Bapak
"Pergi, pergi kau dari sini, mukamu itu udah kotor, perlakuanmu juga sama... PERGIII!!!" suara itu terus mengaung di telingaku. Menemani langkah-langkah lesu, mengiringi tetesan air mata yang kini sudah padu dengan keringat dan debu. Kakiku terus melangkah, walaupun tanpa arah.
Ibu benar, seharusnya aku tak pernah masuk pada lubang itu. Lubang yang indah, namun dengan perlahan membawa jiwaku pada kelam dan derita. Harusnya aku mendengarkan ibu. Andai saja, perkataan ibu, yang membentakku untuk tidak pergi kudengar dan kupahami, tentu hari ini, ia tak akan mengusirku pergi. Seandainya permohonan Ibu yang ia ucapkan sambil berlutut kukunyah dan kutelan dengan baik, tentu air matanya tak akan jatuh hari ini.
Kutelusuri jalan demi jalan di kota ini. Kucoba mencari manusia yang bisa menerimaku dengan cinta. Namun, sepertinya tidak ada. Sepertinya tidak ada yang bisa. Aku termenung, menghentikan langkahku pada toko berkaca hitam. Ku lihat ada tempat duduk di sana. Ingatanku semakin liar, menggali memori yang tidak hanya terjadi pada hari kemarin atau dua hari lalu, tapi pada masa kecilku. Masa kecil yang bahagia, yang penuh tawa, penuh derita yang bermakna, yang membuatku menjadi lebih dewasa.
"erik, tangkap bolanya Nak," ingatan itu datang dengan air mata.
"erik, tangkap ya, kalau lolos lagi, berarti Bapak yang menang". Ucap Bapak dengan riang. Suara itu masih jelas dikepalaku, senyuman itu masih lengket di benakku. Bapak, orang yang pernah tertawa karena tingkahku, namun menangis karena kebodohanku. Orang yang menerimaku apa adanya, namun menahan derita
*2 tahun sebelumnya*
"Erik, coba kau pikirkanlah dulu, apa yang dibilang sama tetangga nanti kalau kau terus kek begitu!" ucap Bapak pelan.
"maksudmu? Maksudmu apa Pak?" tantangku. Umurku 25 kala itu. Kala aku sudah berani melawan Bapak, merasa bahwa aku punya hak untuk dibenarkan
"ya, kau taulah, masa laki-laki kayak begitu." Bapak terlihat menahan emosi..
"apa sih yang Bapak maksud? Bapak gak mau anggap aku jadi anakmu lagi karena aku pakai kebaya ini?" tantangku ganas.
Bapak diam, ia kalah dalam perdebatan ini. Semua usai kala pintu rumah kubanting dengan keras. Mungkin bapak kaget dengan suara dentuman itu. Atau mungkin tidak, karena sudah terbiasa.
Hari-hariku penuh dengan kisah nikmat dunia di malam hari. Pertemananku makin liar, aku pun kini tak tahu mana yang benar dan yang salah. Selagi itu masih menyenangkan hati, akan kuanggap benar. Jika itu berlainan dengan nafsuku, kuanggap sebagai hal yang tidak berguna.
Pukul 02.30 dini hari. Ketika malam ini aku puas bermain dengan lelaki. Aku kembali, kulihat, Bapak masih di tempat yang sama, ia hanya duduk, memandangku. Mungkin, ia juga menunggu kehadiranku.
"erik, sini dulu kau nak," panggilnya lembut.
Dengan masa bodohnya, aku duduk, tak memedulikannya.
"Bapak sayang samamu Erik. Bapak pengen kamu melakukan yang terbaik erik, yang sering Bapak ajarkan samamu. Jangan kayak gini"
"aku nggak ngerti lagi samamu Pak. Aku bahagia kek gini Pak, aku senang. Bapak nggak mau liat aku bahagia?"
"bukan begitu erik, tapi ini sudah keterlaluan. Bagaimana kalau nanti kau kena penyakit itu?" ucap bapak khawatir
"untuk apa bapak peduli akan hal itu. Kalau masalah itu, nanti aku saja yang ngurus Pak. Bapak tenang saja, nggak usah repot" aku membalasnya ketus
Bapak terdiam lagi. Ia memikirkan kata-kata lain yang mampu melumpuhkan pikiranku. Ia diam, memandangku penuh kasih, menerimaku sepenuhnya.
"erik, dengarkan Bapak. Kalaupun nanti Bapak sudah nggak ada, pastikan kau jangan menyerah ya Erik. Bapak tahu, suatu saat nanti, kalau kamu kayak gini terus, kau akan dapat konsekuensi itu. Tapi, ketika nanti kalau tidak ada lagi yang menerimamu, percaya kalau Bapak akan selalu mendukung dan menerimamu.
"iya iya Pak. Pastilah" jawabku tidak peduli. Aku merasa muda, merasa kalau konsekuensi itu tak akan kutemui dalam hidupku.
"kamu dengar kata Bapak kan?" ucapnya memastikan
"iyalah, kau pikir aku tuli? Aku dengar semua pakkk,!. Lagian Bapak, nggak usah peduli lagi lah sama hal-hal kyk begitu. Sekarang aku sudah besar Pak. Sudah bisa jaga diri. Jadi, Bapk nggak usah peduli lagi samaku"
"bukan begitu Erik, bagaimana pun, kau itu anakku"
"kalau bapak masih menganggap aku jadi anak, biarkan aku bahagia Pak"
"tapi nggak harus kyk gini anak,"
"JADI HARUS KYK MANA PAK?!!" Suaraku meninggi
"HARUS KAYAK ANTON YANG SUDAH KAYA? ATAU KAYAK HENDRA, YANG SUDAH JADI DIREKTUR ITU? HAH! BEGITU MAKSUD BAPAK?" lanjutku
"BUKAN ERIK!!!" Bentakan bapak yang pertama keluar. Ia tak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Sejak aku kecil.
"Maksudku bukan begitu erik, bukan begitu!!" ia menarik nafasnya. Mengatur agar emosinya tak terdengar hingga keluar. Mamak sedang ke rumah Nenek, jadi Bapak berani bersuara keras.
Aku terdiam, aku kaget dengan bentakan itu. Kaget dengan marahnya Bapak yang selama ini bersembunyi dalam tubuh gemuknya.
Malam itu ditutup dengan Bapak yang pamit ke kamar. Dan kisah itu ditutup dengan Bapak pamit ke Surga. Pagi hari setelah perdebatannya denganku, Ia benar-benar pergi. Menggenapi perkataannya padaku. Ketika ia bilang akan pergi, pagi ini ia pergi juga, untuk selama-lamanya.
Kisah sedih hinggap dikepalaku. Bapak yang dulu menggendongku, kini sudah pergi ke surga. Bapak yang dulu kekar mengangkatku, kini terkulai lemah dalam petinya. Semua orang bersedih. Mamak yang terkejut dengan berita Bapak, langsung pulang di pagi hari, menangis sejadi-jadinya. Ia tak lagi melihatku, matanya hanya pada Bapak. Aku bersedih, tapi hanya sehari. Hari-hari berikutnya aku kembali seperti dulu, menikmati segala kenikmatan malam.
*hari ini*
Aku meneteskan air mataku. Yang secara perlahan mulai mengalir menyesali segala memori. Menyesali perbuatanku pada Bapak, menyesali tingkahku  yang kelewat batas itu. Tapi apa daya. Bapak sudah tak ada, Mamak juga sudah mengusirku. Tak akan ada lagi yang menerimaku dengan baik, yang tulus seperti Bapak. Tak akan ada lagi
Aku, pria berumur 27 tahun. Sedang luntang-lantung di kota yang ramai. Merasa kesepian dalam ramainya ibukota ini. tak ada yang menemani selain penyesalan, penderitaan, hinaan dan perkataan Bapak yang masih terus terngiang.
"kalau nanti nggak ada lagi yang menerimamu, ingat kalau Bapak masih menerimamu kapan saja"
Aku tersenyum kala ingatan itu muncul, namun meredup kembali kala memori kebodohanku memunculkan dirinya. Sungguh, aku tak mengetahui apa yang akan kulakukan sekarang. Aku tak tahu mau kemana. Aku menyerahkan diri pada malam dan udara dingin kota ini. Berharap ada cahaya yang menyadarkanku, berharap ada yang menerimaku dengan baik. Aku tahu aku tak layak, tapi bolehkah aku menerima kasih sayang itu lagi? Kasih sayang yang diberikan Bapak, pahlawanku itu.
Tentang Penulis
Nama saya Candika Putra Purba, seorang pemuda yang kini mengajar Bahasa Indonesia. Saat ini masih aktif mengajar. Jika ingin lebih banyak tahu tentangku, atau ingin berteman, boleh cek akun instagramku : @candikapurba16. Sosok Bapak di hidupku adalah sosok yang menerima anaknya dengan penuh cinta, dengan seadanya. Tanpa berharap apa pun, ia akan melebarkan tangannya memelukku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H