Masih lekat dalam ingatanku, malam itu kami berkumpul depan gedung PKM untuk pembagian jatah bus yang disewa oleh panitia KKN. Ada beberapa armada yang diberangkatkan ke Kabupaten Polmas (Polewali Mamasa). Kala itu masih termasuk propinsi Sulawesi Selatan. Sebutan kota Makassar juga masih bernama Ujung Pandang.
Malam itu rasanya sangat panjang, seolah tak pernah berakhir. Rasa lapar dan haus juga sirna karena berbagai emosi berkecamuk dalam pikiran. Kuatir, takut, segan, gembira, sedih, stress dan seterusnya. Semua emosi menyatu, sudah seperti sayur lodeh dalam panci yang diaduk-aduk agar santannya tidak pecah namun sayuran tetap utuh. Kira-kira, begitulah suasana hatiku pada malam keberangkatan rombongan KKN Unhas Gelombang XLII (42) di Kabupaten Polmas.
Hampir di setiap kota, bus berhenti untuk memberi kesempatan penumpang yang ingin ke WC. Sampai kota Pare-pare, perjalanan cukup lancar. Aku masih bisa melihat lampu-lampu menyala dari rumah penduduk.
Selepas Pinrang, laju bus mulai melambat. Jalanan sudah tidak semulus jalan poros sebelumnya. Mungkin supirnya juga sudah lelah dan mengantuk. Sebab mobil sering berhenti mendadak, sepertinya Pak sopir kaget-kaget menginjak rem. Jangan-jangan Pak sopirnya menyetir sambil tidur.
Kiri kanan jalan sangat gelap. Tidak ada penerang jalan. Rumah penduduk juga jarang-jarang. Ketar-ketirku bukan mengkhawatirkan kecelakaan, tetapi lebih mengkhawatirkan 'pok pok'. Aku langsung membayangkan, jangan-jangan Pak sopir melihat makhluk ini sedang gentayangan di tengah jalan.
Ada yang cerita kalau antara Pinrang dan Polmas, hantu pok pok biasanya terbang dari pohon ke pohon untuk mencari mangsa. Makhluk halus ini berwajah perempuan, bermata merah menyala dengan perut menganga. Jadi terlihat ususnya dan isi perut lainnya (jeroan). Â Dikatakan pok pok sebab pada saat terbang terdengar bunyi 'pok pok' seperti suara kepakan sayap.
Pok pok beroperasi setelah lewat tengah malam. Tujuannya mencari mangsa wanita yang sedang hamil atau melahirkan. Konon katanya, dengan memakan janin atau ari-ari, wanita ini akan terlihat cantik dan awet muda sepanjang harinya.
Bisik-bisik dari penumpang yang juga tidak bisa tidur, aku bisa dengar percakapan mereka soal makhluk halus yang sangat terkenal di pulau Sulawesi. Aku berusaha untuk mengabaikan percakapan mereka. Aku tidak ingin menambah definisi tentang makhluk ini. Tapi telingaku tegak berdiri untuk menampung bisik-bisik tersebut. Pok pok, nenek Pakande, nenek lampir, kuntilanak dan seterusnya langsung memenuhi pikiranku karena menguping percakapan tersebut.
Sekitar jam 07.30 bus berhenti di depan pasar Tinambung yang pagi itu terlihat sudah ramai pengunjung. Pak Jani (Supervisor) yang mendampingi perjalanan, mengelompokkan kami berdasarkan nama desa. Aku dan 7 nama lain, semuanya 4 wanita dan 4 pria, masuk kelompok desa Lekopa'dis.
Seorang pemuda utusan Pak Desa, menyongsong kami. Namanya Pak Udin. Dia bilang rumah Pak Desa, berada di ujung jalan sana, tak jauh dari pasar yang merangkap halte bus antar kota. Melihat barang bawaan kami, Pak Udin sempat menawarkan naik pete-pete. Tapi karena dia bilang hanya di ujung jalan, jadi kami memilih jalan kaki sebab semalaman sudah puas duduk berjam-jam dalam bus.
Kami tertegun melihat bangunan-bangunan rumah di kiri kanan jalanan. Semuanya masih berupa rumah panggung dari kayu. Sangat asri sebab di Ujung Pandang sudah jarang melihat rumah panggung karena pembangunan kota sangat cepat berkembang. Waktu itu BTN-BTN juga baru mulai dibangun secara serempak di wilayah pinggiran kota Ujung Pandang.
Pada beberapa rumah yang kami lewati, terlihat gadis-gadis sedang menenun sarung Mandar yang sangat terkenal. Di rumah lainnya, terlihat benang-benang sutra sedang dijemur. Warna-warni, sangat menarik. Pemandangan lainnya, kelompok nenek-nenek sedang memilin benang. Mereka tersenyum melihat kedatangan kami.
Walau jalanan cukup lebar, kami harus melangkah dengan hati-hati. Sebab di sepanjang tepi jalan banyak terhampar ikan kecil-kecil yang sedang dikeringkan. Sayup-sayup tercium bau ikan asin, tapi ada bau harum yang lebih mendominasi. Rupanya bau minna, minyak Mandar buatan penduduk desa yang diolah dari kelapa hasil kebun mereka.
Pak Udin bilang rumah Pak Desa 'dekat' di ujung sana. Tapi pada prakteknya kami berjalan kaki sambil menenteng tas, lebih dari 600 meter. Lumayan jauh untuk ukuran kami yang tinggal di kota besar dan biasa mengandalkan pete-pete, kendaraan umum di Ujung Pandang dan sekitarnya.
Sepanjang perjalanan pagi itu, Pak Udin memandu kami sambil menjelaskan makna struktur rumah adat (boyang) di wilayahnya. Ada 2 jenis boyang untuk membedakan status sosial dalam masyarakat, yaitu boyang adaq untuk kaum bangsawan dan boyang beasa untuk masyarakat umum.
Secara arsitektur, hanya dibedakan atas ornamen yang ditambahkan pada bagian depan atap rumah yang dinamakan Tumbaq Lajar. Rumah bangsawan dibuat bersusun 3 hingga 7 untuk menunjukkan tingkatan status.
Pembeda lainnya terlihat pada anak tangga. Kalau bangsawan, anak tangganya bersusun dua. Bagian bawah terdiri atas 3 anak tangga, bagian tengah (pararang) dibikin datar untuk menyimpan alas kaki, dan berikutnya berjumlah antara 9 dan 11 anak tangga.
"Baiklah temang-temang, kita sudah sampai mi di rumah Pak Desa. Silakan naik," dengan sopan Pak Udin mempersilakan kami naik ke atas rumah yang memang letaknya paling ujung. Melihat bentuk atapnya yang terbuat dari seng tanpa ornamen, bisa disimpulkan bahwa rumah ini masuk golongan boyang beasa. Selain itu, anak tangganya juga lurus, tidak ada pararang.
"Kalau Baddu itu, artinya apa Pak?" tanyaku dengan polos karena melihat tulisan ini ditempel di atas pintu. Belum sempat Pak Udin menjawab, Pak Desa yang pensiunan Armed (Artileri Medan) menjawab dari dalam, "Itu nama saya, Nak"
Pak Udin tersenyum dan mengangguk ke arah Pak Desa yang keluar menyambut kami. "Iye, itu namanya Bapak."
"Oh, maaf. Saya kira ada arti lain, sebab sepanjang jalan Pak Udin menjelaskan nama-nama bagian rumah dalam bahasa Mandar," jawabku tersipu malu. Pak Desa hanya tersenyum tapi matanya tajam menatapku.
***
Di atas meja, ada selembar kertas dengan coretan denah rumah seadanya. Rupanya Pak Desa sudah menyiapkan pembagian kamar buat kami berdelapan selama 3 bulan ke depan.
Aku dan Betty tidur di samboyang,yaitupetak bagian depan dari rumah adat Mandar. Fungsi utamanya adalah sebagai ruang tamu. Risma dan Wila tidur di passollor, sekat antara samboyang dan tangngaboyang. Sekat ini adalah tanda dan batas area untuk tamu. Secara adat, seorang tamu dianggap kurang sopan jika melewati area passollor ini tanpa ijin dari pemilik rumah.
Pak Desa danibu tidur di tangnga boyang (ruang tengah). Nenek dan duaanak gadis Pak Desa tidur di bui' boyang (kamar belakang) sedangkan 4 mahasiswa putra, semuanya tidur di kolong rumah bagian depan.
Tidak seperti rumah-rumah lain yang memanfaatkan kolong rumah sebagai kandang ternak, kolong rumahnya Pak Desa hanya diisi bale-bale untuk tidur siang.Ukurannya cukup luas. Ada dua bale-bale besar dari bambu yang sudah dilengkapi kasur.Â
Wilayah pesisir pantai barat Sulawesi, udaranya memang sangat panas. Jadi kalau siang, orang-orang desa lebih senang bersantai di bale-bale kolong rumah sambil memakai bedak dingin yang terbuat dari beras tumbuk.
Pagi itu kami disuguhi teh hangat. Pak Desa juga memanggil beberapa warga yang dianggap tokoh dan sesepuh di desa tersebut. Ada yang datang membawa kue khas Mandar seperti golla kambu (jenis wajik kering), jepa (roti pipih terbuat dari ampas singkong dan kelapa yang dibakar)dan Pak Haji pemilik mesjid membawa canggoreng balu, yaitu kacang goreng berbalut gula aren Mandar yang sangat terkenal.
Karena suguhan kande-kande (kue)tersebut bikin kering tenggorokan, tanpa dipersilakan aku langsungmeraih segelas teh hangat yang sedari awal tak seorang pun dari kami meminumnya.Seperti dendam, sekaligus menambah kalori, aku langsung menghabiskan teh yang sudah pas hangatnya!
Teman-teman saling memandang melihat kelakuanku. Hmm, ada apa ya? Toh Ibu desa juga sudah menawarkan pada saat beliau menyuguhkan minuman tersebut di atas meja.
Aku jadi salah tingkah dengan tatapan teman-teman. Dari awal aku memang sudah bikin error dengan pertanyaan 'baddu'. Sekarang minum teh pun dipandang dengan aneh.
Ketika Pak desa menawarkan mereka untuk minum, aku baru sadar kalau teman-teman mencelupkan salah satu ujung jari mereka, menyentuh permukaan air di dalam gelas dan menyentilkan jari tersebut ke udara secara sembunyi. Seolah-olah membuang serangga yang masuk ke dalam gelas minuman.
Siangnya, ketika kami keliling desa untuk berkenalan dengan masyarakat, barulah Wila mengingatkanku untuk berhati-hati dalam banyak hal, termasuk tata cara minum air yang disuguhkan warga yang terkenal 'ilmunya tinggi'. Kemudian Wila mengajariku cara menyentil air sebelum diminum.
"Amati dulu permukaan airnya. Kalau tidak ada bayangan muka kita, berarti air tersebut sudah dijampe-jampe. Sebaiknya, tidak diminum.Ya,pura-pura saja tempelkan mulut di bibir gelas."
Ooops, pelajaranku kesekian di hari pertama di KKN. Kali ini diajarkan Wila, mahasiswi fakultas Pertanian. Dia lahir dan besar di Pinrang, sekitar 2,5 jam dari Tinambung. Karena itu aku turuti saran dia yang pasti mengenal baik adat istiadat orang Mandar.
Ternyata teman-teman lain sudah tahu info ini waktu bisik-bisik dalam bus tadi malam. Mungkin aku satu-satunya yang tidak menyimak soal kepret mengepret air minum. Jadi, dalam hati sudah tertanam perasaan bersalah dan waswas sudah kena jampi-jampi orang Mandar.
"Kalian berdua, anak kembar ya?" tanya seorang ibu ketika melihat aku dan Betty memperkenalkan diri di salah satu rumah yang mengusahakan tenun sarung. Serta merta kami saling berpandangan dan baru menyadari bahwa wajah dan model rambut kami mirip satu sama lain. Kulit sama gelap karena terbakar matahari. Rambut sama-sama pendek, model jongen skop. Muka kami berdua, oval dengan mata bulat galak. Postur kami berdua, atletis. Aku lebih berotot, sedangkan Bety agak gemuk berisi dan lebih tinggi beberapa senti dibanding aku.
***
Sebelumi tidur, masih sempat terbayang-bayang senyum Pak Haji yang sejak awal selalu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. Kena santet beliaukah aku? Maklum, desas-desus yang sampai ke telinga, katanya Pak Haji punya 9 istri. Dan masih ingin menambah istri.
Karena lelahnya perjalanan dan nyaris tidak tidur semalaman, akhirnya aku bisa tidur pulas pada malam pertama di desa bernama Lekopa'dis. Hari kedua dan seterusnya, aku juga mulai beradaptasi dengan keluarga Pak Desa, teman-teman serumah dan warga sekitar.
Selain Pak Udin, warga desa yang paling rajin bertandang ke tempat kami adalah Pak Haji. Beliau kalau datang tak pernah hampa tangan. Tetapi selalu membawa oleh-oleh makanan buatan salah satu istrinya.
Sambil kami mencicipi buah tangan bawaan Pak Haji, biasanya beliau bercerita tentang proses pengolahan dan asal usul makanan tersebut yang diselipkan dengan bahasa Mandar. Tentunya sambil mempromosikan kehebatan istri-istrinya yang bersaing damai dalam hal masak memasak. Jadi kami ikut menikmati suguhan-suguhan sedap karena hasil persaingan sehat antar kesembilan istri Pak Haji. Tak sampai 2 minggu, celana panjang sudah tak muat lagi. Perutku makin membuncit karena selalu makan enak.
Tak hanya piawai bercerita soal kegiatan warga desa Lekopa'dis yang sehari-hari berjamaah dalam mesjidnya, tetapi Pak Haji juga merekam banyak kisah-kisah heroik raja-raja Mandar, termasuk kisah-kisah mistis yang beredar di wilayah Tinambung dan sekitarnya.
***
Belum genap 2 minggu, Betty teman sekamarku sudah minta izin pulang. Malamnya, aku tidak bisa tidur karena gelisah. Setiap kali memejamkan mata, seperti ada yang sedang mengamati. Ketika membuka mata, tidak ada siapa-siapa. Menjelang pagi juga tercium bau kembang yang sangat harum. Ditambah angin yang berembus lewat dinding kayu, tengkuk terasa dingin sehingga bulu kuduk di sekujur tubuh pada merinding.
Paginya, waktu keluar kamar aku terlihat pucat. Aku cerita kalau aku tidak tidur dan jujur mengakui kalau aku penakut. Jadi Pak Desa menyuruh Ria, putri bungsunya untuk temani aku selama Betty tidak ada.
Ditemani Ria, aku bisa memejamkan mata dan bisa tidur tanpa stress. Tapi menjelang pagi aku terbangun mendengar suara nyaring dari arah kebun yang berbunyi 'sreekkk... Nahasnya, Ria tidak ada dan aku sendirian di kamar. Kemana pula si Ria?
Ketika sarapan, Ria menjelaskan kalau subuh ia pergi sholat ke mesjid. Dia lupa bilang pada malam sebelumnya sebab dia lihat aku sudah terlelap. Suara 'sreekkk yang kudengar menjelang pagi, adalah suara daun pisang mekar di pohon. Tentang bau harum, dijelaskan bahwa ada pohon melati dan kenanga di belakang rumah tetangga mereka. Kalau sedang berbunga, harumnya menyebar kemana-mana.
Syukurlah, minggu itu hanya 2 malam Betty meninggalkan lokasi KKN. Waktu kembali, dia terlihat sangat gembira. Dia berbisik bahagia karena hasil tes bidan, positif hamil. Oh, pantesan aku merasa ada yang mengamati... Mungkin pok pok mencium bau janin muda. Karena muka dan tampilan kami mirip saudara kembar, jadinya pok pok tidak bisa membedakan antara aku dan Betty. Apalagi perutku mulai membuncit karena selalu makan banyak.
***
Suatu hari Aziz Kordes (koordinator desa) mengajak survei ke perbatasan Tinambung dan desa Tangnga-tangnga. Rencananya, di tempat itu akan dibangun batas wilayah kecamatan. Jadi kami berempat berangkat. Seperti biasanya, Basri sudah duluan menghilang ke peternakan warga. Jadi aku menggantikan posisi dia. Mahasiswi lain tidak ada yang diajak, sebab lokasinya cukup jauh dan harus berjalan kaki.
Senang juga bisa bertemu dengan peserta KKN dari desa-desa di kecamatan lain. Mengukur, menghitung, coret-coret model, mendesain dan seterusnya sambil diselingi canda, acaranya jadi seru dan panjang. Tak terasa, tahu-tahu hari sudah sore, jadi kami harus bubar.
Di Tinambung, pergantian dari sore ke malam terasa cepat sekali prosesnya. Sebelumnya masih terang benderang, tapi baru beberapa langkah meninggalkan lokasi, tiba-tiba sudah gelap dan sunyi sekali di wilayah yang harus kami lalui.
Mungkin karena di persimpangan jalan ada bongkahan batu besar dan tinggi, jadi sinar matahari tidak sampai ke jalanan di balik batu itu. Udaranya juga dingin. Suara daun dan batang bambu yang bergesekan tertiup angin, terdengar seram sekali. Jalanan gelap, tak ada kendaran yang melintas selama kami melewati area tersebut. Tiba-tiba Iwan berbisik, "Kau lihat yang bergerak-gerak itu?"
Kami bertiga menajamkan mata ke arah yang ditunjuk Iwan. Tapi kami tidak melihat apa-apa. Hanya bongkahan batu yang tertutup semak-semak. Memang sih bulu kuduk berdiri dan suasananya terasa sangat mencekam.
"Duh, siapa juga nih yang timpuk saya?" tanya Aziz. Kami saling berpandangan karena tidak  merasa melempar batu ke Aziz. Langkah kami semakin cepat, nyaris berlari. Dan akhirnya memang berlari sekencang-kencangnya.
Tiba di rumah, sambil terengah-engah kami cerita pengalaman barusan. Pak Haji yang sejak sore sudah bertandang dan ngobrol dengan teman-teman putri, langsung menyuruh kami duduk dan mendengar cerita beliau:
"Antara Tinambung dan desa Tangnga-tangnga, ada batu yang sangat besar. Tua-tua bilang, batu ini tiba pada saat linor (gempa bumi) dan lembong tallu (tsunami) yang terjadi tahun 1969.
Ukuran batu semakin hari semakin membesar. Jadi dinamakan batu miana yang artinya melahirkan. Sebab di sekitar batu ini memang banyak sekali batu-batu kecil. Sepertinya lahir dari batu yang besar itu.
Konon katanya, batu miana dijaga oleh ular raksasa yang sangat panjang. Mungkin sekitar 50 meter, sebab kepalanya sampai ke sungai, tapi badan dan ekornya masih di jalanan.
Banyak yang pernah melihat ular ini. Katanya kalau sudah tiba di laut, ularnya menjelma menjadi perahu kosong, tidak berpenumpang. Seringkali orang yang sedang mandi atau main di sungai suka ditimpuk pakai batu-batu kecil, padahal tidak ada orang lain pada saat itu. Dan ular penjaga ini katanya paling tidak suka melihat orang memakai baju warna merah."
Serta merta kami mengamati jaket KKN yang masih membungkus tubuh kami. Baik jaket maupun topi, warnanya merah darah, warna kebanggaan dan simbol almamater kami.
Pak Haji menambahkan,"Kami di sini tidak berani pakai baju merah kalau lewat di persimpangan jalan yang kalian lalui. Mungkin Iwan diperlihatkan oleh si ular, tapi kalian bertiga tidak melihat."
Iwan sedari tadi hanya diam seribu bahasa. Mukanya pucat pasi. Matanya menatap kosong. Mungkin dia bingung sebab besok lusa harus kembali ke tempat yang ternyata cukup angker. Masalahnya, dia juga diangkat sebagai pimpinan projek untuk pembangunan tugu batas wilayah.
"Besok kalau kalian lewat di sana, tanggalkan saja jaket kalian. Dan jangan pulang sampai menunggu matahari tenggelam. Jadi berangkat pagi-pagi dan sebelum sore usahakan sudah bubar," nasihat Pak Haji sebagai solusi yang paling aman buat semua.
"Pak Haji, mengapa baru cerita sekarang soal batu miana, bukan dari kemarin-kemarin?" tanyaku penasaran.
"Banyak sekali cerita tentang tanah Mandar. Nanti kalau saya ceritakan semua, mungkin kalian tak berani keluar rumah," Pak Haji menjawab sambil tertawa.
***
Dibanding teman-teman lain, aku satu-satunya yang hanya pulang sekali selama KKN. Itu pun karena aku harus mengambil barang-barang sumbangan dari sponsor untuk lomba voli yang kugelar bersama Karang Taruna desa.
Seperti ketika datang pertama kali ke lokasi KKN, aku memilih bus malam dengan harapan tiba pagi hari di Tinambung. Maka jam 22.30 aku sudah duduk manis dalam bus yang tujuan akhirnya kota Mamuju.
Penumpang malam itu lumayan banyak. Tapi satu persatu, turun di kota-kota sebelum Pare-pare. Alhasil, dari Pare-pare dan seterusnya, bus nyaris kosong.
Aku lupa kalau dulu kami menyewa bus khusus, jadi penumpangnya penuh dari awal sampai tujuan akhir di Tinambung. Setiap kota juga bisa berhenti atas permintaan penumpang, jadi waktu tempuh perjalanan memang lama.
Kulihat arlojiku, baru pukul 03.00 saat bus meninggalkan kota Pare-pare. Aku ingin pindah tempat duduk, tapi kursi-kursi umumnya terisi oleh penumpang yang tidur menghabiskan 3 kursi kosong. Sedangkan kursi-kursi dengan 2 bangku, diisi barang-barang yang seharusnya masuk bagasi atau diselipkan di bawah kursi penumpang.
Saat itu, mungkin cuma aku dan Pak supir yang terjaga dalam bus. Semua penumpang yang tersisa hanya segelintir, terlihat nyenyak terlelap. Setiap kali aku melirik arloji, jarum jam sepertinya bergerak sangat lambat. Baru jam 03.10. Tak lama kemudian, jam 03.12, dan seterusnya.
Setiap kali, bus juga berhenti mendadak dan pak supir seperti tertegun menatap ke depan jalanan yang tersorot lampu. Sesekali kepalanya juga mendongak ke atas pohon-pohon di kiri kanan sepanjang jalan. Aku tak berani melihat keluar jendela. Lagi pula, di luar sana sangat gelap, tak ada lampu jalan.
Aku mencoba menutup mata dan konsentrasi membayangkan persiapan pertandingan voli. Tapi yang ada malah imajinasi pok pok yang sedang tertawa lebar sebab tahu kalau teman sekamarku sedang hamil.
Jam 06.30 akhirnya bus tiba di terminal Tinambung. Kulihat Pak Udin dan 2 pemuda dari Karang Taruna melambaikan tangan ke arahku di dalam bus. Mereka membantu menurunkan barang-barang dari bagasi.
Depan rumah Pak Desa, teman-teman dan beberapa penduduk sudah menanti kedatanganku. Mereka kawatir sebab aku pulang sendirian dan memilih bus malam. Syukurlah aku kembali dengan selamat, aman dan lengkap semua barang bawaan.Â
Pak Desa yang biasanya menjaga wibawa, pagi itu bertanya dengan canda,"Tak ada ji ibu-ibu cantik dengan bau-bau aneh yang tiba-tiba duduk di sebelahmu?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H