"Sayang, lihat aku. Rasakan dengan hati tulusmu!"
Dru menarik nafas panjang dan berat. Sesekali dia seka air matanya. Ahh cantiknya kamu Dru. Bulu mata yang sedikit basah, senyum yang perlahan kamu tarik serta lesung pipi yang begitu indah sungguh membuatku berbahagia telah menjadi penjagamu.
"Laela, ajari aku untuk kembali melangkah!"
"Tidak Dru, bukan aku. Kamu kuncinya."
"Aku tak bisa, hidupku terlalu runyam untuk menikmati indahnya cinta."
"Lihat ke atas sana. Kau tahu, Matahari membawa jingganya hanya untuk kamu. Dan kau tahu di persimpangan tadi, setangkai Mawar dengan rona merahnya begitu mempesona, dia persembahkan mekarnya hanya untukmu dan kau sama sekali tak perhatikan dia."
"Bukannya Matahari memang tugasnya memberi hangat?. Bukannya Mawarpun memang punya tugas kuncup dan mekar?"
"Kamu tidak salah, sama sekali tidak salah. Tapi semua bukan kebetulan. Mereka hadir dengan kedua sisinya tidak sembarangan. Mereka berhak memilih waktu dan mahluk mana yang akan mereka sapa."
Dru kernyitkan dahinya sekejap. Dia betulkan poninya, dan tentunya tali sepatu yang mudah sekali terlepas.
"Ah, aku salah pakai sepatu. Sedikit-sedikit lepas, sedikit-sedikit lepas. Bikin susah saja."
"Besok kalau jalan-jalan lagi, akan kau pakai sepatu yang sama?"
"Tidak, aku tak mau lariku terganggu hanya gara-gara tali sepatu jelek ini."
"Ah kau sudah mulai pintar."
"Aku, pintar?. Jangan meledek Laela."
"Jika kau saja bisa berganti sepatu karena ganggu lari pagimu, kenapa tak kau ganti sosok Rei dengan laki-laki lain. Bukannya Rei hanya ganggu hidupmu saja?"
Langit berikan tugas lain pada awan, perlahan air menjatuhkan dirinya.
Jika saja aku bisa ambil gambar. Pasti cantik sekali alam pagi ini.
Matahari dengan jingga yang sudah dia perlihatkan lebih awal, Mawar dengan rona merahnya lalu embun berganti gerimis.
"Dru, siapa B?"
"B?"
"Iya, inisial di handukmu?"
"Aku tak paham. Handuk ini maksudmu?. Ini handuk yang Bram berikan padaku saat aku kehujanan di Malang Laela. Karena warnanya aku suka, aku tak kembalikan."