"apa sih yang Bapak maksud? Bapak gak mau anggap aku jadi anakmu lagi karena aku pakai kebaya ini?" tantangku ganas.
Bapak diam, ia kalah dalam perdebatan ini. Semua usai kala pintu rumah kubanting dengan keras. Mungkin bapak kaget dengan suara dentuman itu. Atau mungkin tidak, karena sudah terbiasa.
Hari-hariku penuh dengan kisah nikmat dunia di malam hari. Pertemananku makin liar, aku pun kini tak tahu mana yang benar dan yang salah. Selagi itu masih menyenangkan hati, akan kuanggap benar. Jika itu berlainan dengan nafsuku, kuanggap sebagai hal yang tidak berguna.
Pukul 02.30 dini hari. Ketika malam ini aku puas bermain dengan lelaki. Aku kembali, kulihat, Bapak masih di tempat yang sama, ia hanya duduk, memandangku. Mungkin, ia juga menunggu kehadiranku.
"erik, sini dulu kau nak," panggilnya lembut.
Dengan masa bodohnya, aku duduk, tak memedulikannya.
"Bapak sayang samamu Erik. Bapak pengen kamu melakukan yang terbaik erik, yang sering Bapak ajarkan samamu. Jangan kayak gini"
"aku nggak ngerti lagi samamu Pak. Aku bahagia kek gini Pak, aku senang. Bapak nggak mau liat aku bahagia?"
"bukan begitu erik, tapi ini sudah keterlaluan. Bagaimana kalau nanti kau kena penyakit itu?" ucap bapak khawatir
"untuk apa bapak peduli akan hal itu. Kalau masalah itu, nanti aku saja yang ngurus Pak. Bapak tenang saja, nggak usah repot" aku membalasnya ketus
Bapak terdiam lagi. Ia memikirkan kata-kata lain yang mampu melumpuhkan pikiranku. Ia diam, memandangku penuh kasih, menerimaku sepenuhnya.