"Hei, cantik sekali kamu hari ini. Bukannya semalam hujan sempat datang. Kenapa kau begitu cerah?
"Hmm, seharusnya jatahku cerah jam sembilan nanti. Hanya sepertinya sahabatmu perlu aku kasih sedikit warna agar tidak terlalu kelabu. Kau berbuat salah apa, bisa-bisanya dia semuram itu."
"Ah, kau belum bangun. Itu bukan muram. Itu Durjana."
"Masa, coba aku perhatikan."
Dru lemparkan botol minumannya. Satu dua helai daun mawar lepas dari tangkainya.
"Duh, maaf ya. Dia tidak sengaja. Sakit?"
"Apa menurutmu aku tidak kesakitan?"
"Aku pikir, karena kau penuh duri, lemparan Dru tidak seberapa dibandingkan dengan ketika durimu mengenai orang atau mahluk lainnya."
"Kan aku yang punya duri, mana tahu rasanya kena duri."
"Oiya, aku lupa. Pantas saja laki-laki itu terus melukai Dru, dia yang punya duri, tak pernah tahu rasanya menjadi Dru. Lantas di tanah tak bertuan ini, siapa yang menanammu seindah ini?"
Dia sibuk bereskan sisa daun yang merapuh. Menurutnya daripada memelihara daun yang sudah terluka lebih baik dia buang untuk dapatkan daun yang baru. Menunggu daun yang baru jauh lebih menyenangkan dibanding menyembuhkan daun yang hampir kering atau sudah terluka.
"Laelaaaaaaa...."
"Allahu Akbar, kencang kali kau berteriak Dru."
"Kamu itu kenapa sih?. Peka sedikit bisa tidak?. Aku itu lagi kesal."
Salah lagi deh, nasib kok begini amat sih.
"Kamu maunya apa Dru? Kenapa sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit marah?"
"Aku bingung ya sama kamu Laela. Bisa-bisanya aku sedang butuh teman bicara, kamu tinggal aku begitu saja. Kalau tidak kau tinggal tidur, kau tinggal aku dengan aktivitas yang lain."