Mohon tunggu...
conie sema
conie sema Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni di Teater Potlot

CONIE SEMA, lahir di Palembang. Mulai menulis sastra, esai, dan naskah panggung, saat bergabung dengan komunitas Teater Potlot. Karya cerpen, puisi, esai, dan dramanya dipublikasikan media antara lain, Lampung Post, Koran Tempo, Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Sriwijaya Post, Mongabay Indonesia, Berita Pagi, Sumatera Ekspres, Haluan Padang, Majalah Kebudayaan Dinamika, dan Lorong Arkeologi. Puisinya terhimpun dalam antologi bersama: Antologi Rainy Day: A Skyful of Rain (2018), Sebutir Garam diSecangkir Air (2018), Selasa di Pekuburan Ma’la (2019), When The Days Were Raining - Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival (2019). Salah satu naskah dramanya, Rawa Gambut mendapat Anugerah Rawayan Award 2017 oleh Dewan Kesenian Jakarta. Perahu, adalah novel pertama (2009, cetak ulang 2018). Conie Sema bisa dihubungi: Alamat : Jalan Randu No. 13-B, Kemiling, Bandar Lampung. Telp : 0857 6972 3219 WA : 0857 6972 3219 Email : semaconie@gmail.com KTP : 1871132404650002

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Betinanya Nunung Noor El Niel

30 Desember 2020   00:05 Diperbarui: 30 Desember 2020   12:52 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Apa yang diinginkan perempuan?” tanya Freud, kutip Helene Cixous. Kemudian Simone de Beauvoir menjawabnya, “Kebebasan dari ketertindasan!”. Menurut Beauvoir sebagian besar tentang eksistensialisme untuk perempuan, akar ketertindasan perempuan atas dominasi laki-laki. Dengan mengucapkan bahasa ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, bahwa laki-laki diartikan “bernyanyi diri” dan perempuan adalah “sang liyan”. Jika liyan adalah ancaman bagi diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Jika laki-laki ingin bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Tradisi misoginis percaya bahwa seks perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Menurut sosiolog Allan G. Johnson, "misogini adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan." Johnson berpendapat bahwa kebencian terhadap perempuan merupakan bagian sentral dari prasangka seksis dan ideologi dan, dengan demikian, merupakan dasar penting bagi penindasan perempuan dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Misogini diwujudkan dalam berbagai cara, mulai dari lelucon pornografi sampai kekerasan terhadap perempuan sampai penghinaan diri sendiri dapat diajarkan untuk merasakan arah tubuh mereka sendiri.

/Perempuan adalah waktu

mencuci dan menyetrika pakaian

Perempuan adalah waktu

mencium bunga-bunga

Perempuan adalah waktu

memetik, memetik kasih sayang/

(Sitat “Perempuan Waktu” – Nunung Noor El Niel)

Sosiolog Michael Flood, dari Universitas Wollongsong Australia mencatat, selain dilakukan pria, kebencian terhadap perempuan juga ada dan dipraktikkan oleh perempuan terhadap perempuan lain atau bahkan terhadap diri mereka sendiri. Menurut Flood, fungsi misoginis sebagai ideologi atau keyakinan sistem yang telah disertai patriarki, atau masyarakat yang didominasi laki-laki selama ribuan tahun dan terus menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dengan akses terbatas terhadap kekuasaan dan pengambilan keputusan.

Simone de Beauvoir melawan ketertindasan itu dengan menegakkan spirit feminisme-eksistensialisme (Sartre), sementara Helene Civous dengan feminisme poststrukturalisme (Derrida).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun