"erik, dengarkan Bapak. Kalaupun nanti Bapak sudah nggak ada, pastikan kau jangan menyerah ya Erik. Bapak tahu, suatu saat nanti, kalau kamu kayak gini terus, kau akan dapat konsekuensi itu. Tapi, ketika nanti kalau tidak ada lagi yang menerimamu, percaya kalau Bapak akan selalu mendukung dan menerimamu.
"iya iya Pak. Pastilah" jawabku tidak peduli. Aku merasa muda, merasa kalau konsekuensi itu tak akan kutemui dalam hidupku.
"kamu dengar kata Bapak kan?" ucapnya memastikan
"iyalah, kau pikir aku tuli? Aku dengar semua pakkk,!. Lagian Bapak, nggak usah peduli lagi lah sama hal-hal kyk begitu. Sekarang aku sudah besar Pak. Sudah bisa jaga diri. Jadi, Bapk nggak usah peduli lagi samaku"
"bukan begitu Erik, bagaimana pun, kau itu anakku"
"kalau bapak masih menganggap aku jadi anak, biarkan aku bahagia Pak"
"tapi nggak harus kyk gini anak,"
"JADI HARUS KYK MANA PAK?!!" Suaraku meninggi
"HARUS KAYAK ANTON YANG SUDAH KAYA? ATAU KAYAK HENDRA, YANG SUDAH JADI DIREKTUR ITU? HAH! BEGITU MAKSUD BAPAK?" lanjutku
"BUKAN ERIK!!!" Bentakan bapak yang pertama keluar. Ia tak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Sejak aku kecil.
"Maksudku bukan begitu erik, bukan begitu!!" ia menarik nafasnya. Mengatur agar emosinya tak terdengar hingga keluar. Mamak sedang ke rumah Nenek, jadi Bapak berani bersuara keras.