Mohon tunggu...
Christine Gloriani
Christine Gloriani Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Pembaca yang belajar menulis

Pembaca yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Eksperimen Cinta 7, Malaria Tropika

7 Januari 2019   05:02 Diperbarui: 7 Januari 2019   05:05 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pixabay.com 

Aku memakan soto Elang. Suasana terasa sunyi. Fahmi juga tidak berkomentar. Rindu dan Hera saling berbisik-bisik. 

Aku cepat-cepat menyelesaikan makan lalu menyenggol bahu Hera. "Cabut, yuk."

Fahmi dan Elang juga mengikuti kami sedang Jesi masih duduk dengan muka kusut. Masa bodoh dengan mereka yang penting bisa jauh-jauh dari Jesi. Dari tadi senyumnya terlihat mengejek. 

Tanganku berpegangan pada dinding pembatas tangga. Tiba-tiba terasa pusing membuatku menghentikan langkah.

"Kamu kenapa?" tanya Fahmi.

"Mi, hari ini jadwalmu dan Hera untuk persiapan kan? Buruan." Elang mendorong bahu Fahmi hingga nyaris terjungkal.

"Eh, iya. Ayo, Mi." Hera menarik tangan Fahmi dan berlari menaiki tangga. Fahmi mengulurkan tangan ke belakang, tak rela meninggalkanku.

"Buruan. Jalan kaya siput." Elang mendahului naik tangga.

Aku mendongak, melihat langkah yang lain. Hera dan Fahmi sudah hampir sampai lantai tiga, Elang juga sudah di pertengahan antara lantai dua dan lantai tiga. Aku menunduk melihat anak tangga yang kuinjak, masih belum beranjak dari anak tangga pertama. Kucoba lawan rasa lemas dan pusing.

"Lok, buruan!" Elang sudah kembali berteriak membuat aku mau tak mau harus melangkah.

Keringat membasahi wajah saat akhirnya aku bisa sampai di lantai empat. Ini pertama kalinya aku merasa tersiksa karena naik tangga. Aku membersihkan wajah memakai tisu. Nggak mungkin dong ikut praktikum dalam kondisi yang kacau seperti ini.

"Masuk yuk, Lok." Ambar melingkarkan tangan di lengan dan menyeretku masuk.

"Lok, lenganmu kok panas begini." Ambar melepaskan tangan.

"Kamu sakit?" Fahmi mendekat, tangannya terulur hendak menyentuh dahiku tapi hanya menggantung di udara karena Elang sudah menarikku.

"Buruan duduk." 

Aku tidak yakin kalau hasil pretestku baik dan boleh ikut praktikum. Aku malah berharap dapat nilai jelek saja trus disuruh pulang. Kuletakkan kepala di meja praktikum setelah menggeser mikroskop mendekati lampu yang menjadi sumber cahaya.

Aku hampir tertidur saat merasakan tepukan di pundak. Fahmi tersenyum melihatku menegakkan badan. "Ini preparatnya." Dia menyerahkan dua buah preparat padaku.

"Topik pembahasan kita kali ini adalah Demam rimba (jungle fever ) atau disebut juga Malaria tropika disebabkan oleh Plasmodium falciparum yg merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria karena parasit ini dpt menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, serta kematian. Ciri-ciri Stadium gametosit dari Plasmodium faciparum adalah : eritrosit tidak membesar, bentuk parasit seperti bentuk pisang agak lonjong atau seperti sosis (mikrogametosit), plasma biru atau merah muda (mikrogametosit), inti padat (kalau mikrogametosit tdk padat), pigmen di sekitar inti atau tersebar (mikrogametosit)." Pak Setyo menjelaskan sambil sesekali menunjukkan gambar yang dimaksud.

"Silakan kalian lihat di mikroskop masing-masing. Laporkan bila menemukan gametosit! Khusus hari ini tidak ada post test jadi yang sudah selesai dan benar boleh langsung pulang." Sebagian mahasiswa bersorak pelan mendengar pengumuman ini. Bahkan ada yang terang-terangan membuat rencana kalau mereka bisa pulang lebih awal.

"Lebih cepat lebih baik jadi jangan gunakan mulut untuk bekerja tapi pertajam mata kalian," ujar pak Setyo sambil senyum-senyum melihat tingkah mahasiswanya.

Beginilah kondisi kuliah D3, mahasiswa berasa seperti anak SMA karena kami belajar seperti anak SMA. Kuliah memakai seragam, jam mulainya juga sama seperti anak sekolahan, dan jadwalnya teratur. 

Sepertinya aku harus cepat selesai biar cepat pulang. Kupegang kepala yang makin terasa pusing.

"Sudah ketemu belum?" Fahmi bertanya karena khawatir dengan kondisiku yang seperti orang bingung.

"Cantik," bisik Elang tepat di telingaku membuatku terlonjak.

"Parasit itu cantik. Mereka memiliki bentuk yang unik dan pasti. Kalau tidak berbentuk seperti pisang, bisa dipastikan itu bukan parasitnya."

Hampir saja aku geer karena mengira Elang memuji. Aku mengangguk pelan agar Elang segera menegakkan badan. Posisi tubuhnya yang condong ke arahku membuat jantungku berdebar lebih cepat.

Aku mengangkat tangan sesegara mungkin karena sudah menemukan gametosit. Pak Setyo mendekat dan langsung mencondongkan badan agar dapat melihat temuanku. Elang menarik jas Laboratku agar Pak Setyo lebih leluasa melihat mikroskop. Beliau menanda tangani buku laporanku.

"Segera bereskan perlengkapanmu. Kamu boleh pulang."

"Pak, saya juga sudah selesai." Pak Setyo berpindah ke sebelah untuk melihat mikroskop Elang.

"Saya permisi dulu, Pak," pamitku.

"Tunggu dulu, Lok. Aku antar." Suara Elang terdengar panik. "Kamu pucat sekali."

"Aku baik-baik saja," tolakku tapi ternyata tubuhku berkhianat. Aku limbung dan pingsan saat mencoba berdiri. Masih sempat terdengar teriakan panik dari teman-teman sesaat sebelum kesadaranku hilang.

...

Ini hari kelima aku dirawat di Rumah Sakit. Selama lima hari ini aku melarang teman-teman untuk menjenguk. Pusing yang tak tertahan membuatku sulit beraktifitas. Tubuhku juga sangat lemah. Aku tidak tahan kalau harus mendengar orang banyak ngobrol di dekatku.

Aku memandang ke luar jendela dengan bosan, berharap mendapatkan suasana yang berbeda tapi tetap saja memandang gedung-gedung. Aku berpaling. Tanganku terulur untuk mengambil segelas air yang di letakkan di meja kecil samping tempat tidur. Apa yang harus kulakukan sekarang. Buku yang kubawa sudah selesai dibaca. Masa iya mau nonton tv terus menerus.

"Hai, Lok. Udah baikan?" Kepala Rindu muncul dari pintu yang terbuka separuh. "Kami boleh masuk nggak?"

"Masuk saja." 

Aku memang sudah mulai menerima kunjungan karena merasa lebih baik. Lagi pula aku juga sudah ingin pulang tapi masih belum diperbolehkan.

Aku memberi kode pada Hera dan Rindu. Menanyakan Jesi yang ikut membesuk. Bukannya menjawab, mereka berdua malah cemberut dan angkat bahu.

"Aku ikut ke sini bukan karena kasihan dan ingin menjengukmu. Aku ikut karena ada Elang. Kami janjian mau ketemu. Eh, dia malah ke sini. Nggak penting banget." Jesi memainkan jemarinya yang lentik seolah-olah malas memandang wajahku.

"Kapan masuk kuliah lagi?" tanya Fahmi.

"Entahlah. Memangnya ada sesuatu di kampus hingga aku harus cepat-cepat masuk?"

"Nggak ada yang spesial kalau kamu nggak ada," kata Fahmi.

"Uhuk, uhuk." Hera dan Rindu pura-pura batuk.

"Kamu sudah makan, Dek?" Mas Bagus masuk ke dalam ruang rawat inap.

"Ya ampun, Lok. Dokternya cakep banget. Dokternya perhatian banget sampai nanyain kamu udah makan belum. Manggilnya dek lagi, so sweet." Mata Hera berbinar-binar.

"Ya jelas lah dia nanya gitu. Dia kan kakaknya Elok. Malah tumben tuh merhatiin adiknya. Biasanya sibuk ngurusin pacar yang nggak jelas kelakuannya," sindir Rindu.

"Temanmu satu itu belum minum obat ya, Dek?" Pandangan Bagus hanya tertuju pada Rindu yang melotot.

"Hari ini belum makan orang jadi belum minum obat," jawab Rindu dengan sinis.

"Owh pantes. Suruh kontrol ke dokter jiwa dulu sana. Biar makin waras," sindir Bagus.

"Bilang sama mas mu yang sok kecakepan dan sok yes ini ya, Lok. Urus diri baik-baik, jangan cuma ngurusin pacarnya yang nggak bener-bener." Rindu berbicara menghadap Elok, memunggungi Bagus.

"Kamu cemburu, Ndu?" tanya Elang sambil terkekeh.

"Amit-amit jabang bayi." Rindu mengetuk-ketuk meja sebanyak tiga kali.

"Lang, nitip Elok sebentar sampai shiftku selesai." Bagus menyerahkan kartu tunggu pasien.

"Biar saya saja yang menunggu Elok. Elang ada janji dengan Jesi." Fahmi mencoba untuk mengambil kartu itu tapi Bagus dengan sigap mengangkat tangan hingga Fahmi hanya menangkap udara.

"Aku nggak ada janji hari ini." Elang meminta kartu itu. Bagus memberikannya lalu beranjak pergi.

Fahmi berniat mengambil kartu yang masih dipegang Elang. Dia memegang sisi atas kartu sedangkan Elang sisi bawah. Mereka berdua saling tarik seperti anak kecil yang tidak mau melepaskan mainannya.

"Sudah sehat tuh, pulang saja yuk." Jesi melingkarkan tangan di lengan Elang.

"Kalau mau pulang ya tinggal pulang. Nggak ada yang ngajak kamu ke sini." Elang menyentakkan tangan membuat tangan Jesi terlepas. Sekali dayung dua tiga pulau terlewati. Tangan Fahmi juga terlepas dari bagian kartu yang dipegangnya. Fahmi tidak menyangka Elang begitu cepat dan bertenaga saat menyentakkan tangan.

"Lebih baik kamu pulang diantar Fahmi. Biasanya juga seperti itu kan?" sindir Elang yang membuat Hera, Rindu, dan juga aku saling berpandangan penuh tanda tanya.

"Jangan mengungkit masa lalu." Fahmi menatap tajam Elang tapi Elang memalingkan muka.

"Sebaiknya kalian pulang." Aku angkat bicara. Suasana terasa memanas.

"Aku masih kangen kamu, Lok," rengek Hera.

Aku menunjuk ke arah pintu membuat semua ikut menoleh. Di sana sudah berdiri dua orang satpam yang tersenyum. Bukannya aku nggak kangen dengan mereka tapi jam besuk sudah berakhir.

"Selamat sore. Waktu kunjungan sudah berakhir, yang boleh tinggal hanya penunggu pasien." Salah satu satpam masuk ke dalam ruangan, memberi jalan untuk keluar. 

Elang menunjukkan kartu tunggu. Satpam itu menganggukan kepala. Mengijinkan dia untuk tinggal.

"Kami pulang dulu ya," pamit Rindu sambil mencium pipiku. Hera juga melakukan hal yang sama.

"Ayo pulang!" Hera mendorong Jesi yang masih memandangi Elang. Sedangkan Rindu menarik tangan Fahmi.

"Eh, Lang. Kok ditutup?" tanyaku panik saat Elang menutup pintu kamar inap. Otakku jadi berpikir hal-hal negatif.

"Biar kamu bisa istirahat." Elang membaringkan diri di sofa.

"Owh, gitu." 

Duh, mana bisa istirahat kalau ada Elang. Aku kan jadi serba salah.

"Anggap aja kalau aku nggak ada," kata Elang masih dengan mata terpejam.

Aku mengamati wajah Elang. Dia terlihat lebih kusam, biasanya selalu terlihat fresh. Apa pandanganku jadi sedikit kabur karena sakit.

"Btw, kenapa kita nggak boleh jengukmu selama lima hari ini?" Elang membuka mata tiba-tiba. Aku langsung memalingkan muka, takut tertangkap basah sedang mengamatinya.

"Itu, uhm ... aku hanya mau istirahat total." Aku mengigit bibir bawah saat Elang mendekat dan duduk di atas ranjang.

"Apa kamu tahu kalau selama lima hari itu aku juga sakit?"

Aku yang tadinya dalam posisi tidur langsung menegakkan badan. "Sakit apa? Demam juga? Sudah periksa?" Tanganku terulur hendak menempelkan telapak tangan ke dahinya.

Elang meraih tanganku dan menjauhkan dari wajahnya. Jantungku berdebar lebih kencang. Tangan Elang terasa hangat, terasa pas untuk menggenggam tanganku.

"Sudah minum obat?" tanyaku agar tidak terlihat gugup.

"Aku sudah dapat obat yang tepat."

"Syukurlah. Memangnya kamu sakit apa?"

"Malaria tropika."

"Serius? Itu penyakit yang parah lho. Kamu yakin sudah dapat obat yang tepat?" 

"Obatnya itu kamu karena sebenarnya aku terkena malarindu tropikangen."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun