Mohon tunggu...
Sri Budiarti
Sri Budiarti Mohon Tunggu... Guru - Sesekali saya suka menulis meski dengan kemampuan yang terbatas.

A Drop of ink can move a million people to think

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu: Dua Minggu Mencari Cinta – Tamat – Versi Sri Budiarti

17 Agustus 2010   17:25 Diperbarui: 7 September 2017   02:05 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_217202" align="alignleft" width="222" caption="Ilustrasi oleh Azam Raharjo: "Color Sketch of A Redhead""][/caption]
 

Hujan tidak terlalu deras, hanya rintik kecil saja. Membasahi beberapa sudut jalanan ibukota, suasana malam yang sebenarnya sayang sekali untuk dilewatkan. Tapi tak urung, Satria malah melarikan mobilnya sangat kencang menuju puncak. Menerobos udara dingin puncak yang sedingin hatinya. Diagnosis dokter pada dirinya terasa sangat tiba-tiba dan sangat mengguncang jiwa. Resepsi pernikahan yang sudah di ambang pintu, seharusnya membiaskan kebahagian di hatinya, tapi vonis itu…Tidak menghiraukan suara hati, apalagi pengharapan, Sartria berlari.. mengejar sesuatu atau malah menanggalkan semuanya. Pancaran matanya datar.

Satria menyadari, mungkin karena tuntutan pekerjaan yang padat dan persiapan menjelang pernikahan telah menguras banyak energinya, sampai akhirnya Satria melupakan kondisi kesehatannya. Akhir-akhir ini ia memang sering merasakan nyeri kepala hebat namun segera diantisipasinya dengan minum obat pereda nyeri. Berat badannya tak terasa turun 3 kilogram kurang dari sebulan ini, hal yang masih dianggapnya wajar karena memang nafsu makannya agak berkurang akhir-akhir ini, dan batuk yang dideritanya hampir sebulan lalu anggapannya karena sekarang memang lagi musim influenza. Tapi kanker paru? Dengan tahap stadium akhir? Setelah dokter menyampaikan padanya, telah menguras banyak fikiran dan energinya.

***

Satria baru tersadar saat menatap cermin, di hadapannya tampak seraut wajahnya yang lesi, layu, dan kehilangan sorot mata elanngnya. Tuhan, cobaan apa yang Kauberikan pada hambaMu ini? Apakah Kau meragukan kepatuhanku padaMu, hingga Kau murka? Ataukah Kau sangat menyayangiku hingga Kau tak ingin kugenggam dunia? Mereguk kebahagiaan bersamanya, kekasih hatiku. Aku telah meluluh lantakkan sebuah harapan untuk hidup damai bahagia bersamaku. Aku telah membuat keluarga besarku juga keluarga besar Rindu kecewa atas semua ini. Aku terpaksa memutuskan ikatan keluarga dengan Rindu. Memupuskan harapan mereka, dengan menggagalkan pernikahan kami. Aku tak memberi alasan apapun, biar saja Rindu dan keluarganya marah dan membenci dirinya, sebenci- bencinya.

Praaaannnngggg……!!! Suara pecahan cermin yang ditinjunya membahana di ruangan itu, sebuah pondok yang dibelinya dua tahun silam. Tak kuasa Satria menatap wajahnya lagi. Tak satu pesanpun ia tangkap atas semua peristiwa ini, dalam benaknya hanya ada satu kemungkinan, pemakaman. Seketika Satria baru terdasar, mamanya di rumah pasti terpukul, apalagi baru disadarinya bahwa hasil foto X-Raynya teringgal begitu saja di ranjang kamarnya.

“Hallo, Satria? dimana kau, nak?” suara mama terdengar serak beberapa saat setelah Satria menghubunginya, ada nada sangat khawatir.

“Ma, aku baik-baik saja. Maaf ma, Satria tidak menyampaikan hal ini pada mama. Setelah diam sejenak untuk menyembunyikan rasa pilu ia melanjutkan, …Satria juga baru tahu sebulan yang lalu, ma…dan sekarangpun mama sudah tahu.”

“Satria, katakan pada mama dimana kau sekarang! Jangan membuat mama khawatir…” kelembutan dan kerendahan suara mama sedikit memberi semangat Satria. “Asal mama janji tidak akan mengatakan pada siapapun keberadaanku? Juga kepada Rindu?” Terdengar nada suara Satria memohon.

“Kamulah yang terpenting dalam hidup mama, nak.”

“Aku di puncak, ma. Jika mama kesini ajaklah Nunik saja.” Nunik adalah kakak sepupu Satria yang tinggal serumah di Jakarta.

“Iya, mama berangkat sekarang juga. Kamu baik-baik saja kan?”

“Iya, ma.” Lemah saja suara itu mengakhiri pembicaraan.

***

Sementara Rindu yang kalut setelah mendapat telpon mama Satria, malam itu segera berpacu dengan waktu menuju ke Jakarta. Susan dan George masih setia menemaninya. Juga ada Panji di sampingnya sedikit banyak membantu beban pikirannya. Penyesalan. Ya, hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Rindu.

"Aku sibuk mengurusi diriku, sibuk diperbudak egoku, dan melupakan Satria. Rindu berkata sambil matanya berkaca-kaca. ...Demi Allah! Perempuan macam apakah diriku ini?" Rindu mengungkapkan isi hatinya.

“Sudahlah, Ndu. Apa mau dikata? Yang penting tenangkan dulu dirimu.” Susan berusaha menasehatinya. George suami Susan ikut gelisah, ia berkali- kali meneguk air mineral dan sesekali menawari istrinya.

“Mengapa Satria memperlakukanku begini, Sus?”

“Mengapa ia tidak terus terang kepadaku? Ia menyembunyikan hal sebesar ini dariku??? Oh....Rindu merasa bersalah. Hilang harapan. Semua terasa pahit…bahkan wajah Panji di hadapannya, terlihat seperti makhluk asing yang tiba-tiba datang dalam hidupnya dan mengambil bagian dalam petualangan gilanya. Mobil melesat kencang menuju Ngurah Rai, berharap ada pesawat yang bisa membawanya ke Jakarta malam ini juga.

***

Pagi, pukul 06.55 Wib. Rumah itu tampak lengang. Rindu sudah berulang kali menekan bel pintu, tapi tak ada seorangpun yang keluar. Pintu pagar terkunci rapat.

“Satria…Satria…!!! Ini aku Mas…” teriak Rindu sambil beberapa kali menghubungi telpon rumah dan HP Satria, tidak satupun yang mengangkat telepon. Pagar digedor-gedor keras. Tak ada yang keluar.

“Satria….” Rindu akhirnya menyerah. Ia duduk bersimpuh di depan pagar. Ajakan Susan untuk pulang saja tak dihiraukannya.

“Ayolah, Rin. Mungkin mereka tak ada di rumah.” bujuk Susan

Tiba-tiba pintu gerbang dibuka. Pak Atmo, pembantu keluarga Satria keluar sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Rindu. Dengan tergopoh-gopoh dibukanya amplop surat tersebut.

Anakku Rindu, saat ini kami tidak berada di rumah. Dia tak mau seorangpun menjumpainya saat ini, termasuk bertemu denganmu. Maafkan keadaannya, kami juga belum tahu bagaimana nantinya. Saat ini kami sedang mengupayakan keberangkatan Satria ke RS Fuda Guangzhou China. Sekali lagi, maaf dan mohon pengertianmu.

Mama

Demikian, selembar surat merupakan satu-satunya jawaban yang didapatnya pagi ini dari mama Satria. Dengan lunglai akhirnya mereka berempat meninggalkan rumah Satria dengan berjuta perasaan gamang.

***

Semua nama sudah tercatat, tak ada yang tertinggal. Hanya tinggal disebar. Sebelum berangkat Rindu harus menuntaskan pekerjaannya ini. Ya, Rindu membuat surat permohonan maaf kepada semua undangan, keluarga, sahabat, kolega, dan teman-temannya semua, bahwa pesta pernikahannya denga Panji batal karena sesuatu hal, demikian isi pesan permohonan maaf itu.

Saat ini ada yang lebih penting dan mendesak dibandingkan hari pernikahannya yang kurang enam hari ke depan. Alangkah egoisnya ia jika tetap memaksakan pesta pernikahannya sementara Satria, teman setianya. Orang yang dulu ingin menikahinya sedang sekarat berjuang melawan kanker. Ada rasa sesal di dadanya yang teramat sangat menyesakkan. Jika saja Satria sejak awal jujur padanya, mengatakan apa adanya, tentu takkan ada petualangan cintanya, mencari calon mempelai pengganti dirinya. Satria…

***

Suhu udara dingin di Guangzhou sekitar 15°C, namun dalam ruangan Rumah Sakit Fuda tetap terasa hangat, mungkin karena pengatur suhu ruangan. Rindu tak sabar ingin menemui Satria yang tergolek lemah di bawah pemeriksaan dr. Ceng. Ingin rasanya ia menerobos masuk ruangan IRD tersebut, meraih tangan yang terkulai lemah itu. Panji yang selalu setia menemani Rindu kemanapun pergi tidak dapat berbuat banyak, jika Rindu sudah seperti ini menasehatinyapun takkan berguna. Ia hanya bisa memandang calon istrinya itu mondar-mandir resah. Sesekali disandingnya Rindu di sebelahnya sambil mengusap punggung tangan Rindu yang dingin, serasa ingin terus memberi energi baru yang akan banyak dibutuhkan Rindu.

“Tenanglah, say….kita doakan saja ya?”

Tidak ada jawaban atau anggukan sekalipun. Panji sadar, ia menerima semua perlakuan Rindu padanya bahkan tak ada sedikitpun tatapan mata yang hangat untuknya. Dan akhirnya Panji menyadari bahwa Rindu bersedia menikah dengannya hanya karena terobsesi tuntutan keluarga. Rindu ingin menjungkirbalikkan anggapan semua orang kalau dirinya pasti shock pasca putus dengan satria. Rindu merasa tidak memiliki kekurangan apapun. Ia cantik, mapan, smart, dan berasal dari keluarga baik- baik. Dia bisa mencari pasangan dengan cepat. Bahkan gilanya, tantangan om Sony--adek lelaki mamanya yang berada di Amerika—apabila Rindu bisa menikah dalam waktu dekat, Om Sony memberinya US$111.111 in cash.

“Gimana, Ndu? Terima tantangan atau tidak?”

“Alahhh, om... cuman segitu? Bagaimana jika aku berhasil?”

“Jadi kau deal?”

“Of course, om!!” seringai Rindu pada om Sony waktu itu.

Pintu terbuka, begitu dr. Ceng yang menangani kesembuhan Satria keluar ruangan mereka bergegas menghampirinya.

“We are very sorry, mam. We have to take out one of his lungs. The right one, exactly.” kepada Mama Satria dokter menjelaskan kondisi kritis Satria.

“Oh, my God …. No! Is there any other choice, doctor?” ibu yang telah memasuki usia senja itu tak dapat menyembunyikan rasa cemas, pada ucapannya. “No. This is the only choice. If it isn’t done, the cancer will spread to his ribs.” Tandas dokter yang tampak lebih muda dari Satria atau Panji itu.

“Alright, if it must be. Do the best for him, doctor. Please ….” pinta mama. “Sure, Mam. We will do our best. Pray for us.”

“Thank you, doctor.” Aku dan mama bersamaan menimpali.

“You’re welcome. see you...”

“Thank you, doc.” Tampak Panjipun turut menyambut harapan itu pada ucapannya

Begitu dokter muda itu berlalu Rindu tak sanggup menyembunyikan tangisnya. “Oh, tidak... Satria…jangan…huhuhu…ma, Satria, ma…huhuhu…huhu…” tangisnya bertambah kencang.

Rindu merasa justru paru-parunyalah yang telah teramputasi saat ini, Rindu lunglai tak kuasa menahan berat tubuhnya sendiri. Panji dengan sigap segera meraihnya, dibopongnya tubuh Rindu, dan para susterpun berlarian ikut membantu yang lantas membawanya ke satu ruangan perawatan.

***

Hari ini sebulan lalu, mestinya gaun pengantin putih gading itu sudah melekat di tubuhnya, beberapa buket bunga pengantin mestinya telah terpajang di berbagai sudut pelataran gedung resepsi, dan seorang suami mestinya telah berada di sampingnya.

Rindu menyendiri di beranda rumahnya. Air mata yang kerap menetes dengan sigap diusap, dan diusapnya kembali dengan segera. Perjalanan hidup…kadang kita sendiri tak pernah tahu berada di mana dan akan berujung dimana. Awal-awalnya semua tampak begitu mudah, tiba-tiba saja saat ini semua sirna. Satria yang senantiasa mendampinginya tiba-tiba pergi meninggalkannya, Panji yang lama menghilang tiba-tiba muncul dan bersikap sangat setia serta penuh perhatian, juga dirinya yang pongah dan merasa perkasa tiba-tiba terseret arus, terombang-ambing tak tentu arah di permainkan gelombang kehidupan. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

“Kita berangkat?”

Rindu mengangguk. Diraihnya kerudung hitam di sampingnya dan dibalutkan sekenanya menutupi rambut pirangnya. Di balik kacamata hitam lebar ia berusaha menyembunyikan matanya yang sembam. Rindu memberi sebuah senyum tipis kepada Panji. Diambilnya rangkaian mawar putih yang dibawakan Panji untuknya, sebagai tanda kasih dan penghormatan terakhir kali untuk orang yang sangat dicintainya, almarhum Satria Wijanarko, S.E, MM.

Satria pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya subuh kemarin. Bersama, mereka melangkahkan kaki menuju tempat dimana manusia berawal dan dimana manusia akhirnya kembali ke haribaanNya, di tanahNya. Tangan Rindu meraih lengan Panji, menggayutkan kedua tangannya yang lemah, mencari energi yang sudah tidak ia miliki pada lelaki yang akhirnya datang kembali dalam hidupnya setelah seseorang yang awalnya ia inginkan untuk tinggal di sisinya ternyata malah pergi untuk selamanya. Aku berharap, Panji adalah lelaki terbaik yang Allah kirim untukku. Pernikahan laksana perjalanan menuju Jannah Ilahi. Namun seiring waktu, pernikahan terkadang berada pada jalur yang salah, karena banyaknya rintangan dalam perjalanan. Batalnya pernikahan, kanker, taruhan, sampai kembalinya seseorang dan menukarnya dengan yang lain...adalah kerikil- kerikil di jalan yang adakalanya membuat kaki kami tersandung menuju takdirNya. Meski harus berdarah- darah.

Jikalau manusia bisa sendirian saja di muka bumi ini,

tanpa memerlukan orang lain sebagai pasangan hidup..

tak perlu seseorang untuk menguatkan langkah-langkah kakinya,

mengembalikan  sorot mata ceria yang 'tlah terenggut,

dan mewarnai kembali rona wajah sayu yang bisu.

Nestapa, kadang demikian dasyatnya.

Tak perlu menuntut sebuah garansi

atas punahnya sebuah harapan

dan juga sebentuk cinta

karena

ternyata  waktu

senantiasa berdamai untuk menyembuhkan semua luka (Cici).

TAMAT

_________________________________


** Tak ada kepastian dalam hidup ini, segala sesuatu bisa saja terjadi. Tidak ada penjelasan pasti bagaimana masa depan Rindu selanjutnya. Waktu yang akan membawa, dan dengan iringan musik country Suzy Boguss "Somewhere Between" pembaca saja yang menggiringnya ya. He..he…

Catatan: Kami memutuskan, masing-masing penulis Rindu: Dua Minggu Mencari Cinta, menulis ending kisah Rindu lewat versi masing-masing penulis. Karena itu akan ada 19 versi endings untuk Rindu. Pembaca dapat memilih ending mana yang paling sesuai dengan seleranya.

Ucapan Terimakasih kepada :

1. Kompasiana, yang telah menyediakan saya fasilitas yang nyaman  "Rumah Sehat" ini untuk belajar menulis.

2. G, yang mengaspirasi cerita ini dan mengikat erat tali persahabatan anggota kompasiana dalam gerbong cerita keroyokan Rindu : Dua Minggu Mencari Cinta, after this so what?

3. Endah Raharjo, yang turut mengispirasi cerita keroyokan ini (dan menggandeng tanganku untuk ikut serta) makasih Mbakyu dan Gambar Ilustrasi Rindunya indah mbak…

4. 18 Penulis Kisah Rindu lainnya, termasuk Bahagia Arbi satu-satunya cowok yang pernah saya dzalimi, he…hemaaf, Bang!

5. Bapak David Solafide, atas bantuan translated Bahasa Inggrisnya di beberapa scane kisah ini (maklum bahasa inggris saya dudul banget), setelah ini saya akan belajar, pak.

6. Bapak Wislan Arif, yang terus-menerus memberikan motivasi saya untuk tetap menulis, trims Pak Wislan atas komentar,apresiasi, kritik, dan sering kali menyemangati saat rasa malas saya untuk menulis  kumat.

7.Bapak Michael Gunadi Widjaya, yang telah menciptakan sound track untuk Rindu : Dua Minggu Mencari Cinta, nuansa saxephonnya mantap dan indaahhhh sekali, Pak Gun. 

8. Semua pembaca yang mengikuti kisah ini runtut mulai dari awal hingga akhir, thanks atas apresiasi dan antusiasmenya pada kisah Rindu : Dua Minggu Mencari Cinta.

Episode-episode sebelumnya dapat dilihat di sini: Rindu: Dua Minggu Mencari Cinta #1 s/d #20

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun