Kami kemudian turun, aku membukakan pintu mobil mempersilahkan Cilla masuk lalu aku duduk di kursi sopir mobil Volkswagen Beetle putih turunan dari kakekku, mengemudi sambil memutar radio. Mobil itu selalu menjadi mobil penuh cerita romantis dari kakek, ayahku, dan sekarang, bagaimana dengan ceritaku? Setidaknya sudah berkali-kali aku mengantar Cilla pulang dengan mobil ini.Â
"Bim, abis lulus kamu mau kemana?" tanyanya penuh rasa penasaran memecah kesunyian.Â
"Aku? Aku ngincer S2 filsafat, kamu?"
"Aku, boleh ngasih tau kamu sesuatu, ga?"
"Boleh." Balasku singkatÂ
"Jadi, aku dapat beasiswa kuliah ke Italia, dan... aku harus ninggalin kamu."
"Wih, keren juga, Cil. Gapapa kok, dengan kamu ke Italia berarti kamu nanti bisa jadi 'bintang yang paling terang' katamu."
"Tapi... Aku bakal rindu kamu."
"Aku? Tenang, suatu saat aku menyusulmu ke Italia, entah filsafat, entah teologi, itu biar Tuhan yang membukakan jalan, jangan takut."
Setelah perbincangan singkat itu, aku lanjut mengemudi dalam gerimis, sementara Cilla tertidur pulas, dengkurannya seakan-akan menggambarkan suasana hatinya yang sedang bimbang dan ragu akan pilihan dan keputusannya.
Kami akhirnya sampai di rumah Cilla, ibunya sudah menunggu, duduk di kursi dekat pintu depan rumah. Aku keluar membawa payung untuk memayungi Cilla masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya mengantarnya sampai ruang tamu, meski aku cukup dekat dengan keluarganya tapi aku tidak berani masuk lebih jauh ke dalam kehangatan rumahnya.Â