Sebenarnya, Indonesialah yang pertama mencanangkan suatu peraturan khusus mengenai pemberantasan korupsi di Asia. Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yang dijabat Jenderal A.H. Nasution menciptakan suatu peraturan untuk memberantas korupsi yang gejalanya sudah tampak pada tahun 1958 (Jur Andi Hamzah, 2005: 5).
Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998):
- Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekua-saan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
- Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya, dan
- Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut; sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur peme-rintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, mengangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Syed Hussein Alatas memberikan ciri-ciri korupsi bahwa korupsi senantiasa melibatkan lebih dari dari satu orang, hal inilah yang membedakan dengan pencurian atau penggelapan, korupsi umumnya melibatkan kerahasiaan, ketertutupan terutama motif yang melatarbelakangi dilakukannya perbuatan korupsi itu sendiri, korupsi juga melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang mana kewajiban dan keuntungan itu tidaklah selalu berbentuk uang, usaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum, sehingga mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang dan mempengaruhi keputusan-keputusan itu, setiap tindakan korupsi mengandung penipuan yang biasanya pada badan publik atau masyarakat umum, setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu didasarkan atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi (Syed Husein Alatas, 1983 : 11-14).
Berdasarkan Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan perekonomian negara. Korupsi dirumuskan dalam 30 jenis Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan dikelompokkan menjadi 7 jenis besar Tipikor. Tujuh jenis besar tersebut, yaitu kerugian keuangan negara, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, gratifikasi, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan suap menyuap.
Oleh karena itu kita semua harus berupaya selalu mencari jalan agar perbuatan korupsi itu dapat dicegah, dipersempit dan diberantas habis, walaupun hal ini tidak mudah dari berbagai cara dan jalan untuk melakukan pencegahan itu.
Keberhasilan suatu bangsa dalam memperoleh tujuannya tidak hanya ditentukan dari melimpahnya sumber daya alam, tetapi ditentukan juga karena kualitas sember daya manusianya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa bangsa yang besar dapat dilihat dari kualitas atau karakter bangsa itu sendiri. Dan bangsa yang dimaksud disini adalah manusia-manusia yang berada di dalam bangsa tersebut. Untuk membentuk kualitas atau karakter sebuah bangsa (manusia) tentunya membutuhkan proses pendidikan yang tidaklah mudah, pendidikan harus mencakup berbagai nilai, diantaranya nilai moral, etika, dan akhlak. Pendidikan tidak hanya mendidik untuk menjadi manusia yang cerdas, tetapi juga membangun kepribadiannya agar berakhlak mulia.
Akhlak yang dimiliki oleh seseorang bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir, dan bukan pula sesuatu yang sifatnya tetap, akan tetapi sesuatu yang dapat berubah, berkembang dan harus dibentuk melalui proses dan waktu yang cukup lama. Demikian juga halnya dengan akal pikiran.
Indonesia sesungguhnya mempunyai kebudayaan yang tinggi dan adiluhung warisan nenek moyang yang ajaran-ajarannya tidak kalah penting dengan ajaran-ajaran, teori-teori, dan faham dari Barat. Salah satunya adalah Serat Wedhatama.
SERAT WEDHATAMA KGPAA MANGKUNEGARA IV
Serat Wedhatama merupakan salah satu kitab Jawa Kuno (kitab piwulang dan piweling) yang sangat popular dikalangan masyarakat Jawa. Serat Wedatama adalah salah satu cipta budaya yang digubah oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV antara tahun 1782 sampai dengan tahun 1810 tahun Jawa atau tahun Masehi 1853 sampai dengan 1881. Serat Wedatama adalah karya sastra dalam bentuk tembang yang tergolong didaktik moralistik, sebagaimana dinyatakan pada Pupuh Pangkur yang berbunyi: sinawung resmining kidung, yang artinya: dihias dengan indahnya lagu (tembang). Karya sastra didaktik dalam masyarakat Jawa merupakan sastra piwulang yang memberi tuntunan moral budi pekerti yang sebaiknya dilakukan oleh manusia. Secara harfiah, Serat Wedatama terdiri dari tiga suku kata yaitu serat, Weda dan tama. Serat memiliki arti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan. Kata Weda berasal dari urat kata kerja Vid yang artinya "mengetahui" dan Veda berarti "pengetahuan". Pada jamannya Wedhatama sangat terkenal, bukan saja di dalam lingkup Istana Mangkunegaran saja tetapi juga Istana Kasunan maupun Yogyakarta. Bahkan Wedhatama dikenal dan dihafal sampai dipelosok-pelosok desa yang berbahasa Jawa. Meskipun hanya satu dan dua bait tetapi mereka itu hafal diluar kepala. Hal ini dikarenakan serat Wedhatama sangat digemari masyarakat. Sekarangpun banyak yang ingin mempelajari, mendalami Serat Wedhatama lebih dalam hingga menemukan intisari ajarannya. Hal tersebut menunjukan betapa tinggi nilai serta mutu yang terkandung didalam serat Wedhatama. Serat Wedatama berjumlah 100 bait terdiri dari lima macam tembang (pupuh), yaitu Pangkur, Sinom, Pucung, Gambuh, dan Kinanthi yang keseluruhannya berjumlah 100 pada atau bait.