Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Om Nadiem, Bantu Kami!

15 Agustus 2020   06:38 Diperbarui: 15 Agustus 2020   07:21 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak berhak atas apa-apa di dunia ini, tak berhak untuk menilai, untuk meminta atau bahkan untuk mengetahui yang terjadi di muka bumi saat ini.

Selembar koran bekas terbang kesana kemari, seolah memanggilku untuk membacanya. Kuluruskan kakiku, sedikit aku gerakkan lantas dengan gesit aku melompat lalu hap, kertas koran yang sudah agak lusuh berpindah ke tanganku.

Barisan kata yang dicetak tebal menganggu pikiranku, seorang ayah ditangkap polisi karena mencuri laptop.

Aku terbiasa menanggapi berita seperti ini, kata Bapak,  Indonesia ini tingkat kriminalnya masih tinggi. Kalau saja tidak kuat iman mungkin Bapak sudah curi sana sini untuk kamu makan Mad, seloroh Bapak satu hari kemarin.

Kutatap liarnya matahari, awan berlari membiarkan dia untuk sinari bumi atau lebih tepatnya panasi bumi. Tak lama awan kembali, saling berpegangan lalu membentuk bulatan dan diakhiri dengan senyuman sinis sedikit mengejek.

Aku percaya pada Bapak, walau hanya seorang pengepul rongsokan tapi Bapak ini seorang sarjana. Bapak terpaksa seperti ini karena tidak tersisa lowongan pekerjaan buat Bapak.

Bapak ini pintar, aku saja kadang sering tidak bisa jawab pertanyaan Bapak.

"Mad, kamu tahu tidak Indonesia sekarang punya berapa provinsisb?"
"Tiga puluh ya Pak?"
"Lah kok balik tanya, kan Bapak tunggu jawaban dari kamu?"
"Bapak tanya atau cuma tes aku saja Pak?"
"Haha, iya iya Bapak test kamu. Kamu baca buku tahun berapa sih Mad, kok Indonesia masih 30 provinsi?"
"34 Pak Supardi, aku tahu. Masa punya Bapak pintar aku tak bisa menyaingi."

Bapak menghapus peluh di pelipisnya. Kami hanya tinggal berdua. Sejak Bapak kehilangan pekerjaan sebagai Kepala Bagian di sebuah perusahaan yang gulung tikar, lalu Bapak banting stir bergelut dengan rongsokan, Ibu memilih untuk meninggalkan kami.

Bapak dengan segala usahanya bisa menjaga dan membesarkan aku dengan baik.

"Bapak kok seperti kebingungan begitu sih Pak?"
"Mad, tolong kamu cek buku keuangan Bapak!"
"Mau apa toh Pak?"

"Mad, Bapak tahu kamu belum terlalu besar untuk ikut campur urusan Bapak. Tapi Bapak rasa sudah cukup untuk kamu mengenal hal lain selain dirimu sendiri."

Agak bingung dengan yang disampaikan Bapak, tapi kuperhatikan gerak-gerik Bapak yang tidak biasanya.

Matanya kosong menatap tumpukan koran bekas di depannya. Sepertinya obrolan semalam ada sangkut pautnya dengan tatapan kosong Bapak dan selembar kertas koran lusuh di tanganku.

"Kamu sudah tahu kapan kamu mulai belajar di sekolah Mad?"
"Belum Pak, nanti katanya Bu Guru akan sampaikan jadwalnya setelah dapat keputusan dari pemerintah. Katanya lagi untuk daerah yang Zona Kuning boleh tatap muka tapi katanya lagi harus ada persetujuan semua orang tua. Ah entahlah Pak, aku belajar sama Bapak saja. Kan Bapak lebih pintar dari Google."

"Bukan begitu Mad, Gurumu akan sampaikan lewat apa? Handphone? Email atau apa?. Sekolahmu ini sekolah inpres, bukannya katamu temanmu tidak semua punya HP?."
"Iya Pak, oiya ya Bu Guru sampaikan lewat apa?"

Aku sekolah di sekolah negeri. Sekolahku tidak pernah belajar online sebelumnya. Masih dengan menggunakan metode belajar seperti saat Bapak sekolah dulu kami menikmati setiap ilmu yang diberikan oleh Guru kami.

Kami dilarang membawa handphone ke sekolah, karena delapan puluh persen temanku tidak punya handphone. Kami tak pernah belajar lewat laptop, jangankan laptop, PC saja teman-temanku tidak tahu.

