tubuh dan beberapa lembar esainya tertinggal di meja bercat putih, di taman yang tak pernah berhenti melukis kegelisahan kami. ***
Conie Sema, Penulis dan Sutradara di Teater Potlot, Admin di Dapur Sastra Jakarta.
*) Esai ini ditulis sebagai pemantik diskusi peluncuran kumpulan puisi “Betinanya Perempuan” Nunung Noor El Niel di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar, 27 Oktober 2019, dalam rangkaian Wisata Edukasi Dapur Sastra Jakarta (DSJ), pada Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H