Mohon tunggu...
CLAUDIA CHANDRA KIRANI
CLAUDIA CHANDRA KIRANI Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lontaran Fana

12 November 2024   08:27 Diperbarui: 12 November 2024   08:57 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tumbuh lebih baik, jadi panggilanmu? Semua hanya bisa mengatakan tanpa melihat keadaan yang sesungguhnya. Tidak semua harapan harus terwujudkan, seperti harapan akan takdir hidup yang indah.


Ini aku, dan ini adalah diriku. Bukan dirinya, ataupun diri mereka. Suatu keterbatasan, bukanlah suatu halangan. Menjalani hidup sebagai penyandang disabilitas, siapa yang ingin? Tapi, masih ada masa depan yang perlu diperjuangkan.


"Pak, ini skripsi milik saya, yang anda minta."


Seseorang yang berada di hadapanku, adalah dosen senior yang terkenal akan gelarnya sebagai dosen killer di kalangan mahasiswa.


"Apa ini?" ucapnya sembari melihat satu persatu lembar skripsiku


Sedikit resah, aku berusaha tetap tenang walaupun rasanya sangat menengangkan. Pasalnya, banyak teman kelasku yang terkena revisi skripsi, hingga harus menghabiskan berlembar-lembar kertas.


"Ananda," Dosen itu menggelengkan kepalanya sembari bertepuk tangan, sehingga membuat suasana ruang kantor yang hening menjadi sedikit riuh. "Ananda, sangat memiliki potensi. Saya, atas nama dosen di universitas ini, akan turut ikut serta dalam merekomendasikan ananda. Sebagai, mahasiswi lulusan terbaik!" sambungnya.


Deg!


Apakah ini, suatu kenyataan? Katakan, jika ini mimpi, aku tidak ingin bangun lebih awal. Rasanya, sangat senang dan terharu. Mahasiswi sepertiku, bisa memperoleh pujian terhormat seperti itu.


"Artinya, skripsi saya telah dikonfirmasi memenuhi syarat, Pak?" ucapku dengan sedikit ragu


"Nilai A+, bonus dari saya. Tugas akhir ananda, telah dipenuhi dan tinggal menunggu kelulusan saja." ucapnya sembari tersenyum. "Saya, sangat kagum dengan ambisi ananda. Walaupun dengan keterbatasan fisik, ananda masih memiliki semangat hidup yang membara." sambungnya.


Diriku, yang kini sedang duduk di kursi roda hanya terus tersenyum. Merasa sangat senang atas pujian itu. Namun, tidak dipungkiri pula, jika aku masih sedikit kecewa dengan kondisiku yang tidak bisa berjalan dengan normal. Setidaknya, tuhan masih berbaik hati dengan memberikan pendidikan yang terjamin dan keluarga yang mendukung penuh diriku. Itu, sudah sangat cukup dan adil.

***

"Aniya."


Aktivitasku terhenti usai mendengar suara dari seseorang yang memanggilku.


"Ada apa?"


Dia tersenyum, lalu duduk di sisiku sembari menaruh tumpukan kertas di atas meja.


"Ini," ucapnya sembari menunjuk tumpukan kertas itu. "Tolong, bantu aku merevisi, ya?" sambungnya.


Sikap aneh apa yang dia tunjukkan? Mahasiswi di hadapanku ini, adalah teman satu fakultasku. Tapi, kami tidak akrab bahkan terbilang cukup asing. Selain itu, dirinya diberi gelar sebagai mahasiswi yang kurang baik, oleh beberapa orang.


"Maaf, Bella. Aku tidak bisa, karena ini bukan tugasku." ucapku sembari sedikit tersenyum. "Selain itu, Pak Tito tidak mengizinkan untuk saling membantu, dalam menuntaskan skripsi ini." sambungku.


Mimik wajah dirinya, seketika berubah menjadi sedikit marah usai mendengar jawabanku. Itu memang benar, aku tidak salah dan aku hanya mengikuti aturan yang berlaku. Jika dia marah, itu adalah urusannya.


"Jangan sombong! Aku tau, kalau kamu dengan mudahnya mendapat konfirmasi, dari Pak Tito." Dia berdiri dari duduknya, dan mengambil tumpukan skripsi itu dengan kasar. "Tapi, lihat rupamu! Terbilang, kurang layak untuk lulus sesuai gelar yang disandang, nantinya!" sambungnya.


Deg!


Sesuai apa yang mereka katakan, Bella memang sangat buruk. Rasanya, sangat sedih ketika mendengar hinaan tersebut, dari seseorang yang tidak tau rasanya menjadi seperti ini.


"Apa, alasan kamu menghinaku? Hanya, karena aku tidak bisa membantumu?"


Bella tertawa kecil dan menatapku dengan sedikit meledek. "Itu, kenyataan. Apa aku, salah?"


Aku tidak berbohong jika rasanya sangat marah dan kecewa, namun jika aku terus melawannya, aku akan semakin sakit hati.
Aku hanya tersenyum dan menggerakkan kursi rodaku untuk beranjak pergi dari tempat itu.


"Aku pastikan, tidak akan ada yang mau menerima kamu, dalam pekerjaan apapun!"


Dia masih melontarkan ucapannya, aku tidak menghiraukan itu dan terus beranjak pergi. Perlahan air mata jatuh, tanpa seizin dariku. Mengapa, semua orang begitu mudah menilai tanpa memikirkan perasaan?

***

Begitu banyak fotografer di lapangan ini. Begitu banyak pula, senyuman terbit di pagi hari ini. Sanak saudara, keluarga, mengambil foto bersama. Penantian yang telah ditunggu, oleh mayoritas mahasiswa dan mahasiswi di universitas ini telah tiba.


"Bunda, mari kita mengambil foto bersama!"


"Ya, sudut sana seperti bagus, Aniya."
Kami berfoto bersama, seperti mereka yang mengambil foto bersama keluarga dan sanak saudara mereka.


"Baik, silahkan berpose dan tersenyum!" ucap fotografer di hadapan kami


Kami berpose dan tersenyum, begitu bahagia melihat bunda yang turut hadir di acara wisudaku. Walaupun, tanpa keberadaan ayah di sisi kami.


"Aniya."


Aku tersenyum dan memeluk bunda sejenak. "Ada apa, Bun?"

"Selamat, atas gelarmu. Semoga, kelak hal baik selalu menyertai, dirimu." ucap bunda dengan tersenyum


"Terimakasih, Bun. Atas segala hal, pengorbanan, yang bunda dan ayah berikan. Walaupun, ayah tidak berkesempatan untuk menghadiri acara istimewa ini."


Bunda tersenyum lalu menggenggam tanganku dengan erat. "Ayah, selalu berada di sisi kita, mungkin saja, pada hari ini ayah turut ikut hadir."


Aku tersenyum dan mengangguk. "Aniya rasa, itu memang benar."

***

Pada detik, menit dan di jam ini, aku berhasil mematahkan semua lontaran buruk mengenai masa depanku.
Impianku, untuk mendapatkan profesi sesuai dengan gelar yang disandang telah terwujud. 

Berprofesi sebagai arsitektur yang bekerja di perusahaan ternama dan terpadang, adalah suatu kehormatan bagi diriku yang selalu melangitkan profesi dan nama perusahaan ini. Dengan jabatan yang lumayan terpandang, itu adalah bentuk keadilan lainnya yang diberikan oleh tuhan kepadaku.


Aku kembali hadir dan datang ke kantor ini, tentunya untuk bekerja dan bukan hanya berkunjung. Masih tetap sama, dengan kursi roda yang sudah menjadi sahabat bagi diriku dalam menjalankan aktivitas.


"Permisi, nona!"


Seseorang memanggilku, dan menghampiri diriku.


"Ada apa?" tanyaku


Melihat seorang perempuan di hadapanku ini, sedikit tidak asing dengan wajahnya.


"Aniya?" ucapnya sembari terkejut


"Oh, Sista?"


Dia memelukku dengan erat, begitupun dengan diriku yang turut membalas pelukannya.


"Sedang apa, kamu di sini?"


Dia menghela nafasnya. "Melamar kerja, tapi hasilnya selalu sama."


"Aku, turut berduka atas kegagalan itu. Lalu, kamu dengan siapa ke sini?"


Dia tersenyum. "Sendiri, selalu sendiri."


Aku tertawa kecil usai mendengar jawabannya. "

Lalu, kamu sedang apa, di sini?"

"Bekerja."


"Hebat!" Dia melihat ke arah kartu pegawai milikku. "Direktur Arsitektur? Sudah terduga, kamu memang pantas meendapatkannya, Aniya!" sambungnya.


Aku tersenyum. "Terimakasih, Sis."


"Tapi, aku turut kasihan dengan nasib seseorang yang pernah mencela, dirimu."


"Siapa?"


"Bella, kini dia menjadi ladies di bar."


Tidak terduga, jika Bella akan menjadi seseorang yang lebih buruk dari saat itu. Rasanya, aku sedikit iba walaupun diriku pernah dihina olehnya.


"Itu, sudah takdir dari tuhan." ucapku sembari tersenyum kecil


"Lebih tepatnya, sebuah karma." Dia tersenyum dan mengangguk. "Baik, maaf mengganggu waktunya, Ibu Direktur!" sambungnya.


"Tidak apa-apa, sudah saatnya kamu pergi?"


Dia mengangguk dan memelukku sejenak. "Aku pamit, semoga hal baik selalu menyertai dirimu, Aniya."


Hanya dia, seseorang yang turut mendoakan akan hal baik untuk diriku, sedari dulu. Semoga, hal baik selalu menyertai dirinya pula.


"Terimakasih, sampai jumpa lagi, Sista."


Dia mengangguk dan beranjak pergi dari hadapanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun