“Satria….” Rindu akhirnya menyerah. Ia duduk bersimpuh di depan pagar. Ajakan Susan untuk pulang saja tak dihiraukannya.
“Ayolah, Rin. Mungkin mereka tak ada di rumah.” bujuk Susan
Tiba-tiba pintu gerbang dibuka. Pak Atmo, pembantu keluarga Satria keluar sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Rindu. Dengan tergopoh-gopoh dibukanya amplop surat tersebut.
Anakku Rindu, saat ini kami tidak berada di rumah. Dia tak mau seorangpun menjumpainya saat ini, termasuk bertemu denganmu. Maafkan keadaannya, kami juga belum tahu bagaimana nantinya. Saat ini kami sedang mengupayakan keberangkatan Satria ke RS Fuda Guangzhou China. Sekali lagi, maaf dan mohon pengertianmu.
Mama
Demikian, selembar surat merupakan satu-satunya jawaban yang didapatnya pagi ini dari mama Satria. Dengan lunglai akhirnya mereka berempat meninggalkan rumah Satria dengan berjuta perasaan gamang.
***
Semua nama sudah tercatat, tak ada yang tertinggal. Hanya tinggal disebar. Sebelum berangkat Rindu harus menuntaskan pekerjaannya ini. Ya, Rindu membuat surat permohonan maaf kepada semua undangan, keluarga, sahabat, kolega, dan teman-temannya semua, bahwa pesta pernikahannya denga Panji batal karena sesuatu hal, demikian isi pesan permohonan maaf itu.
Saat ini ada yang lebih penting dan mendesak dibandingkan hari pernikahannya yang kurang enam hari ke depan. Alangkah egoisnya ia jika tetap memaksakan pesta pernikahannya sementara Satria, teman setianya. Orang yang dulu ingin menikahinya sedang sekarat berjuang melawan kanker. Ada rasa sesal di dadanya yang teramat sangat menyesakkan. Jika saja Satria sejak awal jujur padanya, mengatakan apa adanya, tentu takkan ada petualangan cintanya, mencari calon mempelai pengganti dirinya. Satria…
***
Suhu udara dingin di Guangzhou sekitar 15°C, namun dalam ruangan Rumah Sakit Fuda tetap terasa hangat, mungkin karena pengatur suhu ruangan. Rindu tak sabar ingin menemui Satria yang tergolek lemah di bawah pemeriksaan dr. Ceng. Ingin rasanya ia menerobos masuk ruangan IRD tersebut, meraih tangan yang terkulai lemah itu. Panji yang selalu setia menemani Rindu kemanapun pergi tidak dapat berbuat banyak, jika Rindu sudah seperti ini menasehatinyapun takkan berguna. Ia hanya bisa memandang calon istrinya itu mondar-mandir resah. Sesekali disandingnya Rindu di sebelahnya sambil mengusap punggung tangan Rindu yang dingin, serasa ingin terus memberi energi baru yang akan banyak dibutuhkan Rindu.