Aku sedikit beruntung karena walau kondisi seadanya Bapak selalu meberikan fasilitas yang aku butuhkan. Berjuang dari jam tiga shubuh lalu selesai sampai setelah isya membuatku bangga akan sosok Bapak.

"Mad, dulu Bapak pernah punya cita-cita ingin sekolahkan kamu di sekolah swasta termahal di Indonesia, biar kamu bisa jadi orang sukses."
"Loh Pak, memang kalau mau sukses harus sekolah di sekolah swasta ya Pak?"
"Oiya Mad, makin mahal makin bagus fasilitas untuk muridnya. Nanti kalau kamu sekolah di sekolah mahal, kamu belajar banyak hal yang tidak ada di Sekolah Inpres. Bahkan bahasamu nanti pakai Bahasa Inggris, atau ada juga sekarang yang dilengkapi Bahasa Mandarin"
"Sedih ya Pak, mau sekolah saja harus kaya dulu orang tuanya. Apa kabar teman-temanku yang ingin pintar ya Pak, jika mau sukses saja kami sudah tersisih dari awal."
"Itulah Mad, Bapak sendiri belum paham dengan sekolah mahal itu. Kenapa bisa sekarang daftar sekolah saja bisa sampai puluhan juta belum lagi SPP dan uang tahunan. Eh tapi Mad mereka itu memang beruntung, dalam kondisi saat ini saja katanya belajar mereka tak terganggu, online menggunakan laptop ditemani Bapak dan Ibu Gurunya."

Aku tersenyum.
Bapak ini bukan sedang bahagia tapi sedang meratapi. Saat di TV-TV diberitakan siswa belajar online di depan laptopnya, entah itu gunakan Zoom atau Google Meet atau menunggu tugas yang diberikan via Google Classroom.

Lalu setelah itu salah satu orangtuanya diwawancarai, katanya agak bingung harus ikut mengajarkan anaknya, tapi sangat terbantu dengan adanya tatap muka lewat Zoom ini. Gurunya tetap berikan tugas, dan mereka berkomunikasi seperti halnya tatap muka di sekolah.

Beruntung ya mereka, lalu bagaimana dengan aku dan teman-temanku.

Yang kami tahu Zoom itu salah satu cara untuk memperbesar gambar. Selain itu mungkin kami tak paham.

Apakah cuma sekolah kami saja yang tidak tahu menahu mengenai hal ini?.

Di sebuah Headline Surat Kabar yang Bapak tumpukkan, aku membaca kembali bahwa ada siswa yang menjual dirinya untuk sekadar membeli kuota dan handphone.

Ya Tuhan, bagaimana aku yang sekecil ini menilai kasus-kasus yang disampaikan di TV atau Surat Kabar, aku hanya bisa bengong saat Bapak membahasnya sambil minum teh di teras rumah.

"Pak, memang sebetulnya apa yang terjadi sih Pak?"
"Mad, Gurumu itu pintar, saat menyadari bahwa ada yang tidak memiliki Handphone maka Gurumu mengunjungi anak-anaknya. Lelah loh dia Mad walaupun disatukan di beberapa rumah yang berdekatan tapi pasti dia lelah. Dia tak punya pilihan."
"Memang yang lain tak begitu Pak?"
"Kamu ingat tidak saat semua siswa Indonesia belajar melalu TVRI?. Itu saja tak cukup jadi solusi, karena ada daerah yang tidak bisa akses listrik lalu ketika siswa sudah siap di depan TV jam tayang nya terlewat atau karena tidak terbiasa malah lupa kalau belajar harus lewat TV."
"Jadi mereka tidak belajar Pak?"
"Menurut kamu dengan waktu dua puluh lima menit cukup untuk anak-anak seusiamu belajar?"

"Tapi setidaknya tak perlu handphone untuk proses belajarnya toh Pak?"

"Biar tidak ada orang tua yang mencuri handphone atau bahkan laptop? Biar tidak ada anak gadis yang entah benar atau tidak menjual tubuhnya?. Atau biar tidak ada anak-anak yang merasa tersisihkan ?"
"Iya Pak."

Om Nadiem, tolong kami.
Kami ingin pintar, kami ingin sekolah tapi kami juga ingin selamat.

Kami tak mau melawan alam juga melawan pemerintah. Tapi ini tidak adil Om.
Saat Virus ini belum menyergap kita, kesenjangan di dunia Pendidikan membuat kami memangis om. Mereka yang berduit bisa mengenyam Pendidikan dengan maksimal, kebutuhan mereka difasilitasi di sekolahnya.

Ada Komputer, setahuku bahkan masing-masing sudah menggunakan laptop sendiri. Itu mereka beli sendiri atau dari sekolah ya Om?. Lalu ada pelajaran Bahasa yang lebih detail tidak seperti kami yang sekadar untuk diketahui saja. Kemudian ekskul mereka yang luar biasa bikin kami menelan ludah.

Kami iri Om.

Memang guru dan sekolah kami tidak bisa dibekali hal yang sama ya Om?. Guru kami pintar kok Om, kalau ada keterbatasan kan bisa disekolahkan dulu biar pintarnya sama seperti guru-guru yang ada di sekolah swasta.

Dan sekarang saat Virus sudah sedikit meluluhlantahkan harapan kami. Kami bingung Om.

Karena kami tidak seperti mereka yang harus terlihat mukanya di depan laptop. Yang walaupun sekolah online tapi jam tampil di Zoomnya telah ada sechedulenya.

Om tahu tidak, kalau selama kami diam di rumah ini loh Om yang terjadi pada kami, siswa sekolah yang kalau boleh kami sebut kami ada di tengah-tengah. Artinya sekolah online kami tidak di depan laptop tapi kami masih ada orang tua yang memiliki handphone, katanya ada juga yang pinjam handphone saudaranya agar tidak tertinggal berita dari sekolah.

Kami tidak belajar Om, tugas yang diberikan memang dikumpulkan tapi kami lebih banyak main daripada belajar, kan Bu Guru tidak tahu kami belajar atau tidak yang penting tugasnya kami kumpulkan.

Kami bingung saat ada tugas yang tidak kami pahami Om, Bapak dan Ibu kami tidak semuanya sekolah tinggi. Bukannya bantu kami malah habis kami dimarahi, katanya "Kamu itu sekolah apa tidak, begitu saja kamu tidak bisa. Sudah berhenti saja sekolahmu."

Ibu dan Bapak kami marah-marah Om, katanya uang belanja harus disisihkan untuk beli kuota. Tidak semua orang tua kami diam di rumah Om. Coba bayangkan kalau saja satu keluarga punya anaknya tiga. Semua harus kerjakan tugas dari handphone, lalu hanya satu handphone yang bisa digunakan.

Belum apa-apa, kami bertengkar soal dulu-duluan kerjakan tugasnya Om. Setelah itu biasanya Ibu yang berteriak "bisa diam tidak sih, sudah cepat kerjakan, sabar satu-satu dulu yang penting tugasnya selesai."

Itu kalau ibunya tidak bekerja. Kalau yang ibunya bekerja juga bagaimana ya Om?. Mereka mencatat tugas tunggu ibunya pulang dulu?.

Kemarin sempat saya lihat juga Om, teman-teman kami yang harus main ke rumah tetangga yang kebetulan sedikit berada dan ikhlas membagi wifinya. Jadi selain tidak ada handphone, ada juga yang punya handphone tapi tak bisa beli kuota atau ada juga yang sudah beli kuota malah tersedot begitu saja karena sinyal yang kurang bagus.

Hmm Om Nadiem. Apakah ini kebetulan saja ya Om?. Apakah hanya kami yang mengalaminya hingga menurut kami ini tidak adil?.

"Mad, kamu lagi apa?"
"Lagi tulis surat Pak."
"Buat siapa?"
"Buat Om Nadiem. Barangkali ada informasi dari daerah seperti kita yang tidak disampaikan pada Om Nadiem Pak."

"Teruskan kau bikin surat Mad. Setelah itu ajak teman-temanmu untuk belajar. Bapak sudah siapkan bangku di depan rumah kita. Alakadarnya nda papa ya Mad. Yang penting temanmu bisa belajar. Alhamdulillah Bapak bisa pasang wifi harga murah nih Mad."
"Wifi darimana Pak?. Pemerintah?. Bapak dapat jatah?"

"Berisik kamu Mad. Sudah ajak sana teman-temanmu."

Bapak memang hebat. Aku selesaikan suratku untuk Om Nadiem.

Selamat bekerja untuk Om Nadiem. Kami tahu Om Nadiem akan memberikan yang terbaik untuk kami. Bantu kami untuk pintar ya Om.

Terima Kasih
_Anak Indonesia_

#Bandung, 15 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun