Mohon tunggu...
Christopher Lebdo Kusumo
Christopher Lebdo Kusumo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seminaris Medan Tamtama 112

Lahir dan besar di Bandung, kemudian pergi ke Mertoyudan untuk menangikuti-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bintang Paling Terang

23 Maret 2024   09:39 Diperbarui: 23 Maret 2024   09:47 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, langit diselimuti bintang-bintang yang berkelap-kelip, seakan berlomba-lomba menunjukkan siapa yang paling terang diantara mereka bahkan melawan cahaya remang-remang lampu kuning yang menggantung sekitar satu  meter diatas kepalaku. Aku duduk di rooftop SMA yang jika malam berubah seperti layaknya co-working space, memandangi bintang-bintang sementara udara sejuk yang sesekali menabrak badanku terasa sangat sejuk menembus kaus hitam yang baru kupakai lima menit lalu setelah kausku yang sebelumnya kugunakan dibasahi keringat semangatku. Bagiku, suasana ini paling menyenangkan bagiku, menikmati hobi sekaligus pekerjaanku mengedit foto-foto yang baru saja diambil dari acara valentine tadi sembari mendengarkan lagu-lagu yang diputar lewat pengeras suara.

Belum lama aku mengedit tiba-tiba lagu "When she loved me" terdengar dengan lembut. Suasana ini mengingatkanku pada sesuatu, lebih tepatnya seseorang.

Malam itu, aku baru selesai mengikuti acara valentine di gereja. Jam tanganku menunjukkan pukul 20:18 ketika aku membuka pintu rooftop di lantai 4 bangunan SMA itu. Aku menaruh tas laptop dan kameraku, duduk di sebuah bean bag di salah satu sudut rooftop, posisi ternyaman dan terindah dimana aku bisa melihat gemerlap bintang, menara-menara kantor di pusat kota sana, dan menikmati angin yang berhembus. Setelah mendapat posisi yang nyaman, aku meraih kedua tas yang ada di bean bag sebelah kiriku, mengeluarkan laptop dan kamera, menaruh laptop di pangkuanku dan menyalakannya. 

Belum lama sejak aku mulai membuka aplikasi editing dan mulai bekerja dengan foto-foto acara valentine orang muda di gereja yang baru saja selesai, terdengar suara pintu terbuka. Dari balik pintu itu terlihat seorang perempuan yang tingginya tidak jauh berbeda denganku, mengenakan kacamata bulat dengan frame tipis berwarna bening, rambut panjang yang diikat, mengenakan kaus putih dan celana panjang hitam dan sepatu sekolah yang tampak bersih, sangat cocok dengan dirinya yang bermuka bulat dengan pipi chubby dan tak terlalu tinggi.

Mukanya tidak asing bagiku, tapi aku tidak tahu dimana kita bertemu, atau yang seharusnya dipertanyakan adalah apakah kita pernah bertemu?  Perempuan itu mendekatiku dan dengan suara lembutnya bertanya:

 "misi kak, aku bisa ikut duduk disini?" 

"ohh, iya, boleh-boleh." Balasku sementara aku menepuk bean bag yang ada di sebelahku, sebuah reflek untuk mempersilahkan seseorang (biasanya sih, temanku) sambil sedikit menariknya mendekat ke arahku. "Kapan lagi coba, asik-asik kerja, pemandangan cantik, suasana enak, eh, tiba-tiba ada cewe mau duduk di sebelahku, cantik lagi, padahal di sudut lain masih ada tempat duduk kosong."

"Cilla." Ucapnya beberapa detik setelah ia duduk di sebelahku.

"Bimo" balasku yang sedikit terkejut karena tiba-tiba ia menyebut namanya tanpa pendahuluan apapun, jauh berbeda dengan kebanyakan perempuan yang kutemui dalam 16 tahun kehidupanku di bumi ini. 

"Haha, cowok pemberani ya kak?" ujarnya dengan nada bicaranya sambil tertawa kecil, membuatku makin tertarik padanya.

"Ya, gitulah harapan bapak." Jawabku yang terbawa suasana, aku lupa kami baru beberapa saat bertemu.  Aku tersenyum kecil padanya dan dia tertawa kecil, sepertinya kami langsung srek ketika pertama bertemu.

Ketika aku melanjutkan editing foto, dia membuka laptop miliknya dan membuka PowerPoint, dari slide pertamanya aku mengetahui bahwa dia ternyata satu angkatan dan jarak sekolah kami tidak begitu jauh. Berbekal rasa penasaran dan minimnya rasa malu yang ada dalam diriku, aku bertanya padanya, "lho, kamu anak X-3 ternyata?"

Dengan ekspresi kagetnya Cilla menoleh kepadaku, rasa kaget dan bingung sangat terlihat dari matanya. Dia terdiam sejenak lalu menjawab "eh, iya, kak- kakak? Kelas berapa?" tanyanya dengan penuh kebingungan.

"X-C, gak usah panggil kak" balasku.

"hehe, iya, Bim."

Maklum saja meski ini memasuki bulan ke delapan kami di SMA tapi hanya sedikit acara yang melibatkan satu angkatan, ditambah ada tujuh kelas yang masing-masing berisi tiga puluh lebih murid. Meski begitu rooftop sekolah kami ini kadang menjadi tempat bertukar kisah dan berbincang, mulai dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas, jika memang saatnya banyak tugas. Jika hari-hari biasa seperti ini, biasanya sepi, hanya aku sendirian ditemani jutaan bintang di langit dan lagu yang diputar dari playlist-ku sendiri. 

Aku melanjutkan memandangi bintang yang berkelap-kelip, sampai lupa aku perlu meng-edit foto acara valentine, pikiranku melayang tinggi entah kemana seperti balon yang lepas dari genggaman seorang anak dan mataku terasa semakin berat setelah memandangi indahnya bintang di langit dalam kedamaian dan kesendirian.

"HUUU, FOTO CEWEK CANTIK TUH DI EDIT DIKIT, MALAH TIDUR" ucap Cilla yang tiba-tiba datang tanpa jejak kaki, menarik telinga kiriku hingga aku gagal tidur. Bayangan membahagiakan itu tiba-tiba hilang karena realita datang. 

"Cewek cantik" yang dia maksud adalah dirinya sendiri, yang fotonya hendak ku-edit beberapa menit lalu sebelum aku diserang rasa kantuk. Dia memang terlihat sangat cantik saat acara valentine tadi, jauh berbeda dengan Cilla yang pertama kutemui di tempat ini, setelah acara yang sama, tiga tahun lalu. 

"Aku punya feeling ada spesies pecinta fotografi yang barusan selesai mengerjakan pekerjaannya, mencari foto-foto perempuan cantik dan memotretnya diam-diam dengan alasan tim dokumentasi."

"Heh! Engga juga ya!" ucapku dengan telinga yang merah setelah ditarik oleh Cilla.

"Eits, 'engga juga' berarti ada benernya dong?" ucap Cilla dengan nada yang sedikit meledekku, dengan senyum tipisnya yang amat manis.

"Kan, cuma kamu yang aku foto diem-diem, sisanya nyadar semua, cupu sih kamu, sudah tiga tahun kena jepret lensa kameraku ga kapok-kapok." Aku balik meledek.

"nyenyenye, suka-suka dah." Ucap Cilla dengan muka kesalnya yang membuatnya semakin menggemaskan.

Dia kemudian mengeluarkan laptop dari tasnya, membuka aplikasi PowerPoint di laptopnya. Kemudian ketika aplikasi itu masih loading bola matanya yang hitam mengkilap melirik ke arahku, seperti memberi sebuah isyarat.

"Materi apa?" ucapku yang tahu dia hendak mengerjakan presentasi untuk tugasnya. Dia memang seringkali datang padaku meminta bantuan untuk mengerjakan tugas Agama, IPS dan beberapa pelajaran lainnya. Maklum, aku cukup baik dalam pelajaran-pelajaran itu. Tapi, jika ditanya soal pelajaran matematika dan fisika, itu bagian Cilla mengajarkanku sampai mukanya memerah dan emosinya mulai tidak tertolong. 

"Sakramen Pernikahan." Jawabnya singkat.

"OKE, YOK. KUAJARI CARANYA NIKAH" Ucapku dengan penuh semangat. 

Kami kemudian berbincang-bincang, mengerjakan tugas itu sambil membahas bagaimana masing-masing dari kami menjadi seorang bapak atau ibu di keluarga, sesekali Cilla Nampak seperti memberi isyarat meminta kejelasan tentang hubungan kami yang setelah tiga tahun hanya sebagai sahabat. Bahkan teman-teman terdekatku cukup kesal karena Cilla tidak mau pacaran dengan mereka dan menyalahkanku, padahal aku hanya sahabatnya. Memang sesekali muncul perasaan tertarik pada Cilla yang sering bersama denganku, namun sepertinya hatiku tidak mendukungnya.

Tidak butuh waktu lama sampai Cilla menyelesaikan presentasinya. Dia kemudian mengangkat laptop dari pangkuannya dan menaruhnya di tasnya sambil berkata:

"Kayaknya istrimu beruntung banget ya punya suami yang open-minded dan punya pemikiran luas gini. Pasti kalo jadi suami alias bapak bisa jadi bapak paling baik yang kutau."

"Iya, kalau aku punya istri, kalau enggak?" candaku mencairkan suasana. Bola matanya kemudian mengeluarkan lirikan tajam kepadaku, membuatku sedikit tegang.

Dia kemudian menghela nafas panjang di sebelahku, mengambil posisi ternyaman di bean bag sebelahku. Belum sampai semenit matanya tertutup, tubuhnya makin miring ke arahku hingga akhirnya kepalanya mendarat di bahuku. Aku mematikan sebagian lampu kuning yang membawa suasana hangat di rooftop itu lewat aplikasi di ponselku, melepas ikat rambutnya dan kujadikan gelang di tangan kananku. Aku mengelus-elus rambut halusnya sambil mendengarkan suara nafasnya yang memang terdengar seperti orang kelelahan yang akhirnya tertidur sambil memandangi bintang-bintang yang mulai berusaha lebih terang dari lampu-lampu disana.

"Bim" ucap Cilla dengan suara lembutnya, ternyata dia hanya pura-pura tidur.

"Apa Cillaaa?" balasku dengan suara lembut ku juga, sepertinya sedang ada sesuatu yang membuatnya galau malam ini.

"Kenapa kamu suka banget ngelus-elus rambutku sambil liatin bintang." Tanyanya

"Gapapa, enak aja gitu rasanya. Kamu pernah bayangin, ga, kalo ada bintang jatuh dan kamu mau bikin permohonan.?" Ucapku entah mengapa

"Bintang, jatuh? Emang bisa? Gak sih, emang kenapa?"

"Ya pengen nanya aja." Balasku.

"Kenapa kamu pengen bintang jatuh? Kan, kalau bintang itu tetap disana, dia tetap bisa memberi cahayanya yang paling terang. Dia bisa jadi paling terang dari temen-temennya tapi kalau kamu pengen dia jatuh, justru dia ga bisa di atas lagi, ga bisa terang lagi, dan ga bisa kamu kagumi, meski cuma hilang satu, tapi bisa aja itu bikin perubahan." Jawabnya yang tiba-tiba menjadi filsuf.

Kami tenggelam dalam keheningan, kepala Cilla masih menghangatkan bahuku sementara aku juga menaruh kepalaku di kepalanya, seperti anak remaja yang pacaran, merenungi kaka-kata Cilla dan merefleksikan hidupku. 

Kali ini Cilla benar-benar tidur, dia betulan mendengkur dan beberapa menit kemudian ponselnya menyala karena sebuah pesan singkat dari ibunya:

"Kak, udah malem, pulang."

Aku kemudian membangunkan Cilla yang tertidur pulas di bahuku, "Ayo pulang, udah jam sepuluh, makin dingin." 

Kami kemudian turun, aku membukakan pintu mobil mempersilahkan Cilla masuk lalu aku duduk di kursi sopir mobil Volkswagen Beetle putih turunan dari kakekku, mengemudi sambil memutar radio. Mobil itu selalu menjadi mobil penuh cerita romantis dari kakek, ayahku, dan sekarang, bagaimana dengan ceritaku? Setidaknya sudah berkali-kali aku mengantar Cilla pulang dengan mobil ini. 

"Bim, abis lulus kamu mau kemana?" tanyanya penuh rasa penasaran memecah kesunyian. 

"Aku? Aku ngincer S2 filsafat, kamu?"

"Aku, boleh ngasih tau kamu sesuatu, ga?"

"Boleh." Balasku singkat 

"Jadi, aku dapat beasiswa kuliah ke Italia, dan... aku harus ninggalin kamu."

"Wih, keren juga, Cil. Gapapa kok, dengan kamu ke Italia berarti kamu nanti bisa jadi 'bintang yang paling terang' katamu."

"Tapi... Aku bakal rindu kamu."

"Aku? Tenang, suatu saat aku menyusulmu ke Italia, entah filsafat, entah teologi, itu biar Tuhan yang membukakan jalan, jangan takut."

Setelah perbincangan singkat itu, aku lanjut mengemudi dalam gerimis, sementara Cilla tertidur pulas, dengkurannya seakan-akan menggambarkan suasana hatinya yang sedang bimbang dan ragu akan pilihan dan keputusannya.

Kami akhirnya sampai di rumah Cilla, ibunya sudah menunggu, duduk di kursi dekat pintu depan rumah. Aku keluar membawa payung untuk memayungi Cilla masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya mengantarnya sampai ruang tamu, meski aku cukup dekat dengan keluarganya tapi aku tidak berani masuk lebih jauh ke dalam kehangatan rumahnya. 

Sudah enam tahun sejak Cilla pergi ke Italia, meski kami tidak pernah bertemu beberapa unggahannya dari media sosial menunjukkan indahnya dan megahnya universitas serta bangunan-bangunan tua di Italia dan sesekali ia pergi ke negeri tetangga. Setiap kali Cilla pulang ke Indonesia, aku ada kesibukan dan halangan lain. Kadang ada cara keluarga, kadang harus pergi keluar pulau, dan masih banyak alasan lain yang menjauhkan kami, bahkan ketika kami nyaris bertemu, selalu saja gagal. 

Akhir Februari kemarin, aku menyelesaikan tahun orientasi Pastoral. Ya, sebenarnya aku menjadi seorang calon imam diosesan Keuskupan Bandung. Setelah lulus SMA aku masuk ke tahun orientasi rohani selama setahun, kemudian S1 filsafat selama 4 tahun dan dua tahun orientasi Pastoral menjadi Frater (sebutan bagi calon imam) pembantu di Katedral. Setelah ini aku mendapat sebuah perutusan yang cukup sulit kupercaya. Kuliah teologi, memang itu adalah salah satu syarat pendidikan seorang calon imam, tetapi ada suatu hal yang spesial. Kuliah teologi, di Roma, Italia. Selama ini aku menyembunyikan dari Cilla bahwa aku menjadi seorang frater tapi keinginan untuk bertemu dengannya, dan janji untuk menghampirinya ke Italia adalah sebuah janji yang kupegang sebagai seorang laki-laki. 

Di bulan Juni ini, aku memulai petualanganku di negeri sepatu boot ini dengan belajar bahasa Italia, yang tak jarang cukup sulit. Di bulan September kuliah teologi pun dimulai, selama berbulan-bulan itu aku menyembunyikannya dari banyak orang, aku tidak mengunggah apapun di sosial media. Yang tahu hanya beberapa orang Bandung yang dipamiti, tentunya, untuk menyiapkan sesuatu untuk Cilla. 

Sejak perayaan natal di Vatikan aku mulai punya perasaan bahwa ada Cilla di sekitar sini, maklum dia juga kuliah di kota ini dan sering mengunggah beberapa foto, sementara aku tidak pernah.  Sebagai seorang calon imam yang tinggal di Roma tentunya tempat itu adalah wilayah  "kantor" yang kerap kali kami kunjungi, untuk bekerja atau untuk sekedar jalan-jalan bersama banyak pelajar asing dan beberapa frater dari Keuskupan lain di Indonesia. 

Di perayaan natal itu, ketika Roma dan Vatikan sedang dalam kemeriahan natal, aku membawa kamera kesayanganku, yang sudah hampir sepuluh tahun di genggamanku. Kamera penuh cerita yang kudapat beberapa bulan sebelum masuk SMA dan menjadi salah satu bagian hidupku yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Kamera itu selalu menjadi sumber banyaknya foto berkesan penuh cerita yang kuambil. 

Banyak wajah orang yang tertangkap kamera milikku, namun dari ribuan wajah itu ada satu wajah yang paling berbeda dari orang-orang Eropa yang tertangkap fotoku. Seorang wanita dengan kacamata bulat, rambut panjang yang diikat, bermuka bulat dengan pipi chubby yang tingginya lebih pendek dari kebanyakan orang disana. Tentu saja itu Cilla yang ikut perayaan natal itu. Aku memang tidak menyapanya, mungkin natal bukan saat yang tepat. Sebagai hadiah natal untuknya, aku mengunggah foto pohon natal di Basilika St.Petrus, dengan sudut yang sama seperti di foto unggahan Cilla.

Baru sepuluh menit aku tiba di asrama, mengedit foto ku, ponselku bergetar, layarnya hidup dan menunjukkan pesan;

Cilla: BIM, NGAPAIN DISINI?

Belajar. Balasku dalam pesan singkat itu

Cilla: IH, GA BILANG-BILANG

Bilang? Ngapain bilang kalau bisa langsung ketemu? Balasku sengaja memancing emosinya.

Cilla: OH BEGITU, OKE KETEMU AYO

Kita udah ketemu ya, kamu aja gak sadar. Kapan dan dimananya rahasia.

Cilla: Dasar Bimo ngeselin, aku cari kamu.

Maklum saja Cilla tidak menyadariku, disana aku biasanya menggunakan jubah hitam khas para frater, ditambah aku mengganti model kacamataku yang dulunya berbingkai kotak menjadi berbingkai bulat dan menggunakan rompi untuk menghangatkan badanku di musim dingin. Setelah perayaan natal itu, aku memang beberapa kali melihat Cilla tapi dia sendiri yang ingin mencariku, alhasil aku hanya diam saja. Hampir setiap acara besar aku menjadi fotografer, ya, hanya hobi bukan pekerjaan.

Ketika perayaan Valentine dua bulan kemudian, saat aku sedang mengedit foto-foto valentine di sebuah caf pinggir jalan, tiba-tiba terasa seperti ada seseorang di belakangku. Itu sudah biasa sebenarnya, kebanyakan dari mereka mengantri pesan minum. Aku mengabaikannya tapi dari pantulan layar laptop aku bisa tahu itu bukan orang yang mengantri, itu Cilla berusaha mengejutkanku yang sedang meng-edit fotonya.

"Nah, gitu dong, diedit." Ucap Cilla sambil mengacak-acak rambutku dari belakang.

"Akhirnya nemu juga dia." Balasku yang beberapa kali melihatnya di kota ini. 

Aku kemudian berdiri, Cilla memelukku sangat erat dan cukup lama. Semakin lama pelukannya makin kencang, sepertinya ia berusaha memindahkan sebagian tekanan hidupnya padaku. dia belum juga melepas pelukannya dan kemudian aku merasakan sesuatu yang hangat di membasahi kemeja hitamku. Sepertinya ia menangis, mungkin ia punya terlalu banyak cerita yang tak dapat diceritakan sehingga air matanya menggantikan kata-kata yang seharusnya keluar dari mulutnya. Setelah pelukan itu selesai itu kami berbincang-bincang tentang apa yang kami lakukan, ia menceritakan kuliahnya dan aku menceritakan kuliahku, bukan hidupku sebagai seorang calon imam. 

Semenjak itu kami sering bertemu untuk sekedar makan malam Bersama, berbincang Bersama, atau kadang hanya iseng bertemu, entah sengaja ataupun tidak sengaja. Sama seperti kami SMA, bedanya kali ini di ribuan kilometer dari rooftop tempat kami dulu bertukar cerita dan bukan lagi di rooftop melainkan sebuah caf di pusat kota. topik pembahasan kami berkembang, bukan lagi bagaimana masing-masing dari kami berkeluarga tapi jika kami berkeluarga. kerap kali yang menjadi masalah terbesarku adalah memilih jalan imamat yang tidak boleh menikah atau menikah dengan seorang perempuan yang menjadi bagian hidupku sejak lama. Setelah dua tahun aku disana, Cilla pamit pulang terlebih dahulu karena kuliahnya sudah selesai dan aku perlu menyelesaikan kuliah teologi..

"Bim, aku pulang duluan ya, semangat disini." Ucap Cilla yang sudah terlatih berpisah denganku setelah kami berpisah untuk pertama kalinya, delapan tahun lalu. "Siap, tunggu aku pulang dua tahun lagi." Balasku.

"Sebagai?" tanyanya.

"Ada deh, dua tahun lagi kamu tau." Jawabku singkat.

Sesuai janjiku pada Cilla, dua tahun setelah kami berpisah di Roma aku pulang ke Bandung pada akhir Maret. Hal pertama yang kulakukan adalah kembali ke Katedral, lalu kembali dengan kamar sekaligus ruang kerja lamaku di pastoran (tempat tinggal para imam di gereja) dan beberapa hal yang kurindukan. Ruanganku ada di lantai bawah, paling dekat dengan pintu masuk pastoran dan biasanya jendelaku selalu terbuka sehingga aku sering berinteraksi dengan anak-anak dari sekolah atau teman-teman muda yang datang. Kadang mereka main ke ruanganku, dan pintuku selalu terbuka, jadi memang banyak yang berinteraksi. 

Dari sekian banyak orang yang keluar-masuk untuk sekedar berbincang denganku, Cilla adalah yang paling sering datang. Hingga suatu sore, pak Maman, seorang pembantu disana sering bercanda. "Bim, nerima perempuan terus selama ini dalam rangka pemantapan perkaw- maksudnya panggilan nih, Bim?" tanya pak Maman yang sepertinya sedikit heran dan ragu apakah aku akan menikah dan meninggalkan hidup seorang calon imam. Mungkin banyak yang merasa seperti itu tapi hanya pak Maman yang bercerita.

"Iya Pak, memang banyak yang langganan datang." Kataku 

"Semangat ya Bim, sebentar lagi, kan?" Balasnya sembari melanjutkan mengepel lantai dan membersihkan pastoran. 

"Iya, Pak, makasih." jawabku.

Tanggal 27 Maret, di hari ulang tahun Cilla, gereja Katedral diwarnai hiasan yang megah dan meriah, menyambut calon pasangan pengantin. Acara pemberkatan perkawinan dilaksanakan di Katedral, hari itu aku dan dia sama-sama gugup menghadapi momen itu. 

Mo, gimana?" tanya Cilla yang menggunakan gaun putih di depan pintu Katedral, dilihat ratusan orang di dalam gedung gereja..

"Ya, gitu, kita harus jalan ke altar." Jawabku dengan penuh keyakinan sekaligus penuh rasa gugup.

Pemberkatan perkawinan pagi itu diwarnai tangis haru tidak dapat tertahan dari diri kami dan ratusan umat yang hadir di perayaan sekali seumur hidup ini. Sang imam dalam homilinya mengutip kata-kata seperti yang sering Cilla ucapkan:

"Biarkan seseorang menjadi bintang jauh diatas sana, yang bisa menjadi bintang paling terang dan paling indah diantara yang lainnya. Tapi ketika kamu mengharapkan bintang itu jatuh, bintang itu tidak lagi terlihat dan bersinar. Begitu juga dengan pasangan ini, saya tahu bagaimana mereka mengikuti arus hubungan mereka yang seringkali jatuh dalam masalah, egoisme, komunikasi dan lain-lainnya. Ketika mereka memutuskan berhenti mungkin itu hancur dan tidak terlihat layaknya bintang yang jatuh. Namun ketika mereka bertahan dan tetap berjalan bersama, mereka akhirnya dapat membangun keluarga yang mungkin lebih baik dibandingkan keluarga lain, menjadi keluarga terbaik diantara yang lain, layaknya bintang paling terang di langit..."

 "...Terimakasih Cilla sudah melepas saya menjadi seorang imam. Barangkali saat kita dulu studi di Roma kamu sering menarik saya dari jalan ini untuk menjadi pasanganmu dan tidak jarang saya juga tertarik ikut ke jalanmu, tapi inilah kita sekarang. Kamu akhirnya mengikhlaskan saya dan kita berjalan ke arah yang berbeda. Dengan cara inilah masing-masing dari kita bisa menjadi salah satu bintang yang terang dan kita masih harus berjuang mempertahankan terang itu, meski kadang meredup tapi terang itu harus kembali."Ketika perayaan itu selesai, setelah foto bersama aku memeluk dirinya

"Cil, kita gimana?" tanyaku dengan nada bercanda"Aku? Anastasia Priscilla, dokter spesialis anak kamu?

""Rm. Albertus Bimo, S.T. M.Fil, M.Hum" jawabku

"Nanti yang berkatin anakku kamu ya, sesuai janjimu dulu." "Iya, nanti aku yang baptis, kutunggu." jawabku 

Ya, pemantapan yang ditanyakan pak Maman itu adalah pemantapan pernikahannya. Panggilan "Bim" yang awalnya dari "Bimo" sekarang berubah jadi "Mo" alias "Romo" (sebutan bagi imam Katolik, diambil dari bahasa Jawa yang artinya: bapak) Sejak dia pulang dia bertemu seorang pria yang sudah ditakdirkan Tuhan baginya dan menjalin hubungan serius menyiapkan pernikahannya. Setelah aku menjadi imam, tugas pertamaku adalah menyiapkan dia dan calon suaminya untuk menikah, dan hari ini semua itu selesai. Volkswagen Beetle turunan itu masih aku gunakan. Bukan lagi untuk hal romantis, melainkan bepergian kesana-kemari membagikan cinta kepada umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun