Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Om Nadiem, Bantu Kami!

15 Agustus 2020   06:38 Diperbarui: 15 Agustus 2020   07:21 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mad, Bapak tahu kamu belum terlalu besar untuk ikut campur urusan Bapak. Tapi Bapak rasa sudah cukup untuk kamu mengenal hal lain selain dirimu sendiri."

Agak bingung dengan yang disampaikan Bapak, tapi kuperhatikan gerak-gerik Bapak yang tidak biasanya.

Matanya kosong menatap tumpukan koran bekas di depannya. Sepertinya obrolan semalam ada sangkut pautnya dengan tatapan kosong Bapak dan selembar kertas koran lusuh di tanganku.

"Kamu sudah tahu kapan kamu mulai belajar di sekolah Mad?"
"Belum Pak, nanti katanya Bu Guru akan sampaikan jadwalnya setelah dapat keputusan dari pemerintah. Katanya lagi untuk daerah yang Zona Kuning boleh tatap muka tapi katanya lagi harus ada persetujuan semua orang tua. Ah entahlah Pak, aku belajar sama Bapak saja. Kan Bapak lebih pintar dari Google."

"Bukan begitu Mad, Gurumu akan sampaikan lewat apa? Handphone? Email atau apa?. Sekolahmu ini sekolah inpres, bukannya katamu temanmu tidak semua punya HP?."
"Iya Pak, oiya ya Bu Guru sampaikan lewat apa?"

Aku sekolah di sekolah negeri. Sekolahku tidak pernah belajar online sebelumnya. Masih dengan menggunakan metode belajar seperti saat Bapak sekolah dulu kami menikmati setiap ilmu yang diberikan oleh Guru kami.

Kami dilarang membawa handphone ke sekolah, karena delapan puluh persen temanku tidak punya handphone. Kami tak pernah belajar lewat laptop, jangankan laptop, PC saja teman-temanku tidak tahu.

Aku sedikit beruntung karena walau kondisi seadanya Bapak selalu meberikan fasilitas yang aku butuhkan. Berjuang dari jam tiga shubuh lalu selesai sampai setelah isya membuatku bangga akan sosok Bapak.

"Mad, dulu Bapak pernah punya cita-cita ingin sekolahkan kamu di sekolah swasta termahal di Indonesia, biar kamu bisa jadi orang sukses."
"Loh Pak, memang kalau mau sukses harus sekolah di sekolah swasta ya Pak?"
"Oiya Mad, makin mahal makin bagus fasilitas untuk muridnya. Nanti kalau kamu sekolah di sekolah mahal, kamu belajar banyak hal yang tidak ada di Sekolah Inpres. Bahkan bahasamu nanti pakai Bahasa Inggris, atau ada juga sekarang yang dilengkapi Bahasa Mandarin"
"Sedih ya Pak, mau sekolah saja harus kaya dulu orang tuanya. Apa kabar teman-temanku yang ingin pintar ya Pak, jika mau sukses saja kami sudah tersisih dari awal."
"Itulah Mad, Bapak sendiri belum paham dengan sekolah mahal itu. Kenapa bisa sekarang daftar sekolah saja bisa sampai puluhan juta belum lagi SPP dan uang tahunan. Eh tapi Mad mereka itu memang beruntung, dalam kondisi saat ini saja katanya belajar mereka tak terganggu, online menggunakan laptop ditemani Bapak dan Ibu Gurunya."

Aku tersenyum.
Bapak ini bukan sedang bahagia tapi sedang meratapi. Saat di TV-TV diberitakan siswa belajar online di depan laptopnya, entah itu gunakan Zoom atau Google Meet atau menunggu tugas yang diberikan via Google Classroom.

Lalu setelah itu salah satu orangtuanya diwawancarai, katanya agak bingung harus ikut mengajarkan anaknya, tapi sangat terbantu dengan adanya tatap muka lewat Zoom ini. Gurunya tetap berikan tugas, dan mereka berkomunikasi seperti halnya tatap muka di sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun