"Bukan, tidak begitu Dru kronologisnya. Ya salam, ujung jalan kok lama kali ya, aku sedang tak mau ribut dan tugasku memang tidak untuk ajak kamu ribut."
Dru berlari lebih kencang dari biasanya, kuncir kuda terayun dengan kuat. Sesekali dia betulkan tali sepatu yang terlepas. Berjongkok sebentar lalu berlari lagi tinggalkan aku bersama matahari dan mawar berduri.
"Aku lari kejar Dru dulu ya, jangan kemana-mana. Nanti aku kembali."
"Tidak, kami tak pergi kemana-mana. Lagipula sekuat apapun kamu pergi tinggalkan kami, jika Tuhan maunya kita bertemu pasti bertemu lagi di sini. Di jalanan ini."
Aku sudah tidak muda lagi, jika dulu gelora muda penuh denga segala cinta dan kasih, perlahan mulai terkikis. Bukan mauku untuk terkikis namun tangis Dru yang semakin banyak membuat lapisan cintaku berkurang perlahan.
Satu hari pernah kubertanya pada semesta, Â hal apa yang dapat mengembalikan energi cinta dan kasihku?. Semesta menjawab, dengan cinta dan kasih.
Oke, dengan cinta dan kasih. Artinya bukan aku yang menyerah pada tangisan Dru, tapi aku harus mampu membuat Dru untuk tetap menuai cinta dan kasih.
"Dru, tunggu. Aku sudah tak kuat berlomba denganmu. Tidakkah kamu lihat, darahku sudah naik turun?"
"Apanya yang naik turun?. Darah?. Dih mana aku bisa lihat."
"Memang tidak terasa olehmu?"
"Tidak"
"Sedihnya aku. Bukalah mata hatimu Dru. Jangan kau biarkan terus tertutup seperti itu."
"Siapa kamu atur-atur aku. Untuk siapa aku harus buka hatiku?. Tak ada yang peduli denganku."
"Ada Dru. Ada yang peduli denganmu."
Tatapan Dru mulai melemah, akan kuhitung. Tiga...Dua...Saaaa
"Laelaaaaa...peluk aku!"
Apa aku bilang, perempuan ini dari luar begitu kuat. Hatinya telanjur berantakan. Sekuat apa Rei menyakiti Dru. Hingga perempuanku ini begitu terluka. Hingga perempuanku sulit menerima kehadiran laki-laki lain.