Mohon tunggu...
Christine Gloriani
Christine Gloriani Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Pembaca yang belajar menulis

Pembaca yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Eksperimen Cinta 6, Eksperimen Kedua

4 Januari 2019   19:09 Diperbarui: 4 Januari 2019   19:20 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Elang melepaskan tangan dengan tiba-tiba lalu berdiri dan memasukkan tangan ke saku celana. "Rindu dan Hera sudah kembali. Aku pergi dulu."

Rasanya separuh jiwaku dibawa pergi oleh Elang saat aku melihat punggungnya menjauh. Aku bertopang dagu mengagumi ciptaan Tuhan yang luar biasa lumer hari ini.

"Harusnya kamu bilang makasih sama kita-kita." Perkataan Rindu membuat separuh jiwaku tertarik masuk lagi.

"Makasih sudah meninggalkanku di sini dan terjebak dalam situasi yang tidak enak karena Jesi, Fahmi, dan Elang," ujarku sinis. Hilang sudah binar ceria di mataku karena Elang.

"Harusnya kamu berterima kasih karena kami menyelamatkanmu dari situasi memalukan jika tiba-tiba Elang menciummu." Hera duduk lalu bertopang dagu menatap dengan ekspresi jahil.

"Cium? Cium apaan? Ngaco deh ah," protesku untuk menutupi rasa malu. Mereka pasti sudah melihat kejadian tadi.

"Terus, kesimpulannya apa?" tanyaku untuk mengalihkan perhatian.

"Gini, Lok. Kami sama sekali tidak melihat Jesi di sekeliling kalian. Aneh." Rindu ikut duduk.

"Aneh? Memang aneh karena tadi Jesi habis nyamperin aku trus pergi sama Elang. Masa sih nggak ada? Kalian sudah mengamati dengan cermat?"

"Lok, kita ini analis. Seorang analis yang baik adalah orang yang teliti dan kami analis yang baik, kami teliti. Kami melihat ke segala arah dan memastikan kalau Jesi memang tidak ada." Hera memberi penjelasan yang masuk akal.

"Kelas Pak Juan dimajukan. Semuanya masuk kelas."

Pengumuman itu membuat kami bertiga bergerak penuh semangat. Kalau kelas terakhir dimajukan itu berarti kami akan pulang lebih cepat dari biasanya.

Aku melihat Elang yang menatap papan tulis, menanti kedatangan dosen. Dia sempat menoleh ke arahku tapi ekspresi wajahnya datar seperti tidak melihatku saja. Dasar bunglon, cepat banget berubah ke mode beku.

Ternyata Pak Juan memang membuat kuliah kali ini berjalan singkat, tidak sampai setengah jam kuliah sudah berakhir. Rindu dan Hera melesat meninggalkanku. Kebiasaan buruk mereka semakin parah. Beruntung Mas Bagus bisa antar jemput jadi nggak perlu ketakutan menyeberang jalan.

"Oh em ji, Mas Bagus." Aku menepuk dahi karena lupa menghubunginya.

"Halo Mas Bagus."

"..."

"Kuliah tambahan? Trus aku gimana dong?" rengekku, lupa kalau masih di dalam ruang kelas.

"Halo, Gus. Aku yang akan antar Elok pulang. Kamu nggak usah ke sini. Sekalian mau ijin bawa adikmu jalan-jalan. Mukanya kusut banget, perlu dikasih vitamin." Elang merebut ponsel dan berbicara dengan tidak sopan.

Selalu saja menyebut Mas Bagus hanya dengan mana tanpa embel-embel mas. Iya, aku tahu kalau mereka sepantaran tapi Elang masuk sekolahnya terlambat hingga sekelas denganku.

"Yuk, Lok." Elang menggandeng menuju parkiran.

Aku yang masih memikirkan perkataan Jesi kemarin jadi tidak konsen. Aku bahkan tidak sadar kalau sudah sampai parkiran dan dipakaikan helm sama Elang.

"Ayo naik."

"Hah, apa?" tanyaku gelagapan.

"Naik." Elang menjentikkan jari ke dahiku.

"Sakit, Lang," protesku.

"Makanya jangan melamun." 

"Kamu habis nganterin Winnie lagi?" tanyaku setelah melihat helm pink yang pernah kupakai.

"Buruan!" kata Elang dengan tidak sabar.

Duh boleh meluk Elang nggak ya, kan dia bawa motornya biasa-biasa saja. "Lang, pegangan boleh nggak?"

"Nggak usah pegangan. Udah nyampai."

"Hah, sudah sampai?" tanyaku keheranan. Aku pasti terpesona dengan punggung Elang hingga tidak memperhatikan jalan.

Elang membawaku menuju salah satu pusat perbelanjaan. Dia membelok ke time zone. Aku menarik tas hingga dia berhenti. "Mau ngapain di sini?"

"Makan," jawabnya.

"Lho, food court di sebelah kanan. Kenapa kita belok kiri?" Aku nggak paham dengan jalan pikiran Elang.

Bahu Elang naik dengan cepat dan turun dengan perlahan, mengulangi beberapa kali sebelum berkata, "Yang namanya time zone itu buat main. Masa kaya gitu ditanyain?"

"Bilang kek dari tadi kalau kita mau main." Mataku berbinar melihat berbagai permainan.

Aku memyambar kartu time zone yang dipegang Elang. Karena terlalu bersemangat sampai tidak menyadari kalau Elang menatap dengan senyum geli. "Sebaiknya kamu benar-benar menikmati permainan ini agar mukamu nggak kusut lagi."

"Masa iya mukaku kusut?" Aku memasang senyum ceria yang paling ceria. Masa iya Elang tahu kalau pikiranku baru ruwet.

"Kamu nggak pintar berbohong."

"Kamu udah kaya Rindu saja." Aku tertawa lepas.

Aku melirik Elang yang tampak bahagia. Dia juga bisa tertawa lepas. Aku rasa kami bersenang-senang hari ini.

"Lho, Mbak Elok dan Mas Elang nggak kuliah? Ta bilangin pakde lho."

"Eh, Winnie. Kuliahnya sudah selesai kok. Btw, helmmu kupinjam dulu ya." Aku tersenyum.

"Helm yang mana, Mbak? Perasaan helm Winnie dipakai buat ke sini deh." Winnie memandang temannya. Temannya itu mengangguk.

"Helm baby pink dengan gambar love yang unyu." Aku mencoba mengingatkan. "Bukannya tadi kamu berangkat sekolahnya diantar mas Elang?"

Winnie tertawa terbahak-bahak. "Mbak Elok lucu deh. Sejak kapan Winnie suka pakai pink? Helm Winnie warna ijo. Sejak kapan juga mas Elang mau nganterin aku sekolah?"

Elang mundur beberapa langkah lalu membuat gerakan tutup mulut pada Winnie. Dia bahkan menyuruh Winnie segera pergi.

"Trus helm siapa dong itu?" tanyaku makin nggak ngerti. Jangan bilang kalau itu punya Jesi.

"Kali aja mas Elang memang khusus beli buat titik-titik." Winnie menggoda Elang yang makin panik memberi kode mengusir.

"Buat?"

"Winnie pergi dulu ya, Mbak. Tuh mas Elang udah ngasi kode mulu." Winnie berlari kencang meninggalkan aku yang masih penasaran.

Aku menoleh dan mendapati Elang melakukan gerakan yang aneh. "Pegal nih, gara-gara terlalu semangat lempar bola basket."

"Apa maksudnya Winnie?" tanyaku dengan kening berkerut. 

Elang tidak mau menjawab, dia malah mengajak pulang. Pasti Elang menyembunyikan sesuatu.

...

Hari berikutnya Rindu dan Hera memaksaku datang lebih pagi ke kampus agar dapat membahas kesimpulan eksperimen kemarin.

"Berhubung eksperimen kemarin tidak tepat maka kita harus ganti prosedur. Setiap ada Jesi di dekat Elang maka kamu harus mendekat untuk tahu reaksi Elang. Gimana?" tanya Rindu.

"Maksudmu? Aku harus bergenit-genit gitu di depan Elang?"

"Nggak gitu juga kali, Lok. Kamu berjalan saja di tengah-tengah mereka. Kira-kira Elang langsung nyamber kamu nggak?" Hera mencoba memberi penjelasan tapi makin bikin bingung.

"Nah tu, target sudah datang. Coba kamu jalan ke depan, coba pesan sesuatu. Kalau Elang sampai manggil kamu dan dalam mode lumer itu berarti Elang memang ingin Jesi cemburu." Rindu menunjuk kedua orang target yang memasuki kantin dari arah berlawanan.

"Aku nggak ngerti deh. Kan mereka sudah datang berdua trus apa fungsinya aku? Jangan-jangan mereka sudah balikan?" Aku merasa enggan untuk melaksanakan eksperimen kali ini.

"Kamu penasaran kan? Makanya, jalan ke sana." Hera mendorongku hingga aku hampir terjungkal dari kursi.

Sebaiknya aku tidak memperdulikan mereka saja. Aku harus mikirin perut yang dari tadi minta diisi. Gara-gara ide Rindu untuk datang awal jadi tidak sempat sarapan. Elang dan Jesi sudah berdiri di sebelah, ikut memesan soto ayam. Elang sama sekali tidak menyapaku.

Aku segera kembali dan bergabung dengan Rindu dan Hera. Mereka juga merasa heran dengan respon Elang. 

"Jangan-jangan emang sudah balikan." Hera mencondongkan badan saat berbisik.

"Eh, mereka menuju ke sini." Rindu menyenggol lengan Hera agar dia bersikap biasa-biasa saja.

"Kami boleh gabung kan?" tanya Jesi dengan genit.

"Silakan. Anggap saja kalau kita-kita ini nggak ada di sini." Hera memasang wajah pura-pura ramah saat mempersilakan mereka untuk duduk.

Hera lalu mengajakku berbicara.

Elang sama sekali tidak memandangku. Fokusnya masih ke Jesi, entah apa yang mereka bicarakan. Aku milih berbincang dengan dua sahabatku dari pada harus mendengarkan pembicaraan mereka.

"Eh, pada ngumpul nih. Bentar ta pesan soto dulu." Fahmi menyapa sambil lalu menuju ke bu Upik-penjual makanan di kantin.

Fahmi duduk di sebelahku dan mulai mengajak ngobrol kami. Hera dan Fahmi yang mendominasi pembicaraan. 

Elang dan Jesi masih membicarakan materi kuliah. Jesi adik tingkat kami yang terlambat masuk kuliah karena bekerja dulu. Dia dan Elang dulu satu kelas waktu di SMAK.

"Wah sotonya sudah datang. Mari makan," pekik Hera kesenangan.

"Lok, sotomu buat aku dulu ya. Laper berat nih. Antriannya masih banyak," pinta Fahmi sambil mengelus perut.

Hampir saja aku mengangguk saat melihat sotoku berpindah tempat.

"Lang, punyaku tuh."

"Laper berat nih. Dari pada ditinggal ngobrol mending kumakan dulu. Nanti sotoku buatmu."

"Kebiasaanmu itu lho. Hobi kok nyerobot makanan orang. Aku juga udah lapar berat. Ini juga mau makan, sebelum kamu ambil," protesku dengan menarik paksa mangkok yang dipegangi Elang dengan erat. 

Aku mengerahkan segenap tenaga untuk merebut balik sotoku. Tenagaku kalah dengan Elang yang hanya menggunakan satu tangan.

"Jangan munafik. Tadi kan kamu mau kasih soto ke Fahmi yang katanya kelaparan berat. Berarti kamu nggak mau makan. Pas banget kalau kumakan." Elang menyuap soto dengan cepat.

"Tuh, sotoku sudah datang. Buruan makan, katanya lapar," tambahnya dengan nada yang nggak enak di telinga.

"Nyebelin," balasku.

"Biarin." Elang masih saja menjawab.

Rindu dan Hera berpandangan dengan penuh arti sambil tersenyum.

"Udah, Lok. Makan saja," bujuk Rindu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun