Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Pok pok Juga Bisa Salah Target

28 Juni 2024   05:00 Diperbarui: 28 Juni 2024   05:25 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami tertegun melihat bangunan-bangunan rumah di kiri kanan jalanan. Semuanya masih berupa rumah panggung dari kayu. Sangat asri sebab di Ujung Pandang sudah jarang melihat rumah panggung karena pembangunan kota sangat cepat berkembang. Waktu itu BTN-BTN juga baru mulai dibangun secara serempak di wilayah pinggiran kota Ujung Pandang.

Pada beberapa rumah yang kami lewati, terlihat gadis-gadis sedang menenun sarung Mandar yang sangat terkenal. Di rumah lainnya, terlihat benang-benang sutra sedang dijemur. Warna-warni, sangat menarik. Pemandangan lainnya, kelompok nenek-nenek sedang memilin benang. Mereka tersenyum melihat kedatangan kami.

Walau jalanan cukup lebar, kami harus melangkah dengan hati-hati. Sebab di sepanjang tepi jalan banyak terhampar ikan kecil-kecil yang sedang dikeringkan. Sayup-sayup tercium bau ikan asin, tapi ada bau harum yang lebih mendominasi. Rupanya bau minna, minyak Mandar buatan penduduk desa yang diolah dari kelapa hasil kebun mereka.

Pak Udin bilang rumah Pak Desa 'dekat' di ujung sana. Tapi pada prakteknya kami berjalan kaki sambil menenteng tas, lebih dari 600 meter. Lumayan jauh untuk ukuran kami yang tinggal di kota besar dan biasa mengandalkan pete-pete, kendaraan umum di Ujung Pandang dan sekitarnya.

Sepanjang perjalanan pagi itu, Pak Udin memandu kami sambil menjelaskan makna struktur rumah adat (boyang) di wilayahnya. Ada 2 jenis boyang untuk membedakan status sosial dalam masyarakat, yaitu boyang adaq untuk kaum bangsawan dan boyang beasa untuk masyarakat umum.

Secara arsitektur, hanya dibedakan atas ornamen yang ditambahkan pada bagian depan atap rumah yang dinamakan Tumbaq Lajar. Rumah bangsawan dibuat bersusun 3 hingga 7 untuk menunjukkan tingkatan status.

Pembeda lainnya terlihat pada anak tangga. Kalau bangsawan, anak tangganya bersusun dua. Bagian bawah terdiri atas 3 anak tangga, bagian tengah (pararang) dibikin datar untuk menyimpan alas kaki, dan berikutnya berjumlah antara 9 dan 11 anak tangga.

"Baiklah temang-temang, kita sudah sampai mi di rumah Pak Desa. Silakan naik," dengan sopan Pak Udin mempersilakan kami naik ke atas rumah yang memang letaknya paling ujung. Melihat bentuk atapnya yang terbuat dari seng tanpa ornamen, bisa disimpulkan bahwa rumah ini masuk golongan boyang beasa. Selain itu, anak tangganya juga lurus, tidak ada pararang.

"Kalau Baddu itu, artinya apa Pak?" tanyaku dengan polos karena melihat tulisan ini ditempel di atas pintu. Belum sempat Pak Udin menjawab, Pak Desa yang pensiunan Armed (Artileri Medan) menjawab dari dalam, "Itu nama saya, Nak"

Pak Udin tersenyum dan mengangguk ke arah Pak Desa yang keluar menyambut kami. "Iye, itu namanya Bapak."

"Oh, maaf. Saya kira ada arti lain, sebab sepanjang jalan Pak Udin menjelaskan nama-nama bagian rumah dalam bahasa Mandar," jawabku tersipu malu. Pak Desa hanya tersenyum tapi matanya tajam menatapku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun