Ini cerita yang tiba-tiba terpikirkan pas aku lagi butuh healing jadi, aku lampiasin aja kedalam narasi. Jadi, semoga yang membaca suka dengan ceritanya.
"Kakak..., menikahlah denganku," gadis itu memayun -- mayunkan bibirnya lucu, didepan salah seorang pria kecil yang lebih dewasa dari gadis itu.
"Tidak,"ujarnya langsung membuat gadis itu terlihat murung.
"Kenapa? Ayah bilang aku bisa menikah dengan pria yang lebih dewasa dariku," ia merengek pada pria itu.
"Bukan begitu maksudku. Kita terlalu kecil untuk menikah, menikahlah dengan orang yang kamu cintai saat dewasa nanti,"jelas pria itu padanya.
Gadis kecil itu sempat berpikir dan kemudian kembali bersuara, "Yasudah, saat dewasa aku akan mencintai dan menikahi kakak. Bisakah kita menikah nanti?"ujarnya, pria yang ada didepannya mengangguk kecil membalas ucapan gadis itu.
"Janji?"mengulurkan jari kelingkingnya didepan wajah pria itu.
"Janji,"menautkan jarinya dengan jari gadis mungil itu sambil tersenyum.
~ooo~
Gadis itu berlari menuju gerbang sekolah, rambutnya terurai karena hembusan angin. Nafasnya tersengal-sengal kala ia telah sampai didalam kawasan sekolah. Banyaknya siswa yang berlalu lalang membuat susana begitu ricuh dan ramai. Gadis itu tersenyum puas, ia segera beranjak dan langsung menuju kelasnya.
Suara bel membuat semua para siswa menuju lapangan dengan memakai topi, berbeda dengan gadis yang sibuk mencari topinya di segala tempat termasuk kolong mejanya, namun tidak juga ia temukan. Ia begitu panik, hingga sampai seseorang mengulurkan tangan didepannya sambil memegang topi sekolah. Matanya berbinar dan langsung mengambil alih topi itu ke tangannya, tanpa ia berbalik tentu ia tau siapa pemilik tangan itu.
"Aku udah tau, blekk..." Ledeknya, menjulurkan lidah.
"Dasar, manja." Ujar pria itu terang-terangan.
Sebelum kejahatan dimulai, pria itu lebih dulu meninggalkan gadis itu keluar. "WOI, KEVAN SIALAN?!" Yang diteriaki justru tersenyum tipis mendapati gadis itu tengah mengjarnya hingga lapangan.
Aksi gadis itu terhenti karena upacara bendera telah dimulai.
'Liat aja nanti, gue bales lo. Anak kambing!'
Begitu upacara selesai, semua orang langsung berhamburan dan buru-buru masuk ke dalam kelas. Gagal sudah rencana gadis itu balas dendam.
"Ira, gue nyontek Matematika nya dong. Ga ngerti sama soal yang nomer 4..." Dina langsung menunjukkan hasil orak-oreknya pada Lameira.
"Gue sebenarnya ga terlalu paham, cuma ya dibisain aja ini. Nah, yang ditanya nya di taruh di atas, terus yang soalnya yang ini nih taruh di bawahnya dan blalalalala...." Ira menjelaskan hingga guru pengajar datang.
KRINGGG!
Istirahat pun ia tidak istirahat, masih ada tugas kelompok yang harus di print sekarang. Karena itulah, Ira, Novia, dan Dina yang satu kelompok membagi tugas dan Ira mendapat tugas print ke luar sekolah.
Lumayan, jajan di luar.
"Ra!" Ira menoleh ke sumber suara, mendapati seorang pria dengan balutan jaket kulit di seberang jalan. Ia kebingungan.
'Ini gue yang salah, atau keadaannya gak bener?'Â Gumamnya sendiri.
Lantas Ira tetap memperhatikan orang itu, dengan bahasa tubuh pria itu seolah memanggilnya. Dia juga memang sih tujuannya kearah seberang untuk print tugas, ya...sekalian kan.
Sampai tiba waktunya menyeberangi jalan dan sampai di seberang ia mendekati pria itu. "Om, kenapa manggil saya?" Tanya Ira dengan polosnya.
"Hah?"
"Eh?"
"Kamu siapa?"
"Loh, bukan manggil saya?"
"Papa!" seru seorang gadis berseragam SMP datang mendekati mereka berdua.
"Dira!"
"Papa, ini siapa? Jangan bilang...anak baru papa sama mama lain lagi, hayo loh ngaku!" Ceroscos gadis itu tak ada jeda.
"Astaga, demi anakku Dira satu-satunya. Mana mungkin papa selingkuh nak..." Kejut papa nya, mengelus dada spontan.
"Oh...jadi papa ngga mau buatin aku adik. Gitu? Pa, aku itu butuh temen buat main, masa mau main salon-salonan sama nek Nisam, papa jahat ih...". Lagi, gadis itu sepertinya sangat-sangat memiliki pikiran yang luas, jadilah Ira permisi meninggalkan dua insan yang tengah berdebat itu.
"Ada aja emang alur cerita Tuhan, kayak perasaan ku ke dia. Beragam rasa, mwehehehe..." tertawanya sendiri.
Sampai di tempat print, ia segera menyelesaikan tugasnya dan kembali. Namun, sebelum ke sekolah ia menyempatkan diri untuk mampir ke warung dekat sekolah. Sudah sampai diwarungnya, ia lupa hendak apa yang akan dibelinya.
Pernahkan mengalamin hal ini? Tiba-tiba pas sampai di tempat yang mau ada kepentingan nyari atau beli sesuatu eh, malah lupa sama nama barangnya.
"Buk, jual es yang ada batu nya gak?"
"Hah?"
"Semua es ada batunya , kalau nggak ada yang namanya es krim bukan es batu atuh,"
"Bukan buk, itu loh yang buat toping nya itu..."
"Toping batu?" Ira mengangguk.
"Pie toh iki neng, ibuk nggak paham,"
"Mbok, boba keju satu,"
"Nah yang itu buk..."
"Eh, kok" belum ia selesai berbicara, tangannya ditarik.
"Kalau mau ngomong itu diinget-inget dulu namanya, Ra. Nggak semua orang ngerti apa yang lo maksud." Lameira terdiam, begitulah kira-kira kalau sudah dinasehati.
"Iya, ngerti."
"Lah, kok gitu doang?" Ira beralih menghadap Kevan.
"Terus? Lo mau gue ngomong kalau gue itu bisa aja lupa lagi secara tiba-tiba dan nggak inget terus gue bilang hal yang mirip-mirip sama hal itu, yakan gue juga nggak tau kenapa gue lupa, kalau inget juga gue nggak ngajak ibuknya main teka teki gini. Puas?" Meira memasang wajah datarnya.
"Udah?" Kevan tersenyum tipis.
"Lo ngeselin tau nggak." Ia bersidekap tangan setelah mengucapkan kalimat itu.
Kevan memilih untuk mengambil pesanannya dan kembali duduk disamping Meira.
"Ayo balik." Ajak Kevan namun ia memutar bola matanya malas. Dan bangkit, meninggalkan Kevan dibelakangnya.
"Dasar ngambekan." Gumam Kevan setengah berbisik.
"GUE PUNYA TELINGA ASAL LO TAU!" Seru gadis itu tanpa membalikkan badannya. Hingga mereka tiba ditempat penyeberangan tadi saat Meira bertemu si om itu.
Mereka sama-sama diam, hingga gadis itu menyebrang mendahului pria itu.
Belum sampai di seberang, dari sebelah kiri jalan, mobil melaju tanpa memberi mereka waktu berjalan terlebih dahulu. Jadilah, dengan kecekatan tangan Kevan menarik Meira agar tidak terserempet mobil.
"Shit!" Umpat pria itu mendapati mobil melesat didepannya, sementara Ira masih terkejut dengan mobil yang datang tiba-tiba serta...didekap Kevan.
"Ra, lo gak pa-pa 'kan?" Meira terdiam seribu Bahasa.
Ya gimana nggak diem coba, coba lo pikir woi. Lebih dari 17 tahun mereka dekat, selama ini belum pernah ada sentuhan fisik se vulgar ini!
Help Meira!
"Ra?"
"Ga pa-pa."
Setelah mendengar jawaban dari gadis itu, Kevan melanjutkan langkahnya dengan posisi memegang tangan Ira menyebrangi jalan.
Sampai didepan sekolah, barulah Meira melepaskan tangan Kevan terlebih dahulu. Namun..
"Van, tangan lo erat banget pegangnya,"
"Iya, takut lo ilang."
"Dih, emang gue ngilang kemana coba. Kaya anak kecil aja, males ah." Kembali, gadis itu cemberut.
"Iya, lo lebih kecil dari gue,
Kevan menjeda ucapannya sebentar dan sedikit mendekati telinga gadis itu, hampir membuat Meira mendidih, tapi kalimat selanjutnya membuat gadis itu...
-kalau gue yang kecil, lo tetep mau jadi istri gue nanti?"
Bentar, gue ngelag dulu. --Meira
Oh.
'SIAL, DIA MASIH INGET!' Meira membatin.
"Lo...masih inget?" ragunya, melontarkan kalimat untuk memastikan keraguannya.
"Everything about you, I will never forget it, Ra."
Meira : "Lost my mind."
"THE END"
noted ;
Hai, bagi pembaca cerpen ini yang gak sampai 1000 words, terima kasih ya...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI