Mohon tunggu...
Candika Putra Purba
Candika Putra Purba Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengajar Bahasa Indonesia

Senang membaca karya fiksi Senang mendengarkan musik Senang dengan dunia fotografi Berjuang untuk menjadi manusia yang berguna 24 Tahun Guru SMP

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah

14 Mei 2023   16:21 Diperbarui: 14 Mei 2023   16:37 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terdiam, aku kaget dengan bentakan itu. Kaget dengan marahnya Bapak yang selama ini bersembunyi dalam tubuh gemuknya.

Malam itu ditutup dengan Bapak yang pamit ke kamar. Dan kisah itu ditutup dengan Bapak pamit ke Surga. Pagi hari setelah perdebatannya denganku, Ia benar-benar pergi. Menggenapi perkataannya padaku. Ketika ia bilang akan pergi, pagi ini ia pergi juga, untuk selama-lamanya.

Kisah sedih hinggap dikepalaku. Bapak yang dulu menggendongku, kini sudah pergi ke surga. Bapak yang dulu kekar mengangkatku, kini terkulai lemah dalam petinya. Semua orang bersedih. Mamak yang terkejut dengan berita Bapak, langsung pulang di pagi hari, menangis sejadi-jadinya. Ia tak lagi melihatku, matanya hanya pada Bapak. Aku bersedih, tapi hanya sehari. Hari-hari berikutnya aku kembali seperti dulu, menikmati segala kenikmatan malam.

*hari ini*

Aku meneteskan air mataku. Yang secara perlahan mulai mengalir menyesali segala memori. Menyesali perbuatanku pada Bapak, menyesali tingkahku  yang kelewat batas itu. Tapi apa daya. Bapak sudah tak ada, Mamak juga sudah mengusirku. Tak akan ada lagi yang menerimaku dengan baik, yang tulus seperti Bapak. Tak akan ada lagi

Aku, pria berumur 27 tahun. Sedang luntang-lantung di kota yang ramai. Merasa kesepian dalam ramainya ibukota ini. tak ada yang menemani selain penyesalan, penderitaan, hinaan dan perkataan Bapak yang masih terus terngiang.

"kalau nanti nggak ada lagi yang menerimamu, ingat kalau Bapak masih menerimamu kapan saja"

Aku tersenyum kala ingatan itu muncul, namun meredup kembali kala memori kebodohanku memunculkan dirinya. Sungguh, aku tak mengetahui apa yang akan kulakukan sekarang. Aku tak tahu mau kemana. Aku menyerahkan diri pada malam dan udara dingin kota ini. Berharap ada cahaya yang menyadarkanku, berharap ada yang menerimaku dengan baik. Aku tahu aku tak layak, tapi bolehkah aku menerima kasih sayang itu lagi? Kasih sayang yang diberikan Bapak, pahlawanku itu.

Tentang Penulis

Nama saya Candika Putra Purba, seorang pemuda yang kini mengajar Bahasa Indonesia. Saat ini masih aktif mengajar. Jika ingin lebih banyak tahu tentangku, atau ingin berteman, boleh cek akun instagramku : @candikapurba16. Sosok Bapak di hidupku adalah sosok yang menerima anaknya dengan penuh cinta, dengan seadanya. Tanpa berharap apa pun, ia akan melebarkan tangannya memelukku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun