Cilla: OH BEGITU, OKE KETEMU AYO
Kita udah ketemu ya, kamu aja gak sadar. Kapan dan dimananya rahasia.
Cilla: Dasar Bimo ngeselin, aku cari kamu.
Maklum saja Cilla tidak menyadariku, disana aku biasanya menggunakan jubah hitam khas para frater, ditambah aku mengganti model kacamataku yang dulunya berbingkai kotak menjadi berbingkai bulat dan menggunakan rompi untuk menghangatkan badanku di musim dingin. Setelah perayaan natal itu, aku memang beberapa kali melihat Cilla tapi dia sendiri yang ingin mencariku, alhasil aku hanya diam saja. Hampir setiap acara besar aku menjadi fotografer, ya, hanya hobi bukan pekerjaan.
Ketika perayaan Valentine dua bulan kemudian, saat aku sedang mengedit foto-foto valentine di sebuah caf pinggir jalan, tiba-tiba terasa seperti ada seseorang di belakangku. Itu sudah biasa sebenarnya, kebanyakan dari mereka mengantri pesan minum. Aku mengabaikannya tapi dari pantulan layar laptop aku bisa tahu itu bukan orang yang mengantri, itu Cilla berusaha mengejutkanku yang sedang meng-edit fotonya.
"Nah, gitu dong, diedit." Ucap Cilla sambil mengacak-acak rambutku dari belakang.
"Akhirnya nemu juga dia." Balasku yang beberapa kali melihatnya di kota ini.Â
Aku kemudian berdiri, Cilla memelukku sangat erat dan cukup lama. Semakin lama pelukannya makin kencang, sepertinya ia berusaha memindahkan sebagian tekanan hidupnya padaku. dia belum juga melepas pelukannya dan kemudian aku merasakan sesuatu yang hangat di membasahi kemeja hitamku. Sepertinya ia menangis, mungkin ia punya terlalu banyak cerita yang tak dapat diceritakan sehingga air matanya menggantikan kata-kata yang seharusnya keluar dari mulutnya. Setelah pelukan itu selesai itu kami berbincang-bincang tentang apa yang kami lakukan, ia menceritakan kuliahnya dan aku menceritakan kuliahku, bukan hidupku sebagai seorang calon imam.Â
Semenjak itu kami sering bertemu untuk sekedar makan malam Bersama, berbincang Bersama, atau kadang hanya iseng bertemu, entah sengaja ataupun tidak sengaja. Sama seperti kami SMA, bedanya kali ini di ribuan kilometer dari rooftop tempat kami dulu bertukar cerita dan bukan lagi di rooftop melainkan sebuah caf di pusat kota. topik pembahasan kami berkembang, bukan lagi bagaimana masing-masing dari kami berkeluarga tapi jika kami berkeluarga. kerap kali yang menjadi masalah terbesarku adalah memilih jalan imamat yang tidak boleh menikah atau menikah dengan seorang perempuan yang menjadi bagian hidupku sejak lama. Setelah dua tahun aku disana, Cilla pamit pulang terlebih dahulu karena kuliahnya sudah selesai dan aku perlu menyelesaikan kuliah teologi..
"Bim, aku pulang duluan ya, semangat disini." Ucap Cilla yang sudah terlatih berpisah denganku setelah kami berpisah untuk pertama kalinya, delapan tahun lalu. "Siap, tunggu aku pulang dua tahun lagi." Balasku.
"Sebagai?" tanyanya.