"Bim" ucap Cilla dengan suara lembutnya, ternyata dia hanya pura-pura tidur.
"Apa Cillaaa?" balasku dengan suara lembut ku juga, sepertinya sedang ada sesuatu yang membuatnya galau malam ini.
"Kenapa kamu suka banget ngelus-elus rambutku sambil liatin bintang." Tanyanya
"Gapapa, enak aja gitu rasanya. Kamu pernah bayangin, ga, kalo ada bintang jatuh dan kamu mau bikin permohonan.?" Ucapku entah mengapa
"Bintang, jatuh? Emang bisa? Gak sih, emang kenapa?"
"Ya pengen nanya aja." Balasku.
"Kenapa kamu pengen bintang jatuh? Kan, kalau bintang itu tetap disana, dia tetap bisa memberi cahayanya yang paling terang. Dia bisa jadi paling terang dari temen-temennya tapi kalau kamu pengen dia jatuh, justru dia ga bisa di atas lagi, ga bisa terang lagi, dan ga bisa kamu kagumi, meski cuma hilang satu, tapi bisa aja itu bikin perubahan." Jawabnya yang tiba-tiba menjadi filsuf.
Kami tenggelam dalam keheningan, kepala Cilla masih menghangatkan bahuku sementara aku juga menaruh kepalaku di kepalanya, seperti anak remaja yang pacaran, merenungi kaka-kata Cilla dan merefleksikan hidupku.Â
Kali ini Cilla benar-benar tidur, dia betulan mendengkur dan beberapa menit kemudian ponselnya menyala karena sebuah pesan singkat dari ibunya:
"Kak, udah malem, pulang."
Aku kemudian membangunkan Cilla yang tertidur pulas di bahuku, "Ayo pulang, udah jam sepuluh, makin dingin."Â