"Kan, cuma kamu yang aku foto diem-diem, sisanya nyadar semua, cupu sih kamu, sudah tiga tahun kena jepret lensa kameraku ga kapok-kapok." Aku balik meledek.
"nyenyenye, suka-suka dah." Ucap Cilla dengan muka kesalnya yang membuatnya semakin menggemaskan.
Dia kemudian mengeluarkan laptop dari tasnya, membuka aplikasi PowerPoint di laptopnya. Kemudian ketika aplikasi itu masih loading bola matanya yang hitam mengkilap melirik ke arahku, seperti memberi sebuah isyarat.
"Materi apa?" ucapku yang tahu dia hendak mengerjakan presentasi untuk tugasnya. Dia memang seringkali datang padaku meminta bantuan untuk mengerjakan tugas Agama, IPS dan beberapa pelajaran lainnya. Maklum, aku cukup baik dalam pelajaran-pelajaran itu. Tapi, jika ditanya soal pelajaran matematika dan fisika, itu bagian Cilla mengajarkanku sampai mukanya memerah dan emosinya mulai tidak tertolong.Â
"Sakramen Pernikahan." Jawabnya singkat.
"OKE, YOK. KUAJARI CARANYA NIKAH" Ucapku dengan penuh semangat.Â
Kami kemudian berbincang-bincang, mengerjakan tugas itu sambil membahas bagaimana masing-masing dari kami menjadi seorang bapak atau ibu di keluarga, sesekali Cilla Nampak seperti memberi isyarat meminta kejelasan tentang hubungan kami yang setelah tiga tahun hanya sebagai sahabat. Bahkan teman-teman terdekatku cukup kesal karena Cilla tidak mau pacaran dengan mereka dan menyalahkanku, padahal aku hanya sahabatnya. Memang sesekali muncul perasaan tertarik pada Cilla yang sering bersama denganku, namun sepertinya hatiku tidak mendukungnya.
Tidak butuh waktu lama sampai Cilla menyelesaikan presentasinya. Dia kemudian mengangkat laptop dari pangkuannya dan menaruhnya di tasnya sambil berkata:
"Kayaknya istrimu beruntung banget ya punya suami yang open-minded dan punya pemikiran luas gini. Pasti kalo jadi suami alias bapak bisa jadi bapak paling baik yang kutau."
"Iya, kalau aku punya istri, kalau enggak?" candaku mencairkan suasana. Bola matanya kemudian mengeluarkan lirikan tajam kepadaku, membuatku sedikit tegang.
Dia kemudian menghela nafas panjang di sebelahku, mengambil posisi ternyaman di bean bag sebelahku. Belum sampai semenit matanya tertutup, tubuhnya makin miring ke arahku hingga akhirnya kepalanya mendarat di bahuku. Aku mematikan sebagian lampu kuning yang membawa suasana hangat di rooftop itu lewat aplikasi di ponselku, melepas ikat rambutnya dan kujadikan gelang di tangan kananku. Aku mengelus-elus rambut halusnya sambil mendengarkan suara nafasnya yang memang terdengar seperti orang kelelahan yang akhirnya tertidur sambil memandangi bintang-bintang yang mulai berusaha lebih terang dari lampu-lampu disana.