Aku tak berhak atas apa-apa di dunia ini, tak berhak untuk menilai, untuk meminta atau bahkan untuk mengetahui yang terjadi di muka bumi saat ini.
Selembar koran bekas terbang kesana kemari, seolah memanggilku untuk membacanya. Kuluruskan kakiku, sedikit aku gerakkan lantas dengan gesit aku melompat lalu hap, kertas koran yang sudah agak lusuh berpindah ke tanganku.
Barisan kata yang dicetak tebal menganggu pikiranku, seorang ayah ditangkap polisi karena mencuri laptop.
Aku terbiasa menanggapi berita seperti ini, kata Bapak, Â Indonesia ini tingkat kriminalnya masih tinggi. Kalau saja tidak kuat iman mungkin Bapak sudah curi sana sini untuk kamu makan Mad, seloroh Bapak satu hari kemarin.
Kutatap liarnya matahari, awan berlari membiarkan dia untuk sinari bumi atau lebih tepatnya panasi bumi. Tak lama awan kembali, saling berpegangan lalu membentuk bulatan dan diakhiri dengan senyuman sinis sedikit mengejek.
Aku percaya pada Bapak, walau hanya seorang pengepul rongsokan tapi Bapak ini seorang sarjana. Bapak terpaksa seperti ini karena tidak tersisa lowongan pekerjaan buat Bapak.
Bapak ini pintar, aku saja kadang sering tidak bisa jawab pertanyaan Bapak.
"Mad, kamu tahu tidak Indonesia sekarang punya berapa provinsisb?"
"Tiga puluh ya Pak?"
"Lah kok balik tanya, kan Bapak tunggu jawaban dari kamu?"
"Bapak tanya atau cuma tes aku saja Pak?"
"Haha, iya iya Bapak test kamu. Kamu baca buku tahun berapa sih Mad, kok Indonesia masih 30 provinsi?"
"34 Pak Supardi, aku tahu. Masa punya Bapak pintar aku tak bisa menyaingi."
Bapak menghapus peluh di pelipisnya. Kami hanya tinggal berdua. Sejak Bapak kehilangan pekerjaan sebagai Kepala Bagian di sebuah perusahaan yang gulung tikar, lalu Bapak banting stir bergelut dengan rongsokan, Ibu memilih untuk meninggalkan kami.
Bapak dengan segala usahanya bisa menjaga dan membesarkan aku dengan baik.
"Bapak kok seperti kebingungan begitu sih Pak?"
"Mad, tolong kamu cek buku keuangan Bapak!"
"Mau apa toh Pak?"